Hari Anak Sedunia diperingati setiap tanggal 20 November. Peringatan ini diselenggarakan oleh United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak anak, serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hak anak. Namun sayangnya, meski peringatan ini diperingati setiap tahun, masih banyak orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak.
Anak merupakan anugerah terbesar dalam kehidupan rumah tangga. Orang tua memiliki peran penting dalam melindungi dan mengasihi anak-anaknya dalam kehidupan keluarga. Di Indonesia kewajiban orang tua untuk melindungi anak-anaknya salah satunya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Aturan ini menjadi dasar hukum untuk melindungi anak-anak di Tanah Air.
Menurut UU Perlindungan Anak yang termasuk dalam kriteria anak adalah mereka yang usianya kurang dari 18 tahun. Menurut konvensi hak anak yang termasuk dalam kriteria anak adalah mereka yang usianya lebih dari 18 tahun (kecuali apabila kedewasaan anak telah ditentukan lebih awal), atau dibawah 18 tahun tetapi sudah menikah dianggap cakap hukum dan dewasa dalam bertindak.
Perlindungan anak mencangkup pemberian jaminan secara menyeluruh terhadap hak anak dan melindungi anak-anak dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan ini diberikan dalam koridor hukum positif atau undang-undang khusus mengatur hak dan kesejahteraan bagi anak-anak. Pemerintah mengakui pentingnya melindungi anak-anak dan menetapkan UU Perlindungan Anak sebagai dasar hukum untuk melindungi dan mensejahterakan mereka. Tujuan utama dari perlindungan anak adalah memastikan bahwa anak-anak dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam masyarakat sesuai dengan martabat dan hak asasi manusia.
Hak dan Tanggung Jawab Orang Tua atau Wali
Selain orang tua yang memiliki hak asuh terhadap anak, sistem hukum di Indonesia juga mengenal adanya perwalian anak. Keberadaan perwalian ini memiliki beberapa syarat yang diimplementasikan dalam hak dan kewajiban serta tanggung jawab secara hukum. Secara umum wali merupakan orang atau badan hukum yang bertanggung jawab terhadap anak disebabkan orang tua maupun keluarga anak tidak mampu melaksanakan kewajibannya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali (“PP Wali Anak“) terdapat pada pasal 4 s/d pasal 6, jika seseorang memutuskan untuk menjadi wali, maka ia memiliki kekuasaan penuh terhadap anak tersebut. Namun dalam hal perwalian, hukum memprioritaskan pihak yang berada di lingkungan keluarga si anak menjadi pihak pertama yang memiliki hak asuh atau hak perwalian.
Terkait dengan badan hukum sebagai wali, badan tersebut harus mendapat rekomendasi dari pihak Dinas Sosial, sanggup tidak akan melakukan diskriminasi, mendapat persetujuan tertulis dari orang tua anak (jika masih ada), diketahui keberadaannya, cakap hukum, tidak membedakan suku, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, urutan kelahiran, kondisi fisik, dan/atau mental anak.
Baca juga: Ketentuan Peneriman Manfaat Program Keluarga Harapan
Kewajiban Orang Tua/Wali Terhadap Anak
Kewajiban orang tua terhadap anak harus mencerminkan prinsip kepastian hukum yang jelas. Namun disisi lain, setiap anak tanpa memandang usia wajib menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Untuk memastikan kepastian hukum dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, orang tua memiliki tanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Meskipun hak untuk menguasai atau menjadi wali anak mungkin hilang, orang tua tetap berkewajiban memberikan dukungan finansial yang sesuai dengan penghasilan mereka untuk pendidikan dan pemeliharaan anak.
Semua anak berada di bawah kekuasaan orang tua hingga mereka dewasa, kecuali jika orang tua tersebut dibebaskan dari tanggung jawab tersebut. Jika seorang bapak atau ibu yang memiliki kekuasaan orang tua terbukti tidak mampu atau tidak cakap dalam memenuhi kewajibannya untuk merawat dan mendidik anak-anaknya, dan jika kepentingan anak-anak tersebut terancam, mereka dapat dibebaskan dari kekuasaan orang tua, baik untuk semua anak maupun untuk satu atau lebih anak tertentu.
Sementara, menurut Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) menyatakan bahwa setiap anak diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada orang tua dan keluarga dekat sesuai kemampuan jika mereka memerlukan bantuan. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang diakui oleh hukum juga memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada orang tua, dan kewajiban ini bersifat timbal balik. Hukum Indonesia tidak memperbolehkan orang tua memindahkan harta kekayaan anak-anak yang masih di bawah umur tanpa mengikuti ketentuan yang diatur dalam BAB XI buku kesatu KUHPerdata terkait pemindahan barang milik anak yang belum dewasa.
Baca juga: Pemecatan Kekuasaan Orang Tua yang Berkelakuan Buruk, Begini Ketentuannya!
Kewajiban dan Wewenang Seorang Wali
Orang yang ditunjuk sebagai wali memiliki tanggung jawab dan hak sebagai berikut:
- Mewakili anak dalam melakukan tindakan hukum, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan, demi kepentingan bagi anak tersebut;
- Memelihara anak yang berada di bawah tanggung jawabnya serta mengelola harta miliknya dengan sebaik-baiknya, serta menghormati agama dan kepercayaan anak;
- Membuat daftar harta milik anak yang berada di bawah penguasaannya dan mencatat setiap perubahan yang terjadi pada harta tersebut.
Perlu dicatat bahwa meskipun wali memiliki hak untuk mengelola harta anak, ia tidak diperbolehkan untuk memindahkan hak atau menggadaikan, kecuali jika hal itu benar-benar demi kepentingan anak. Di samping itu, wali juga bertanggung jawab atas harta anak dan segala kerugian yang mungkin timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya, yang dapat dituntut oleh anak atau keluarganya melalui putusan pengadilan.
Baca juga: Penyelesaian Tindak Pidana Penggelapan dalam Lingkup Keluarga
Sanksi Hukum Pelaku Kekerasan atau Pelanggaran Hak Anak
Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi anak-anaknya dan menjauhinya dari perbuatan yang dilarang oleh hukum. Namun masih ada orang tua yang tega melakukan perbuatan kekerasan dan menelantarkan buah hatinya. UU Perlindungan Anak secara tegas mengatur pemberian sanksi kepada orang tua yang tega melakukan kekerasan fisik terhadap anak-anaknya.
Penganiayaan anak di bawah umur merupakan tindak pidana yang serius. Hukum negara Indonesia mengatur perlindungan anak dan memberikan hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Pelaku kekerasan terhadap anak dapat dijerat dengan pidana penjara dan denda, tergantung pada tingkat kekerasan yang dilakukan.
Jenis Kekerasan terhadap anak terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
- Kekerasan fisik: meliputi pukulan, tamparan, mencubit;
- Kekerasan verbal: meliputi mencaci maki, mengejek, mencela, dan mengancam;
- Kekerasan psikis: meliputi pelecehan seksual, memfitnah, dan mengucilkan.
Pelaku penganiayaan terhadap anak dapat dijerat dengan hukuman sesuai UU Perlindungan Anak Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c mengancam pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda hingga Rp 72 juta. Apabila mengakibatkan luka berat, hukumannya dapat mencapai 5 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp100 juta.
- Pasal 80 (1) UU No. 35 Tahun 2014
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”
- Pasal 80 (2) UU No. 35 Tahun 2014
“Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
UU Perlindungan Anak juga mengatur sanksi bagi ayah yang dengan sengaja menelantarkan atau tidak memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya atau istilahnya fatherless. Menurut hukum seorang ayah yang tidak bertanggung jawab atau tidak memenuhi kewajibannya kepada anaknya, seperti tidak mengasuh atau memelihara anaknya, tidak memberikan kebutuhan pendidikan dan melindungi anaknya dapat dapat dijerat pidana.
Ketentuan mengenai anak yang masih menjadi tanggungan dan harus dipenuhi kebutuhan hidupnya diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Begitu seseorang tidak lagi dianggap sebagai anak, ia tidak lagi berada di bawah tanggung jawab orang tua, yang berarti orang tua tidak memiliki kewajiban untuk merawatnya.
Memberikan nafkah kepada anak adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh ayah. Anak merupakan bagian dari keluarga yang membutuhkan perhatian dari orang yang bertanggung jawab terhadap dirinya. Apabila seorang ayah gagal memenuhi kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada anaknya, ia dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”), yang mengatur hukuman penjara maksimal 3 tahun atau denda hingga Rp15.000.000.000 (lima belas juta rupiah).
Selain itu, terdapat aturan mengenai sanksi bagi mereka yang lalai dalam memenuhi kewajiban terhadap anak, yang dapat mengakibatkan penelantaran. Hal ini diatur dalam Pasal 76A huruf (a), yang melarang perlakuan diskriminatif terhadap anak yang dapat merugikan mereka, baik secara materil maupun moril, serta mengganggu fungsi sosialnya. Sanksi bagi pelanggaran ketentuan ini diatur dalam Pasal 77 UU PKDRT, yang menyatakan bahwa pelanggar dapat dipidana dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Baca juga: Hukum Penetapan Nafkah Pasca Perceraian
Kesimpulan
Perlindungan terhadap anak-anak merupakan kewajiban utama orang tua, yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hukum Indonesia menegaskan bahwa anak-anak, memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan. Orang tua dan wali memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan anak, termasuk merawat, mendidik, serta memberikan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Selain peran dan tanggung jawab orang tua, hukum juga menetapkan sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Tindakan kekerasan fisik, verbal, atau psikis terhadap anak dapat berujung pada pidana penjara atau denda. Kepastian hukum ini, diharapkan orang tua, wali, dan seluruh lapisan masyarakat dapat menjalankan peran mereka dalam menjaga dan melindungi hak-hak anak.
Baca juga: Regulasi Terkait Pemberian Tunjangan Keluarga
Sumber Hukum:
- UU No. 35 Tahun 2014 (UU Perlindungan Anak)
- UU No. 23 tahun 2004 (UU PKDRT)
- UU No. 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan)
- PP No. 29 Tahun 2019 (PP Wali Anak)
Referensi:
- siplawfirm.id, (Diakses pada 12 November 2024 pukul 15.49 WIB)
- halojpn.id, (Diakses pada 12 November 2024 pukul 16.07 WIB)
- hukumonline.com, (Diakses pada 12 November 2024 pukul 16.22 WIB)
- jurnal.erapublikasi.id, (Diakses pada 12 November 2024 pukul 16.57 WIB)
- fahum.umsu.ac.id, (Diakses pada 12 November 2024 pukul 17.03 WIB)
- siplawfirm.id, (Diakses pada 12 November 2024 pukul 17.14 WIB)
Author / Contributor:
Bagas Novantyo Wibowo, S.H. Junior AssociateContact:Mail : @siplawfirm.id Phone : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975 |