Keluarga pada hakikatnya adalah sekelompok orang yang terikat dengan hubungan darah, ikatan kelahiran, hubungan khusus, pernikahan, atau pun sebab lainnya. Mengacu pada Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (“UU 52/2009”), keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami, istri, dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Di Indonesia, dikenal istilah hukum keluarga yang dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan tentang kekerabatan dan kekerabatan karena perkawinan (perkawinan, pengasuhan orang tua, perwalian, pengampuan, ketidakhadiran). Lalu, bagaimana jika terjadi penggelapan yang dilakukan anggota keluarga? Apakah tetap mengacu pada hukum keluarga?
Penggelapan termasuk ke dalam tindak pidana, sebab tindakan tersebut melawan hukum dengan memiliki barang yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. Hal ini berdasarkan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.
Unsur yang terdapat dalam Pasal 372 dan 382 KUHP sebagai tindak pidana penggelapan di antaranya:
- Unsur Subjektif
Unsur subjektif merupakan perbuatan yang dengan sengaja dan atas kesadaran menggelapkan barang milik orang lain. Dalam hal ini, sesuai dengan isi Pasal 372 KUHP yaitu adanya unsur kesengajaan.
- Unsur Objektif
Mengenai unsur objektif, yang termasuk di dalamnya yaitu:
- Unsur suatu benda/barang;
- Unsur menguasai secara melawan hukum;
- Unsur barangsiapa;
- Unsur seluruhnya milik orang lain atau sebagian;dan
- Unsur kepemilikan benda tersebut bukan karena kejahatan
Kepemilikan dalam tindak pidana penggelapan adalah upaya menghapuskan kesempatan untuk pemilik yang sebenarnya memperoleh apa yang menjadi haknya. Tindakan tersebut bisa melalui cara-cara seperti menghabiskan atau pun memindahtangankan barang/benda tersebut dengan menjual, menghadiahkan, dan menukar. Dalam tindak pidana penggelapan, perbuatan “menguasai” tersebut merupakan perbuatan yang dilarang karena barang tersebut sudah sepenuhnya berada dalam penguasaan orang lain tanpa hak secara melawan hukum.
Baca Juga: Hukum Syaratkan Wali Anak Seagama dengan Anak yang Diasuh
Apabila pelaku penggelapan adalah anggota keluarga, aturan lebih mendalam diatur dalam Pasal 367 KUHP, yaitu:
- Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dan orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
- Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
Lalu, dalam pasal 481 Ayat (2) UU 1/2023 dikatakan bahwa penuntutan pidana hanya dapat dilakukan atas pengaduan korban jika pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suami atau istri korban tindak pidana yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau merupakan keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun dalam garis menyamping sampai derajat kedua.
Sehingga, berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa dalam hal penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang tidak terpisah meja, ranjang, maupun harta kekayaan, maka tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap pelaku.
Namun, bila penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang melakukan pisah meja, ranjang, atau harta kekayaan atau apabila pelakunya merupakan keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap pelaku tersebut hanya dapat dilakukan penuntutan bila pihak yang dirugikan (atau yang hartanya digelapkan) melaporkannya ke pihak kepolisian. Misalnya, seorang anak yang menggelapkan harta ibunya atau keponakan menggelapkan harta milik bibinya, ketentuan tersebut berlaku baik dalam adat istiadat patriarki maupun matriarki. Dalam kondisi-kondisi tersebut, berlaku delik aduan.
Delik aduan ialah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menjadi korban atau dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa adanya suatu pengaduan. Dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari pihak korban. Pada delik aduan ini, korban dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara keduanya telah terjadi proses perdamaian.
Akan tetapi, tindak pidana penggelapan merupakan delik aduan apabila hanya berada dalam lingkup keluarga. Dalam hal tindak pidana penggelapan di luar lingkup keluarga tersebut, tindak pidana penggelapan bukanlah merupakan delik aduan. Jika terjadi tindak pidana penggelapan di lingkungan keluarga dapat diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu, karena tuntutan pidana hendaknya dilakukan sebagai jalur terakhir (ultimum remedium) apabila segala upaya seperti mediasi dan perdamaian telah ditempuh.
Baca Juga: Memahami Tata Cara Mewariskan Harta Menurut KUH Perdata
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (“UU 52/2009”).
- Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (“UU KUHPidana”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana” / (KUHP)).