Masalah waris merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan berkeluarga. Untuk itu, hal-hal terkait tata cara mewariskan harta warisan harus dipahami sebagaimana nilai-nilai dan aturan yang berlaku. Waris merupakan peninggalan harta benda milik pewaris kepada ahli waris. Waris dapat terjadi apabila memenuhi beberapa unsur, di antaranya pewaris telah meninggal dunia, adanya harta benda yang dapat dialihkan dan adanya orang yang mewarisi sebagai ahli waris.

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), waris di Indonesia dibagi dua, yakni  waris ab intestato dan waris testamentair. Waris ab intestato didasari atas hubungan darah dari pewaris dengan ahli waris, sementara waris testamentair didasari atas adanya surat wasiat yang dibuat oleh ahli waris sebelum ia meninggal dunia.

Perbedaan yang signifikan antara waris ab intestato dan waris testamentair dapat dilihat dari adanya perbedaan waktu. Pada waris ab intestato, pembagian waris dapat terjadi apabila pewaris telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana tertuang pada Pasal 830 KUH Perdata yang berbunyi, “Pewarisan hanya terjadi karena kematian”. Sementara itu pada pembagian waris testamentair dapat ditentukan oleh pewaris sebelum ia meninggal dunia.

Hal ini tertera pada Pasal 874 KUHPerdata yang menyatakan, “Segala harta peninggalan seseorang  yang meninggal dunia adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.” Kemudian pada Pasal 875 KUHPerdata memberikan penjelasan terkait testament (surat wasiat) yang merupakan pernyataan seseorang terkait hal-hal yang ingin dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Pernyataan tersebut dibuat secara tertulis dan dalam bentuk akta yang mana pernyataan yang tertuang dalam akta tersebut dapat dicabut kembali olehnya.

Baca Juga: Beda di Tiap Daerah, Ini Biaya Perceraian Sesuai Ketentuan Pengadilan Agama

Cara Menghitung Pembagian Harta Waris

Waris dalam KUH Perdata terbagi atas 4 golongan yakni:

Golongan I: Keluarga inti, seperti suami, istri, dan anak

Golongan II: Keluarga pada garis keturunan ke atas, seperti orang tua, saudara, dan keturunan

Golongan III: Keluarga di atas garis keturunan ke atas, seperti: kkek, nenek, dan leluhur

Golongan IV: Keluarga pada garis keturunan ke samping dan keluarga lainnya hingga derajat ke-6

Golongan I merupakan peringkat atas atau golongan terkuat (prioritas) untuk mendapat waris. Apabila pewaris memiliki ahli waris pada golongan I dan golongan II, maka pihak yang berhak mendapat waris adalah pewaris yang berada di golongan I.

Contoh Kasus:

A (suami) meninggal dunia dan meninggalkan harta sejumlah Rp10.000.000. Pihak yang ditinggalkan ialah B (istri), C (anak pertama), D (anak kedua), E (anak ketiga), dan F (anak dari C atau cucu A). Berdasarkan ketentuan pada Pasal 852 dan 852a KUH Perdata, B, C, D, dan E mendapat waris (menjadi ahli waris) karena merupakan golongan I, sementara F tidak mendapat waris karena termasuk ke dalam golongan II. Pembagian waris terbagi secara rata, yakni masing-masing mendapatkan ¼ bagian. Maka dari itu, apabila jumlah harta yang ditinggalkan oleh Pewaris adalah Rp10.000.000, masing-masing dari ahli waris akan mendapatkan Rp2.500.000 per orang.

Baca Juga: Hukum Syaratkan Wali Anak Seagama dengan Anak yang Diasuh

Tata Cara Mewariskan Harta Waris

Berdasarkan KUH Perdata, pembagian waris dilakukan secara merata kepada para ahli waris. Terhadap aturan terkait penerimaan atau penolakan waris telah tercantum dalam Pasal 1045 KUHPerdata yang menyatakan, “Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya”. Oleh karena itu, para pewaris dapat memilih untuk menerima atau menolak waris.

Baru-baru ini, ada seorang ibu yang digugat empat anaknya ke pengadilan karena dituding telah menjual harta warisan suaminya (ayah dari 4 anaknya) tanpa terlebih dahulu meminta izin. Ada banyak kasus waris yang berujung pada sengketa dan diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Baca Juga: Mengenal Perbedaan Hukum Keluarga Adat Jawa dan Sumatera Barat

Sumber: