Angka perceraian di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Perceraian menjadi cerminan dari beragamnya persoalan yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga. Salah satu faktor utama yang berkontribusi besar terhadap keputusan sepasang suami istri untuk berpisah adalah masalah ekonomi. Faktor ekonomi bahkan menjadi penyebab perceraian nomor dua terbanyak di Indonesia pada tahun 2023 setelah perselisihan dan pertengkaran. Di tahun 2023, tercatat jumlah perceraian di Indonesia akibat faktor ekonomi sebanyak 108.488 kasus. Tingginya angka perceraian yang disebabkan karena faktor ekonomi pun menimbulkan pertanyaan terkait penetapan nafkah pasca perceraian. Di Indonesia, aturan terkait penetapan nafkah cerai salah satunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 1 tahun 1974.

Jika terjadi perceraian, maka akan timbul akibat-akibat hukum tertentu. Segala akibat hukum putusnya sebuah perkawinan karena perceraian di antaranya yakni akibat hukum yang berkaitan dengan pemberian nafkah kepada istri. Diatur dalam Pasal 41 UU Perkawinan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Baca juga: Memahami Tata Cara Mewariskan Harta Menurut KUH Perdata

Melalui pasal tersebut ditegaskan bahwa seorang suami masih memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah meski telah bercerai, sebagaimana putusan dari Pengadilan. Namun pada praktiknya, permasalahan ekonomi tak hanya terjadi dalam ikatan perkawinan, namun juga menjadi bibit permasalahan pasca perceraian. Pemerintah pun telah mengatur terkait dengan harta benda dalam lingkup rumah tangga, yakni bilamana perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU Perkawinan. 

Selain dalam UU Perkawinan, dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) pun diatur regulasi terkait pemberian nafkah cerai yang meliputi:

  1. Nafkah Mut’ah atau penghibur, yakni pemberian dari mantan suami kepada mantan istri yang dijatuhi talak, baik berupa uang atau benda lainnya sebagai penghilang pilu;
  2. Nafkah Iddah atau nafkah dalam masa tunggu, yakni nafkah yang wajib diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri yang dijatuhi talak selama mantan istri menjalani masa iddah, kecuali jika mantan istrinya melakukan pembangkangan;
  3. Nafkah Madhiyah atau naskah masa lampau, yakni nafkah terdahulu yang dilalaikan atau tidak dilaksanakan oleh mantan suami kepada mantan istri sewaktu keduanya masih terikat perkawinan yang sah;
  4. Biaya Hadhanah dan nafkah anak yakni biaya pemeliharaan atas anak yang belum berusia 21 tahun.

Baca juga: Penyelesaian Tindak Pidana Penggelapan dalam Lingkup Keluarga

Tak hanya terdapat regulasi terkait jenis-jenis nafkah cerai, namun ada pula penjelasan terkait peran Pengadilan dalam mengatasi putusan terkait nafkah yang harus diberikan. Diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama  disebutkan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat:

  1. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
  2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
  3. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Baca juga: Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Membuat Perjanjian Pranikah

Proses perceraian yang sedang terjadi antara suami istri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah pasca perceraian kepada istrinya. Demikian pula tugas kewajiban suami istri itu terhadap anak-anaknya. Harta kekayaan selama menikah, baik yang dimiliki bersama-sama atau pun harta kekayaan suami atau istri harus terselesaikan agar tak menimbulkan kerugian setelah perceraian terjadi.

Apabila mantan suami lalai dalam menjalankan putusan Pengadilan terkait pemberian nafkah pasca cerai, terdapat akibat hukum yang akan diterima. Sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) bahwa:

“Jika  pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi putusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukan permintaan, baik dengan lisan ataupun dengan surat, kepada ketua peradilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua yang selama-lamanya delapan hari.”

Kewajiban yang diputuskan Pengadilan harus dijalani sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Namun jika pada praktiknya pihak mantan suami menolak nafkah pasca perceraian atau pun tetap menafkahi tapi tak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Pengadilan, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk ketidakpatuhan atas putusan Pengadilan. Maka, pihak yang dirugikan pun dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan agar mantan suami mendapatkan peringatan untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Baca juga: Fenomena Fatherless: Sanksi Ayah yang Tak Menafkahi Anak

 Daftar Hukum:

Referensi: