Kehadiran peran seorang ayah dalam kehidupan tumbuh kembang anak akan sangat berdampak bagi kehidupan anak di masa mendatang. Sayangnya, tak sedikit anak yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah atau yang dikenal dengan istilah fatherless. Fatherless dapat dipahami dalam dua arti, pertama kealpaan ayah dalam arti sebenarnya akibat perceraian atau meninggal dunia, kedua kurang maksimalnya peran ayah dalam proses hidup anak. Bahkan, berdasarkan Global Fatherhood Index Report 2021, Indonesia menempati peringkat ke-3 fatherless country di dunia.
Peringkat dan tren ‘fatherless’ saat ini bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan, mengingat hal ini harus menjadi urgensi bersama, terutama pemerintah. Kurang maksimalnya peran ayah akan mempengaruhi hidup anak. Figur ayah seharusnya bisa memenuhi segala yang diperlukan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal melalui kewajiban ayah memberi nafkah.
Kewajiban ayah dalam pemenuhan kebutuhan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Pada Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Ketentuan anak yang masih menjadi tanggungan dan wajib dipenuhi kebutuhan hidupnya diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Seseorang yang sudah tidak dikategorikan sebagai anak, maka ia tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua, dengan kata lain, orang tua sudah tidak memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk merawat anak tersebut.
Terkait dengan hak dan kewajiban antara ayah dan anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Dalam Pasal 45 ayat (1) disebutkan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Lalu dalam Pasal 45 ayat (2) menyebut kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Sementara dalam Pasal 98 ayat (1) Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) disebutkan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Menurut Undang-Undang, memberikan nafkah bagi anak adalah kewajiban ayah dan tugas ayah yang wajib dilakukan, sebab anak merupakan orang dalam lingkup rumah tangga yang perlu dirawat dan dipelihara oleh orang yang menjadi penanggung baginya. Jika seseorang tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah yang melekat padanya untuk memberikan nafkah pada anaknya, hal ini dapat dijerat dalam Pasal 49 UU PKDRT, yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,000 (lima belas juta rupiah).
Aturan lain terkait sanksi atas kelalaian dalam menjalankan kewajiban terhadap anak hingga menyebabkan penelantaran diatur dalam Pasal 76A huruf (a) bahwa setiap orang dilarang memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril hingga menghambat fungsi sosialnya. Sanksi diatur dalam Pasal 77 UU PKDRT bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Baca juga: Pemecatan Kekuasaan Orang Tua yang Berkelakuan Buruk, Begini Ketentuannya!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”).
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).
- Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Referensi:
- Peran APBN di Tengah “Fatherless Country”. Kompas.id. (Diakses pada 2 September 2024 pukul 13.35 WIB).