Dengan dilangsungkannya perkawinan, akan menimbulkan hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara suami dan istri dengan lahirnya anak-anak dalam suatu perkawinan tersebut. Hubungan hukum antara orang tua dan anak timbul berupa hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Sebagai orang tua, tentu merasa memiliki hak dan kekuasaan atas anak. Aturan mengenai kekuasaan orang tua tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Akibat hukum suatu perkawinan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Akibat hukum yang timbul dari hubungan suami istri itu sendiri;
  2. Akibat yang timbul dari suatu perkawinan terhadap harta benda mereka;
  3. Akibat yang timbul dari perkawinan mengenai kekuasaan orang tua terhadap anaknya.

Dalam Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan dijelaskan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama tidak mencabut dari kekuasaannya. Setiap anak, berapa pun juga umurnya, wajib menghormati dan menghargai orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Orang tua dibebani oleh hukum untuk memelihara, mendidik, dan menanggung segala biaya kebutuhan anak-anak mereka. 

Pasal 299 KUHPerdata menyatakan bahwa kekuasaan orang tua pada hakikatnya adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Dari ketentuan Pasal 299 KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan tiga asas kekuasaan orang tua, yakni:

  1. Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah saja;
  2. Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang perkawinan masih berlangsung dan jika perkawinan itu bubar, maka kekuasaan orang tua itu pun berakhir;
  3. Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang orang tua menjalankan kewajiban terhadap anak-anaknya dengan baik.

Baca Juga: Mengenal Perbedaan Hukum Keluarga Adat Jawa dan Sumatera Barat

Terkait hak kekuasaan orang tua dalam hukum kekeluargaan positif di Indonesia ini, memunculkan istilah pencabutan/pemecatan kekuasaan orang tua. Menurut Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

  1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
  2. Ia berkelakuan buruk sekali.

Baca Juga: Hukum Syaratkan Wali Anak Seagama dengan Anak yang Diasuh

Pemecatan kekuasaan orang tua diatur dalam Pasal 319a KUHPerdata yang berbunyi:

Bahwa bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dan kekuasan orang tua, baik terhadap semua anak-anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan dewan perwalian atau atas tuntutan kejaksaan, bila ternyata bahwa dia tidak cakap atau tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya dan kepentingan anak-anak itu tidak berlawanan dengan pembebasan ini berdasarkan hal lain.

Bila Hakim menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak, masing-masing dan orang tua, sejauh belum kehilangan kekuasaan orang tua, boleh dipecat dan kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak lebih, atas permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang keluarga sedarah atau semenda dan anak-anak itu, sampai derajat keturunan keempat, atau dewan perwalian, atau Kejaksaan atas dasar:

  1. Menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih;
  2. Berkelakuan buruk;
  3. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena karena sengaja ikut serta dalam suatu kejahatan dengan seorang anak yang masih di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya;
  4. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan kejahatan yang tercantum dalam Bab 13, 14, 15, 18, 19, dan 20, Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap seorang di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya;
  5. Dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua tahun atau lebih.
  6. Dalam pasal ini pengertian kejahatan meliputi juga keikutsertaan membantu dan percobaan melakukan kejahatan.

Baca Juga: Surat Keterangan Berstatus Lajang Jadi Syarat Nikah Beda Kewarganegaraan

Meski begitu, ketika pada proses pemecatan kekuasaan orang tua atas anaknya, ia tetap berkewajiban memberikan nafkah untuk kebutuhan anaknya. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (2) UU Perkawinan yakni meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Hal ini turut diperkuat dalam Pasal 298 KUHPerdata bahwa kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapat mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu. 

Baca Juga: Memahami Tata Cara Mewariskan Harta Menurut KUH Perdata

 Daftar Hukum: