Arbitrase ad hoc atau voluntary arbitration adalah metode penyelesaian sengketa yang dibentuk setelah terjadi perselisihan dan memiliki jangka waktu tertentu. Karena sifatnya yang sementara, arbitrase ini akan berakhir setelah sengketa diselesaikan sesuai kebutuhan. 

Arbitrase ad hoc tidak mengacu pada peraturan arbitrase institusional dan tanpa pengawasan lembaga arbitrase. Namun disisi lain, arbitrase ad hoc dapat menerima dukungan administratif atau logistik dari lembaga arbitrase. Prinsip dasarnya, arbitrase ad hoc tidak terikat dengan badan arbitrase tertentu.

Arbitrator dipilih dan ditentukan oleh pihak yang bersengketa, memberikan fleksibilitas untuk merancang proses penyelesaian sesuai situasi tanpa pengawasan lembaga resmi.

Perbedaan Arbitrase Institusional dan Arbitrase Ad Hoc 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase 30/1999”) arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dalam arbitrase institusional para pihak yang bersengketa akan menunjuk arbiter atau majelis arbitrase. Arbitrase sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa komersial, khususnya dalam konteks transaksi komersial internasional.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional memiliki seperangkat peraturan sendiri yang memberikan kerangka kerja dan administrasi tersendiri untuk membantu menyelesaikan proses tersebut. 

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan Lembaga arbitrase resmi yang ada di Indonesia. Sementara lembaga/pengadilan arbitrase lainnya adalah Pengadilan Arbitrase Internasional London (LCIA), Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC), China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC), dan Singapore International Arbitration Centre (SIAC).

Terdapat sekitar 1.200 lembaga di seluruh dunia yang menawarkan layanan arbitrase, dan beberapa di antaranya akan menangani perdagangan atau industri tertentu. Seringkali kontrak antara dua pihak akan memuat klausul arbitrase yang akan menunjuk lembaga tertentu sebagai penyelenggara arbitrase. 

Jika tuntutan administratif kelembagaan tidak menjadi perhatian para pihak, pendekatan ini biasanya lebih dipilih daripada metode arbitrase ad hoc yang kurang formal.

Penyelesaian arbitrase ad hoc menekankan para pihak yang menentukan sendiri seluruh aspek arbitrase, misalnya, jumlah arbiter, penunjukan arbiter tersebut, hukum yang berlaku, dan prosedur pelaksanaan arbitrase.

Pendekatan penyelesaian arbitrase ad hoc dengan kerja sama akan lebih fleksibel, lebih cepat, dan lebih murah dibandingkan proses yang dilakukan secara institusional. 

Apabila para pihak tidak dapat menyepakati secara rinci semua permasalahan yang belum terselesaikan terkait dengan pelaksanaan arbitrase, misalnya terkait lembaga yang akan ditunjuk atau bagaimana proses akan dilakukan, maka bisa melalui pendekatan jika lokasi penyelesaian non-litigasi itu memiliki undang-undang arbitrase yang ditetapkan.

Namun, proses hukum ad hoc tidak perlu dipisahkan sepenuhnya dari arbitrase institusional. Seringkali, penunjukan arbiter yang memenuhi syarat dapat menyebabkan pihak yang setuju untuk menunjuk lembaga penyedia sebagai otoritas. Selain itu, para pihak dapat memutuskan untuk melibatkan lembaga penyedia untuk menyelenggarakan arbitrase kapan saja.

Baca Juga: Strategi Memenangi Sengketa Melalui Jalur Arbitrase

Pengertian dan Tujuan Arbitrase Ad Hoc

Arbitrase ad hoc merupakan metode penyelesaian sengketa yang dirancang khusus, memungkinkan para pihak yang terlibat menetapkan tujuannya secara independen dari peraturan institusi manapun. 

Arbitrase sementara ini juga berorientasi pada fleksibilitas, memilih arbiter yang sesuai, menyelesaikan proses dengan efisien sesuai konteks perselisihan. 

Tujuan utamanya adalah efisiensi dan kemampuan beradaptasi dengan menawarkan jalur penyelesaian cepat dan sesuai kebutuhan. Cara ini memungkinkan penyelesaian perselisihan yang tidak dapat dicapai dalam mekanisme formal pengadilan arbitrase.

Baca Juga: Perkembangan Arbitrase di Indonesia

Perjanjian Arbitrase Ad Hoc

Pelaksanaan arbitrase ad hoc memerlukan kesepakatan dari para pihak yang bersengketa, baik dalam klausul kontrak maupun setelah timbulnya perselisihan. Perselisihan ini dapat melalui tiga fase, yaitu:

  • Fase 1: Kesepakatan untuk melakukan arbitrase atas perselisihan di masa depan tanpa menunjuk lembaga khusus. Metode ini memiliki risiko kegagalan terbesar.
  • Fase 2: Negosiasi perjanjian arbitrase ad hoc yang terperinci, mencakup tempat arbitrase, hukum yang berlaku, jumlah arbiter dan cara pengangkatannya, pengungkapan dokumen, keterangan saksi, pengajuan tertulis, dampak perintah dan penghargaan pengadilan, serta biaya.
  • Fase 3: Kesepakatan untuk melaksanakan arbitrase sesuai dengan seperangkat peraturan ad hoc yang telah ditetapkan, seperti Peraturan Arbitrase UNCITRAL atau undang-undang arbitrase negara tertentu.

Baca Juga: Syarat dan Tips Memilih Arbitrator yang Kompeten

Keuntungan Arbitrase Ad Hoc

Arbitrase ad hoc menawarkan beberapa keuntungan utama, antara lain:

  •  Fleksibilitas: Memungkinkan pihak-pihak memilih aturan prosedur sesuai kebutuhan spesifik dan fakta sengketa tertentu.
  • Efisiensi biaya: Menghindari biaya administrasi arbitrase institusional. Biaya arbiter dapat dinegosiasikan langsung oleh pihak yang bersengketa.
  • Kemandirian: Memberikan kemandirian lebih besar kepada negara dan Badan Usaha Milik Negara, mengatasi permasalahan kebijakan publik dan kedaulatan dengan prosedur yang disesuaikan.

Baca Juga: Kenali Profil Lembaga Arbitrase di Indonesia

Kekurangan Arbitrase Ad Hoc

Namun, arbitrase ad hoc juga memiliki sejumlah risiko, antara lain:

  • Ketidakpastian perjanjian: Kesepakatan mungkin gagal memperhitungkan semua kemungkinan yang timbul selama arbitrase, menyebabkan ambiguitas atau cacat.
  • Kerjasama yang rentan: Hal ini akan bergantung pada efektivitas kerja sama antara pihak yang bersengketa dan pengacara mereka. Jika salah satu pihak menolak menunjuk arbiter, proses dapat tertunda atau tergantung adanya intervensi hukum.
  • Biaya dan Kredibilitas: Timbulnya perselisihan mengenai biaya dan pengeluaran arbiter, dan putusan arbitrase ad hoc dinilai kurang kredibel tanpa dukungan lembaga arbitrase. 
  • Pengakuan Yurisdiksi: Beberapa yurisdiksi, seperti Tiongkok, tidak mengakui arbitrase ad hoc sebagai bentuk penyelesaian sengketa yang sah kecuali dilakukan oleh ‘komisi arbitrase’.

Baca Juga: Dasar, Bentuk, dan Tips Penyusunan Klausul Perjanjian Arbitrase

Kesimpulan

Arbitrase ad hoc menawarkan metode penyelesaian sengketa yang fleksibel dan efisien, memungkinkan para pihak yang bersengketa untuk memilih arbiter dan menentukan prosedur sesuai kebutuhan spesifik mereka. Meskipun memiliki keuntungan seperti biaya yang lebih murah dan kemandirian yang lebih besar, arbitrase ad hoc juga menghadapi risiko ketidakpastian hukum. 

Penting bagi pihak-pihak yang memilih arbitrase ad hoc untuk merancang perjanjian yang rinci dan mempertimbangkan semua kemungkinan yang mungkin timbul selama proses arbitrase.

Baca Juga: Memahami Hak Ingkar Hukum Arbitrase

Dasar Hukum:

  • UU 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
  • Peraturan Arbitrase UNCITRAL

 

Referensi: