Hak Ingkar sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Ketentuan hukum di Indonesia menegaskan, seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang kerap digunakan pelaku usaha. Meski dalam arbitrase dimungkinkan peran dari pengadilan, namun harus ekstra-hati-hati dalam menjalankan perannya. Jangan sampai peran pengadilan dianggap sebagai intervensi dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dalam tulisannya di sindonews.com Selasa (11/11/2014) menjelaskan, hal yang dikesankan sebagai bentuk intervensi pengadilan atas proses arbitrase adalah hak ingkar dari arbiter yang ditunjuk. Hak ingkar atas arbiter adalah hak yang diberikan kepada pihak yang berperkara untuk diajukan keberatan atas arbiter yang menyelesaikan perkara. Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase disebutkan, ”Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan.”
Pasal ini menjelaskan bahwa, hal ingkar yang diajukan kepada arbiter bisa ditindaklanjuti dengan mencoret namanya dan tidak lagi menjadi arbiter dalam suatu perkara.
Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Arbitrase menyebutkan, ”Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada ketua pengadilan negeri yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.”
Persoalannya, apakah pengadilan mempunyai peran untuk menerima tuntutan hak ingkar dari salah satu pihak yang berperkara? Dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-undang Arbitrase disebutkan, ”Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditentukan lain oleh para pihak.”
“Pasal ini menjelaskan, bahwa apabila para pihak telah menunjuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk menyelesaikan perkara mereka maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara BANI yang disebut sebagai Peraturan BANI. Dengan demikian, pengadilan tidak dapat berperan ketika para pihak yang bersengketa memilih arbitrase permanen,” ujar Hikmahanto seperti dikutip dari Sindonews.com.
Ketentuan yang dijelaskan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Arbitrase hanya berlaku bagi arbitrase yang bersifat ad hoc atau tidak permanen. Dalam Pasal 10 ayat (5) paragraf (2) Peraturan BANI disebutkan, ”Dalam hal pihak-pihak tersebut tidak setuju dengan penunjukan seorang arbiter dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka pilihan mereka terhadap seorang arbiter harus dianggap telah diserahkan kepada ketua BANI yang akan memilih atas nama pihak-pihak tersebut.”
Dari ketentuan disini jelas bila ada hak ingkar atas arbiter tertentu, maka hal ini menjadi kewenangan dari ketua BANI untuk memilih. Dalam Pasal 10 ayat (6) Peraturan BANI disebutkan, ”Keputusan atau persetujuan akhir mengenai penunjukan semua arbiter berada di tangan ketua BANI.”
Baca Juga: Yurisprudensi Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase