Akuisisi atau yang dikenal dengan pengambilalihan, merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh individu maupun badan hukum untuk memperoleh saham suatu Perseroan Terbatas (PT). Langkah ini berakibat pada beralihnya kendali atas perusahaan tersebut. Pengertian ini sesuai dengan Pasal 109 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”), yang mengubah ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”).
Pengambilalihan saham dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu mekanisme yang diatur dalam Pasal 125 ayat (1) UU PT adalah melalui saham yang telah diterbitkan atau yang akan diterbitkan oleh PT, baik melalui direksi maupun secara langsung dari pemegang saham. Proses ini memungkinkan pihak yang berminat mengambil alih saham untuk berinteraksi dengan perusahaan dalam berbagai skema akuisisi.
Dalam hal akuisisi dilakukan oleh badan hukum berbentuk PT, terdapat ketentuan yang harus dipenuhi sebelum transaksi dapat dijalankan. Sesuai Pasal 125 ayat (4) UU PT, direksi wajib memperoleh persetujuan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Keputusan dalam RUPS harus memenuhi ketentuan kuorum kehadiran serta aturan mengenai pengambilan keputusan yang telah ditetapkan.
Persyaratan khusus untuk RUPS dalam menyetujui pengambilalihan diatur dalam Pasal 89 ayat (1) UU PT. Agar keputusan RUPS dapat dianggap sah, rapat harus dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili minimal 3/4 dari total saham dengan hak suara atau yang hadir melalui perwakilan. Keputusan kemudian dianggap valid apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 bagian dari suara yang diberikan. Namun, dalam beberapa kasus, anggaran dasar PT dapat menentukan persyaratan kuorum dan persetujuan yang lebih besar.
Jika pengambilalihan saham dilakukan melalui direksi, pihak yang berencana mengambil alih saham wajib menyampaikan maksudnya kepada direksi PT yang akan diakuisisi. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 125 ayat (5) UU PT. Langkah ini bertujuan untuk memastikan adanya transparansi dalam proses akuisisi serta memberikan kesempatan bagi PT yang akan diakuisisi untuk mempertimbangkan berbagai aspek sebelum transaksi berlangsung.
Setelah menerima permohonan pengambilalihan, direksi PT yang akan diambil alih dan PT yang akan mengakuisisi, dengan persetujuan dewan komisaris masing-masing, harus menyusun rancangan pengambilalihan. Sesuai Pasal 125 ayat (6) UU PT, rancangan ini harus mencakup berbagai informasi penting, di antaranya:
- nama dan tempat kedudukan dari PT yang akan mengambil alih dan PT yang akan diambil alih;
- alasan serta penjelasan direksi PT yang akan mengambil alih dan direksi PT yang akan diambil alih;
- laporan keuangan untuk tahun buku terakhir dari PT yang akan mengambil alih dan PT yang akan diambil alih;
- tata cara penilaian dan konversi saham dari PT yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dilakukan dengan saham;
- jumlah saham yang akan diambil alih;
- kesiapan pendanaan;
- neraca konsolidasi proforma PT yang akan mengambil alih setelah pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
- cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan;
- cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris, dan karyawan dari PT yang akan diambil alih;
- perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada direksi PT;
- rancangan perubahan anggaran dasar PT hasil pengambilalihan apabila ada.
Baca juga: Bagaimana Penyelesaian Sengketa Arbitrase dalam Industri Pertambangan?
Setelah rancangan pengambilalihan disusun, tahap selanjutnya adalah pengumuman kepada publik dan pihak internal perusahaan. Berdasarkan Pasal 127 ayat (2) UU PT, direksi PT wajib mengumumkan ringkasan rancangan pengambilalihan setidaknya satu surat kabar serta memberitahukan secara tertulis kepada karyawan PT yang akan melakukan pengambilalihan. Pengumuman ini harus dilakukan paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS guna memberikan waktu yang cukup bagi pemegang saham dan pihak terkait untuk mempertimbangkan transaksi tersebut.
Dengan adanya regulasi yang ketat dalam UU PT, proses pengambilalihan saham di Indonesia diharapkan dapat berjalan dengan lebih transparan, adil, dan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Aturan Khusus Terkait Akuisisi Perusahaan Tambang Menurut Pasal 93A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Pasal 72 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021
Untuk perusahaan tambang, terdapat aturan khusus yang harus dipatuhi terkait dengan akuisisi. Pasal 93A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur bahwa setiap pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) atau hak lainnya dalam sektor pertambangan harus mendapat persetujuan dari Menteri.
Selain itu, Pasal 72 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha di Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 96/2021”) menyatakan bahwa pengalihan saham pada perusahaan tambang yang memiliki IUP harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Persetujuan ini diperlukan untuk memastikan bahwa pengalihan kepemilikan atau pengendalian perusahaan tambang tidak merugikan kepentingan negara dan tidak mengabaikan kewajiban perusahaan terhadap pemenuhan kewajiban perizinan dan lingkungan hidup.
Aturan ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan operasional dan pemenuhan kewajiban hukum yang telah ditetapkan bagi perusahaan tambang, serta memastikan bahwa setiap pengalihan saham atau izin usaha tidak merugikan negara atau masyarakat.
Proses untuk memperoleh persetujuan pengalihan saham pada perusahaan tambang memerlukan berbagai syarat administratif yang harus dipenuhi oleh pihak yang mengakuisisi. Persetujuan dari Menteri ESDM menjadi salah satu syarat utama dalam proses pengalihan saham perusahaan tambang yang memiliki IUP.
Menurut ketentuan dalam Pasal 93A UU Minerba dan Pasal 72 Ayat (1) PP 96/2021, beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah: pertama, perusahaan yang mengalihkan saham harus memastikan bahwa pengalihan tersebut tidak akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban yang dimiliki perusahaan, seperti kewajiban terkait dengan lingkungan, pembayaran royalti, atau kewajiban lainnya sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, pihak yang mengakuisisi perusahaan tambang harus memiliki kemampuan finansial dan teknis untuk melanjutkan operasional perusahaan tambang setelah akuisisi.
Ketiga, dokumen-dokumen pendukung yang diperlukan, seperti laporan keuangan perusahaan, rencana pengelolaan lingkungan, dan dokumen izin lainnya, harus diserahkan kepada pihak berwenang sebagai bagian dari proses evaluasi. Keempat, proses ini harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan pemenuhan hak-hak masyarakat sekitar.
Setelah semua persyaratan tersebut dipenuhi dan dokumen lengkap diajukan, Menteri ESDM akan melakukan evaluasi dan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap pengalihan saham tersebut.
Baca juga: Analisis Dampak Lingkungan Wajib Dipatuhi dalam Pertambangan
Daftar Hukum:
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”).
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”).
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha di Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 96/2021”).
Referensi:
- Yusuf, A. & Priyanto, R. (2021). “Aspek Hukum dalam Akuisisi Perusahaan Tambang di Indonesia”. Jurnal Hukum Pertambangan, 12(4), 45-59. (Diakses pada 10 Februari 2025 pukul 13.50 WIB).