Pertambangan menjadi salah satu industri yang eksistensinya sangat mempengaruhi perekonomian indonesia karena memiliki peran yang penting terhadap penerimaan negara. Bahkan dalam 10 tahun terakhir, terhitung adanya perolehan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp1.800 triliun atas kontribusi sektor pertambangan.

Sektor pertambangan termasuk ke dalam industri yang kompleks karena kegiatan pertambangan tidak hanya melibatkan perusahaan tambang, namun juga mencakup  perusahaan lain, masyarakat, serta pemerintah. Salah satu langkah preventif untuk mencegah terjadinya wanprestasi adalah membuat kesepakatan antara  para pihak, baik melalui lisan maupun tulisan. 

Setiap tindakan yang melibatkan aspek hukum memerlukan perjanjian secara tertulis atau yang biasa disebut sebagai kontrak. Pembuatan kontrak didasari atas kedua belah pihak dengan tujuan mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakan kewajibannya masing-masing. Kerangka yang tertera dalam kontrak umumnya mencantumkan mengenai penyelesaian sengketa yang dipilih jika terjadi persengketaan di antara kedua belah pihak. Ketika kedua belah pihak sepakat untuk menggunakan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase, maka segala permasalahan yang timbul akan diselesaikan melalui jalur arbitrase.

Sejak disahkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS) pada 12 Agustus 1999, alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi semakin populer di Indonesia. Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar persidangan yang didasari atas perjanjian arbitrase. 

Pada umumnya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase banyak dipilih sebagai teknik penyelesaian sengketa karena dinilai lebih efektif dan efisien, biaya yang dikeluarkan lebih terjangkau, serta terjamin kerahasiaannya apabila dibandingkan dengan dengan jalur pengadilan. Meskipun demikian, menurut UU Arbitrase dan APS, arbitrase hanya berlaku untuk sengeka yang berhubungan dengan hak yang secara hukum dapat sepenuhnya dikuasai oleh para pihak sesuai persetujuan mereka yang saling mengikat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tidak semua jenis sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase.

Hingga saat ini, telah tersedia 5 lembaga arbitrase di wilayah Indonesia, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Court of Arbitration of International Chamber of Commerce (ICC International Court Arbitration), dan The International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Perbedaan di antara kelima lembaga tersebut terletak pada jenis sengketa yang diselesaikan, wilayah hukum yang berlaku, serta proses penyelesaiannya.

Suatu kegiatan yang melibatkan banyak pihak tentu berpotensi menimbulkan permasalahan yang kompleks, tak terkecuali kegiatan tambang. Berdasarkan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang berbunyi:

“Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan pendang-undangan.”

Tidak hanya UU Minerba yang mengatur  mengenai sengketa pada kegiatan tambang, namun Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Ciptaker”) juga mengatur mengenai konflik penyebab sengketa pertambangan di  mana dalam pasal tersebut berbunyi:

“Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 86F huruf b, dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” 

Berdasarkan ketentuan regulasi di atas, maka dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa pertambangan dapat diselesaikan melalui jalur non-litigasi (arbitrase) maupun jalur litigasi (pengadilan). Pemilihan penyelesaian sengketa pertambangan harus disertai dengan mempertimbangkan efektivitas dan kepastian hukum terhadap seluruh pihak yang terlibat. 

Baca juga: Mengenal Landasan Hukum dan Yurisprudensi Sengketa Pertambangan

Lalu, bagaimana proses pelaksanaan arbitrase pada sengketa pertambangan?

Sengketa pertambangan dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase apabila memenuhi persyaratan, yakni tercantum klausul arbitrase pada perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dimana pada umumnya klausul tersebut mencakup forum arbitrase yang digunakan, penggunaan hukum yang berlaku, bahasa yang digunakan, serta jumlah arbiter yang mengurus perkara.

Apabila telah memenuhi persyaratan, selanjutnya pihak yang merasa dirugikan akibat adanya kegiatan pertambangan dapat mengajukan permohonan arbitrase dengan mengajukan surat  gugatan ke lembaga arbitrase yang dipilih. Dalam surat gugatan tersebut tercantum identitas para pihak, pokok-pokok sengketa dan tuntutan yang diajukan, perjanjian dan klausul arbitrase yang dijadikan sebagai dasar kewenangan arbitrase, serta bukti-bukti pendukung dan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan dan persidangan arbitrase secara tertutup. 

Apabila pemeriksaan telah selesai dilaksanakan, maka arbiter akan mengeluarkan putusan arbitrase yang bersifat final, berkekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase tersebut tentu harus dilaksanakan. Apabila putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa sebagaimana hal ini tertera dalam Pasal 61 UU Arbitrase dan APS.

Baca juga: Alternatif Penyelesaian Masalah Konflik Pertambangan

Daftar Hukum:

Referensi: