Sebuah usaha di bidang pertambangan adalah kegiatan bisnis yang melakukan pengelolaan mineral atau batubara dengan beragam aktivitas. Selain melaksanakan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, dan penambangan, ruang lingkup kegiatan pertambangan adalah pengolahan, dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.  

Pengelolaan tambang juga bersentuhan dengan birokrasi, hubungan pemerintah pusat dan daerah serta berpengaruh pada lingkungan dan kepentingan masyarakat. Karena kegiatan usahanya yang kompleks maka rentan terjadi konflik. Sengketa Pertambangan diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang. Selain itu juga Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Berdasarkan hasil riset yang dilansir databoks, terdapat peningkatan sengketa pertambangan pada tahun 2022 hingga 2023. Pada tahun 2022, sengketa pertambangan terjadi sebanyak 21 kasus, kemudian meningkat pada tahun 2023 menjadi 32 kasus. Hal ini didasari atas kegiatan eksplorasi yang semakin meningkat karena pertumbuhan investasi di Indonesia yang semakin meningkat. Sementara itu, dikutip dari Liputan6.com, terdapat 2.741 lokasi tambang ilegal (tanpa izin) sepanjang tahun 2022. Komoditas dari pertambangan tersebut berasal dari batubara, logam, dan non logam. Sejumlah 1.215 kasus berasal dari wilayah pertambangan rakyat (WPR), sementara 1.526 kasus berasal dari pertambangan lainnya.

Berdasarkan Pasal 154 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Pertambangan) sengketa pertambangan dapat diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri. Persengketaan pertambangan yang dimaksud meliputi permasalahan pada pelaksanaan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan IUPK.(Izin Usaha Pertambangan Khusus).

Adanya proses aktivitas pertambangan tentu banyak menimbulkan pro dan kontra, baik dari pihak masyarakat, badan hukum, maupun pemerintah, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi potensi konflik. Salah satu contohnya adalah tindakan menghalangi kegiatan pertambangan sehingga mengganggu kegiatan bisnis. Dalam Pasal 162 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU Cipta Kerja) dijelaskan terkait sanksi pidana bagi pihak yang merintangi atau mengganggu kegiatan pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIP yang telah memenuhi seluruh persyaratan yang tertera dalam ketentuan UU Pertambangan, maka akan dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 tahun atau pembayaran denda dalam bentuk uang paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

Baca Juga: Urgensi Pemisahan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan

Yurisprudensi Kasus Sengketa Tambang 

Yurisprudensi merupakan putusan/pendapat dari para hakim yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung untuk memutus suatu perkara yang belum diatur dalam undang-undang.  Dalam sengketa pertambangan, Berikut contoh  yurisprudensi kasus sengketa tambang yang pernah terjadi.

Pada tahun 2016, terjadi sengketa perkara Tata Usaha Negara antara PT. CU (Pemohon) melawan Kepala Kantor Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Tengah (Termohon I) dan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Barito Timur (Termohon II) terkait peningkatan izin kuasa pertambangan eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi. 

Pada perkara ini, Pemohon telah memperoleh legalitas dan perizinan di bidang energi dan sumber daya mineral, akan tetapi rekomendasi clear and clean belum juga diterbitkan oleh Termohon I maupun Termohon II. Hal tersebut terjadi karena Termohon I  menyatakan bahwa belum dapat menerbitkan clear and clean dikarenakan seluruh dokumen milik Pemohon belum dilegalisasi oleh Termohon II dan terdapat permasalahan tumpang tindih dengan perizinan perusahaan lain yakni PT. PM.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, legalisasi dokumen menjadi kewenangan Termohon I, bukan Termohon II, maka dari itu sudah sepatutnya antara Termohon I maupun Termohon II tidak melakukan saling lempar kewenangan.

Kasus ini memasuki tahap peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kepala Kantor Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Tengah (Pemohon PK, dahulu Termohon I). Meskipun dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU Cipta Kerja) tidak diatur upaya PK, namun Mahkamah Agung perlu menanggapi permohonan PK. Pada proses perkara di pengadilan, PK menjadi salah satu upaya untuk mendapatkan keadilan korektif. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pada tahap PK didasari atas:

  1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU Cipta Kerja)
  2. Kelengkapan persyaratan permohonan dalam mengajukan proses legalisasi perizinan dan permohonan pernyataan clean and clear adalah dua hal yang berbeda dan harus dipisahkan
  3. Adanya tumpang tindih wilayah izin usaha pertambangan antara PT. Coalindo Utama dan PT. Padang Mulia yang harus diselesaikan terlebih dahulu

Berdasarkan alasan di atas, maka hakim memutuskan akan mengabulkan permohonan PK dari Kepala Kantor Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Tengah (selaku Pemohon PK) dan menghukum Termohon PK untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama dan dalam PK.

Sengketa lainnya adalah kasus pidana tindak usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK oleh SA (Terdakwa). Atas tindak pidana tersebut, Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana berupa: penjatuhan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 bulan dipotong masa tahanan, denda dalam bentuk uang tunai sejumlah Rp1.000.000 (subsidersubsidair 1 bulan kurungan), penetapan barang bukti, dan pembayaran biaya perkara sejumlah Rp5.000.

Majelis Hakim mempertimbangkan 2 unsur, yakni: setiap orang (merujuk pada subjek hukum yang terlibat) dan melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK. Berdasarkan kedua unsur tersebut, hakim memutuskan bahwa Terdakwa telah terbukti bersalah secara sah karena melakukan tindak pidana usaha penambangan tanpa IUP, dengan menjatuhkan  pidana penjara 1 bulan 10 hari dan denda Rp1.000.000 dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar denda, maka akan diganti dengan hukuman pidana kurungan selama 1 bulan. Penetapan masa penangkapan dan penahanan terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, terdakwa akan tetap ditahan, menetapkan barang bukti, serta terdakwa dibebani dengan pembayaran biaya perkara sejumlah Rp5.000.

Yurisprudensi lainnya terkait kasus pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP dan IUPK yang dilakukan oleh RS  (Terpidana/Terdakwa). Atas tindak pidana yang telah dilakukan, Penuntut Umum mengajukan menjatuhkan pidana penjara selama 8 bulan, penetapan barang bukti untuk digunakan pada perkara  dan dibebani untuk melakukan pembayaran biaya perkara sebesar Rp5.000. Atas berbagai pertimbangan Majelis Hakim, Terdakwa dihukum pidana penjara selama 5 bulan, pengembalian barang bukti, serta dibebankan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2.000. Terpidana mengajukan permohonan PK namun tidak bisa diterima atau ditolak.

Bisnis pertambangan memiliki tata kelola yang kompleks dan korelasi yang panjang dengan ekosistem pendukungnya. Perlu penegasan dari aturan  hukum yang ada agar persoalan tambang yang terkadang diwarnai kekerasan bisa dihindari.

Baca Juga: Pengertian dan Dasar Hukum Kontrak Karya Pertambangan

Sumber:

 

Referensi:

https://www.liputan6.com/bisnis/read/5194738/ada-2741-lokasi-tambang-ilegal-di-2022-terbanyak-di-sumatera-dan-kalimantan diakses 16 Mei 2024 pukul 10:00 WIB