Kontrak karya pertambangan di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 33 yang menyatakan bahwa negara menguasai sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal inilah yang menjadi dasar pemerintah Indonesia dalam menjalin kontrak dengan perusahaan swasta dalam pengelolaan pertambangan di Tanah Air. 

Asas hukum kontrak karya diatur Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Kontrak ini menjadi landasan bagi para pihak baik pemerintah dan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam melakukan pengelolaan sumber daya tambang non migas. Kontrak ini juga bisa disebut dengan perjanjian antara pemerintah dengan pihak swasta. Pihak swasta di sini, swasta nasional atau pihak asing yang bekerja sama dengan badan hukum Indonesia serta menggunakan modal nasional. 

Baca Juga: Aspek Hak Asasi Manusia dalam Kegiatan Pertambangan

Dasar Hukum Kontrak Karya Pertambangan 

Selain Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi dasar pengelolaan tambang mineral dan batubara (minerba), ada sejumlah perundang undangan yang mengatur dan menjadi pedoman bagi para pelaku pertambangan di Indonesia. Dasar hukum itu adalah:

  1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
  2. UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba);
  3. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba);
  4. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mengubah UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Selain menjadi payung hukum reformasi perizinan tambang di Tanah Air, UU Ciptaker juga mengatur bahwa usaha pertambangan harus memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Perizinan berusaha ini diberikan dalam bentuk nomor induk berusaha, sertifikat standar, dan izin. 

Sementara UU Minerba yang baru mengambil alih kewenangan izin dari pemerintah daerah. Pasal 35 ayat (1) UU Minerba baru itu menyebutkan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. 

Baca Juga: Inilah Peraturan Perlindungan Lingkungan dalam Hukum Pertambangan

Tujuan dan Substansi Kontrak Karya 

Kontrak karya pertambangan memiliki peran penting pada sektor pengelolaan tambang karena didalamnya mencangkup isi perjanjian yang merupakan bagian dari legalitas hukum yang sah. Kontrak ini menjadi dokumen yang sangat penting, apabila terjadi konflik maupun hal-hal berisiko lainnya, yang berkaitan dengan kontrak dan pemegang kewenangan pertambangan.

Dalam perjanjian kontrak karya terdapat poin-poin yang memuat tentang tanggal dan tempat persetujuan, subjek hukum, definisi, penunjukan dan tanggung jawab perusahaan, wilayah kontrak, periode operasi, penyelesaian sengketa, pembiayaan, jangka waktu, pengakhiran kontrak, fasilitas, dan lain sebagainya. 

Jika kontrak karya tidak ada, maka dapat dipastikan kegiatan penambangan bersifat rancu, tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan siapa yang bertanggung jawab, sekaligus tidak ada bukti informasi mengenai kegiatan pertambangan tersebut. Kontrak karya juga menerangkan secara rinci batas waktu kontrak, dan apabila batas kontrak itu berakhir, akan ada kebijakan yang bisa diambil, menghentikan kontrak atau melanjutkannya. Tak menutup kemungkinan penanggung jawab dari penambangan bisa menjadi milik pihak lain, jika kontraknya sudah berakhir. 

Penambangan yang tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan kontrak karya akan dianggap sebagai penambangan ilegal, meskipun posisinya dekat dengan wilayah pertambangan. Kegiatan pertambangan berhubungan dengan kelangsungan sumber daya alam milik negara, serta mempengaruhi peningkatan ekonomi, ekspor, impor dan lain sebagainya. 

Baca Juga: Masa Depan dan Tantangan Pertambangan di Pulau Papua

Hak Eksklusif Kontraktor

Kontrak karya pertambangan memberikan kuasa eksklusif kepada pihak kontraktor, namun tidak memiliki hak atas tanah permukaan di wilayah pertambangan tersebut. Dalam kontrak juga diatur pembagian keuntungan antara pemerintah dan kontraktor. 

Seiring perkembangan sektor pertambangan, pemerintah memberlakukan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara sekaligus mencabut UU No. 11 Tahun 1967. Begitu juga dengan UU No. 4 Tahun 2009 yang tidak berlaku lagi sejak diterbitkannya UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Baca Juga: Era Otonomi Daerah dan Pengelolaan Tambang Minerba