Era otonomi daerah (Otda) mengamanatkan bahwa urusan pertambangan bukan menjadi urusan wajib bagi daerah otonom, melainkan urusan pilihan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyatakan bahwa urusan pertambangan tidak termasuk urusan wajib bagi provinsi dan/atau kabupaten/Kota, tetapi termasuk urusan pilihan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 yang merupakan peraturan pelaksana UU Pemda juga menyatakan bahwa urusan pertambangan merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara tingkatan pemerintahan secara bersama. Mengacu pada PP No. 75 Tahun 2001, penerbitan izin pertambangan dapat menjadi kewenangan Bupati, Walikota, Gubernur, atau Menteri.
Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa wilayah pertambangan merupakan bagian dari tata ruang nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan DPR.
Wilayah pertambangan tersebut terbagi jadi tiga wilayah, yaitu terdapat wilayah usaha pertambangan yang ditetapkan dan disahkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah otonomi daerah dan disampaikan kepada DPR. Selanjutnya, wilayah pertambangan rakyat yang ditetapkan juga oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD dan wilayah pencadangan negara yang ditetapkan pemerintah untuk kepentingan strategis nasional.
Namun sampai saat ini penentuan wilayah usaha pertambangan sesuai dengan tata ruang belum ditetapkan oleh pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah yang mendapat pelimpahan kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan tak dapat menerbitkan izin.
Sumber daya alam tergolong dalam public ownership perlu dikendalikan oleh pemerintah agar penggunaannya dapat ditujukan bagi kemakmuran rakyat, kecuali dalam kondisi tertentu, maka izin dapat diberikan kepada pihak tertentu untuk melaksanakan pengelolaan pertambangan.
Perizinan yang menyangkut public ownership dapat diberikan dalam bentuk concessie yang diikuti dengan pemberian berbagai hak dan kewajiban bagi pemegang konsesi yang dituangkan dalam sebuah perjanjian.
Jadi pada dasarnya penggunaan atau pemanfaatan terhadap barang yang mengandung makna kepentingan umum harus dikendalikan oleh pemerintah agar tidak terjadi monopoli terhadap objek yang bernilai kepentingan umum.