Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan menyatakan bahwa setiap pengusaha yang akan melakukan kegiatan pertambangan wajib memiliki Kuasa Pertambangan (KP). Pemberian KP  ini didasarkan pada penggolongan bahan galian.

Ada tiga macam golongan bahan galian, yaitu golongan a, b dan c.  Bahan galian golongan a merupakan usaha penambangan strategis yang dianggap berguna untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, nikel, timah atau bahan radioaktif.

Bahan galian golongan b merupakan usaha penambangan vital yang berfungsi menjamin hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, intan, besi atau seng. Bahan galian golongan c merupakan bahan galian yang bukan merupakan bahan galian golongan a dan b seperti pasir, kerikil, marmer, granit atau kaolin.

Kewenangan pengaturan usaha pertambangan bahan galian golongan a dan b berada pada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sedangkan kewenangan usaha pertambangan bahan galian golongan c berada pada Pemerintah Daerah Tingkat I tempat di mana bahan galian tersebut berada. Namun dengan memperhatikan kepentingan daerah, Menteri dapat menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan galian golongan b kepada Pemerintah Provinsi tempat terdapatnya bahan galian itu.

Pemberian kontrak publik kepada perusahaan swasta (investor) dimungkinkan jika instansi pemerintah dianggap tidak dapat melaksanakan sendiri.  Untuk itu, Menteri dapat memberikan izin publik untuk dilakukan kontrak dengan pihak lain, termasuk investor.

Untuk bahan galian golongan c yang terdapat di lepas pantai dan diusahakan oleh Perusahaan Asing harus dilakukan dengan bentuk kontrak karya. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor  37 Tahun 1986, bahan galian golongan ini dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dengan menerbitkan Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD).

Pelaksanaan pengusahaan pertambangan untuk bahan galian golongan a hanya dapat dilakukan oleh instansi pemerintah dan perusahaan negara. Pengusahaan bahan galian golongan b dapat dilakukan oleh siapa saja, baik perusahaan tambang negara maupun instansi pemerintah, perseorangan maupun badan hukum swasta, sepanjang memenuhi persyaratan dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Pokok Pertambangan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Tingkat I, usaha Pertambangan yang dilakukan dengan kontrak karya dapat dilakukan terhadap bahan galian golongan a dan b melalui kerjasama dengan instansi pemerintah atau perusahaan negara selaku pemegang KP, sepanjang belum mampu atau tidak mampu melakukannya sendiri.

Bentuk-bentuk KP yang dapat diberikan kepada pemohon adalah :

  1. Kuasa Pertambangan (KP) yang diberikan kepada perusahaan negara, perusahaan daerah, Koperasi, badan hukum lainnya atau perseorangan untuk melakukan usaha pertambangan bahan galian golongan a dan b
  2. Surat Keputusan Penugasan (KP Penugasan) yaitu bentuk KP yang diberikan oleh Menteri kepada Instansi Pemerintah untuk melakukan usaha pertambangan dalam melakukan Penelitian bahan galian
  3. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat (SIPR) yaitu izin pengusahaan untuk semua golongan (a, b dan c) yang diberikan oleh Menteri kepada rakyat setempat yang dilakukan dengan cara turun temurun, kecil-kecilan dan dengan peralatan yang sangat sederhana
  4. Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Perusahaan/ Badan Hukum dan Perseorangan untuk usaha pertambangan bahan galian golongan c di daerahnya

 

Pengelolaan Tambang Era Otonomi Daerah

Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memerikan kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sejumlah urusan pemerintahan yang akan diserahkan kepada kabupaten/ kota, yaitu pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja berdasarkan pasal 11 Undang-undang Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian urusan pertambangan bukan menjadi urusan wajib bagi daerah otonom, melaikan urusan pilihan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga menyatakan bahwa urusan pertambangan tidak termasuk urusan wajib bagi provinsi dan/atau kabupaten/Kkta, tetapi termasuk urusan  pilihan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota sebagai peraturan pelaksana UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak ada urusan yang mutlak merupakan kewenangan daerah otonom semata. Begitu pula dengan urusan pertambangan merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara tingkatan pemerintahan secara bersama.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, kewenangan penerbitan izin pertambangan tergantung dari letaknya kegiatan pertambangan yang dilakukan.  Untuk itu, izin pertambangan dapat menjadi kewenangan Bupati, Walikota, Gubernur atau Menteri.

Pasal 33 ayat 3 UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa bahan galian yang dapat didesentralisasikan adalah golongan a dan golongan b, sedangkan golongan c didesentralisasikan kepada daerah otonom.  Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak mengatur penggolongan bahan galian dan pada dasarnya seluruh bahan galian dapat didesentralisasikan kepada daerah otonom sesuai kewenangan berdasarkan tempat kegiatan penambangan dilakukan.

 

Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara

Pengelolaan pertambangan mineral dan batubara berada ditangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenanganya masing-masing. Pasal 9 Undang-undang U Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa wilayah pertambangan merupakan bagian dari tata ruang nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan DPR.

Wilayah pertambangan itu sendiri terbagi atas wilayah usaha pertambangan yang ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaian secara tertulis kepada DPR, wilayah pertambangan rakyat yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD dan wilayah pencadangan negara yang ditetapkan pemerintah untuk kepentingan strategis nasional yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.

Namun hingga saat ini penentuan wilayah usaha pertambangan sesuai tata ruang yang ada belum ditetapkan oleh pemerintah sehingga pemerintah daerah yang mendapat pelimpahan kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan sampai saat ini belum bisa menerbit izin tersebut.

UU Pertambangan Mineral dan Batubara mengadopsi beberapa bentuk perizinan, yaitu:

  1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) yaitu izin usaha melaksanakan pertambangan yang dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati sesuai kewenangannya (Pasal 1 angka 7), yang mencakup IUP Eksplorasi, yaitu izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eskplorasi dan studi kelayakan dan IUP Operasi Produksi, yaitu izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. IUP Operasi Produksi terdiri atas kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
  2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yaitu izin untuk melaksanakan pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas yang dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati sesuai kewenangannya.   Bupati/ Walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat baik perorangan dengan luas  maksimum 1 Ha maupun kepada kelompok masyarakat dengan luas maksimum 5 Ha dan/atau koperasi dengan luas maksimum 10 Ha. Hal ini dapat dilimpahkan kepada camat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yaitu izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK: Pasal 1 angka 11). Wilayah izin usaha pertambangan khusus adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK (Pasal 1 angka 35).

IUPK terdiri atas dua tahap, yaitu:

  1. IUPK untuk tahap eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan kegiatan tahapan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan di wilayah izin usaha  pertambangan khusus
  2. IUPK tahap operasi produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus

Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak lagi memakai konsep penggolongan bahan galian sebagaimana dianut dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967.  Undang-undang pertambangan Mineral dan Batubara membuat pembedaan berdasarkan jenis usaha pertambangan yang  dikelompokkan dalam:

  1. Pertambangan Mineral (Pertambangan Mineral Radio aktif, Pertambangan Mineral Logam, Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Pertambangan Batuan);
  2. Pertambangan Batubara.

Pasal 196 huruf a Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian.

Selanjutnya kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara dan tidak dapat diperpanjang lagi. Hal ini disebabkan karena rezim kontrak atau perjanjian sudah tidak dikenal lagi dalam Undang-undang Mineral dan Batubara.

Satu-satunya bentuk izin yang diperlukan untuk melakukan usaha pertambangan adalah yaitu bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP).

 

Hak Penguasaan dan Implikasinya Terhadap UUD 1945

Anthony I. Ogus menyatakan bahswa barang yang mengandung kepentingan publik ada dua macam yaitu public goods dan public ownershipPublic Goods merujuk pada barang yang mempunyai makna kepentingan umum dan barang tersebut tidak ada yang memiliki satupun sehingga pemerintah berkewajiban untuk mengendalikan terhadap pemanfaatannya melalui berbagai perizinan dalam bentuk vergunning atau izin yang diberikan untuk membatasi kebebasan individu atau kelompok terhadap obyek tertentu yang dilindungi pemerintah.

Public ownership merujuk pada barang yang mempunyai makna kepentingan umum dan barang tersebut adalah milik seluruh rakyat, sehingga harus dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat secara merata.

Oleh karena itu  penggunaan dan pemanfaatan barang tersebut pada dasarnya  harus dilaksanakan oleh Pemerintah sendiri. Bila Pemerintah belum atau tidak mampu melaksanakannya sendiri, maka harus dikendalikan oleh Pemerintah melalui berbagai perizinan dalam bentuk concessie, yaitu izin dari pemerintah untuk membuka tanah dan untuk menjalankan suatu usaha diatasnya seperti menggali tambang.

Izin yang diberikan akan berdampak pada kewenangan yang besar dan berbagai hal terkait hak dan kewajiban bagi penerima izin. Oleh karena itu izin yang dibuat sehubungan dengan pemanfaatan public ownership harus dibarengi dengan suatu perjanjian yang memuat hak dan kewajiban penerima izin

Sumber daya alam yang tergolong dalam public ownership perlu dikendalikan oleh pemerintah agar penggunaannya dapat ditujukan bagi kemakmuran rakyat. Jadi, kecuali dalam kondisi tertentu, maka izin dapat diberikan kepada pihak tertentu untuk melaksanakan pengelolaan pertambangan.

Perizinan yang menyangkut public ownership dapat diberikan dalam bentuk concessie yang diikuti dengan pemberian berbagai hak dan kewajiban bagi pemegang konsesi yang dituangkan dalam sebuah perjanjian.

Jadi pada dasarnya penggunaan atau pemanfaatan terhadap barang yang mengandung makna kepentingan umum harus dikendalikan oleh Pemerintah agar tidak terjadi monopoli terhadap objek yang bernilai kepentingan umum.

 

Author / Contributor:

Anthony Muslim, S.H.

Senior Associate

Contact:

Mail       : anthony@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975