Tanah wakaf merupakan salah satu bentuk pengalihan hak kepemilikan yang lazim dilakukan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Praktik ini biasanya dilakukan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, lahan pemakaman umum, fasilitas pendidikan, kesehatan, serta berbagai kegiatan sosial lainnya.

Wakaf, sebagai salah satu bentuk pengalihan harta kekayaan diatur dalam hukum Islam, tidak hanya terbatas pada tanah. Objek wakaf bisa berupa benda bergerak, uang, logam mulia, saham, hingga hak kekayaan intelektual. Namun, di Indonesia, wakaf tanah lebih dikenal luas. Meski demikian, praktik wakaf yang telah berlangsung ratusan tahun ini masih belum berjalan dengan tertib, efektif, dan efisien. Banyak kasus di mana harta wakaf tidak terpelihara dengan baik, terlantar, atau bahkan dialihkan secara ilegal kepada pihak ketiga.

Ketentuan Hukum Wakaf di Indonesia

Ketentuan mengenai wakaf di Indonesia, khususnya wakaf tanah, telah dirumuskan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti:

  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Agraria”);
  • Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”);
  • Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf Tanah (“PP 28/1977”);
  • Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf (“PP 42/2006”);
  • Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (“Inpres 1/1991”).

Peraturan ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai wakaf di Indonesia baru diatur secara resmi sejak tahun 1960. Sebelum adanya undang-undang ini, praktik wakaf dilakukan berdasarkan pemahaman dan keyakinan masing-masing pihak, tanpa pencatatan, pengawasan, atau prosedur yang jelas. Seringkali, masyarakat kurang memahami perbedaan antara wakaf, hibah, dan wasiat. Oleh karena itu, wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi ekonomi perlu dikelola secara efektif melalui regulasi yang tepat.

Baca juga: Jenis, Sifat, dan Asas Dalam Amar Putusan Perdata

Proses dan Tata Cara Perwakafan Tanah

Pendaftaran sertifikat lahan wakaf dilakukan berdasarkan Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Tanah yang sudah berstatus hak milik didaftarkan sebagai tanah wakaf atas nama Nazhir (penerima wakaf);
  2. Jika hanya sebagian dari luas tanah yang diwakafkan, sertifikat hak milik harus dipecah terlebih dahulu, kemudian didaftarkan sebagai tanah wakaf atas nama Nazhir;
  3. Tanah milik adat yang belum berstatus hak milik langsung didaftarkan sebagai tanah wakaf atas nama Nazhir;
  4. Hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hak pakai di atas tanah negara, setelah mendapatkan persetujuan pelepasan hak dari pejabat berwenang, didaftarkan sebagai tanah wakaf atas nama Nazhir;
  5. Tanah negara yang di atasnya berdiri masjid, mushalla, atau makam, didaftarkan sebagai lahan wakaf atas nama Nazhir;
  6. Pejabat pertanahan setempat mencatat perwakafan tanah tersebut pada buku tanah dan sertifikatnya.

Pelaksanaan UU Wakaf diatur lebih lanjut dalam PP 42/2006, yang kemudian mengalami beberapa perubahan melalui PP 25/2018 jo PP 42/2006. Dengan berlakunya UU Wakaf, ketentuan yang ada dalam PP 28/1977 sebagian besar telah tercakup, sehingga PP 28/1977 sebenarnya tidak lagi diperlukan, namun masih dapat dijadikan pembanding untuk melihat perubahan regulasi.

Baca juga: Mengenal Gugatan Badan Hukum Perdata

Problematika Pelaksanaan Wakaf Tanah di Indonesia

Pengalihan tanah hak milik melalui wakaf merupakan bentuk pelepasan hak oleh Waqif (pihak pemberi wakaf) dan ahli warisnya untuk tujuan ibadah, sosial keagamaan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pelepasan hak ini tidak berarti memindahkan kepemilikan kepada Nazhir, melainkan mengubah status tanah tersebut menjadi aset yang dikelola untuk kepentingan umum. Pemahaman yang salah bahwa Nazhir adalah pemilik tanah bisa diluruskan dengan merujuk pada PP 28/1977, UU Wakaf, dan PP 42/2006 jo PP 25/2018.

Nazhir bukanlah pemilik tanah, melainkan pengelola yang dapat digantikan jika tidak mampu menjalankan amanah. Berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 14 PP 42/2006, masa jabatan seorang Nazhir adalah 5 tahun dan dapat diperpanjang. Selain itu, Nazhir wajib melaporkan pengelolaan wakaf kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Tanah yang sudah diwakafkan tidak dapat diwariskan kepada ahli waris Waqif. Setelah ikrar wakaf diucapkan, hak milik waqif atas tanah tersebut berakhir. Pengalihan objek wakaf menjadi harta warisan merupakan pelanggaran terhadap UU Wakaf. Pasal 40 UU Wakaf melarang harta benda wakaf untuk dijadikan objek jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk apa pun. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 500 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Wakaf.

Baca juga: Jenis dan Unsur Hukum Perikatan

Kesimpulan 

Pengelolaan lahan wakaf yang tertib dan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia sangatlah penting. UU Wakaf memberikan landasan hukum yang jelas, namun masih perlu pemahaman dan implementasi yang lebih baik di masyarakat. Nazhir, sebagai pengelola wakaf, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa harta wakaf dimanfaatkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, tanpa ada pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. 

Baca juga: Perbedaan Jaminan Hipotik dan Hak Gadai dalam Hukum Perdata Indonesia

Dasar Hukum:

Referensi: