Perjanjian merupakan salah satu faktor yang tak bisa dilepaskan dari hubungan antar individu dalam tatanan masyarakat. Dalam suatu syarat sah perjanjian, pihak-pihak saling sepakat untuk saling mengikatkan diri terhadap suatu hal. Contoh perjanjian yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain, sewa menyewa, jual beli, dan pinjam-meminjam.

Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian dapat diartikan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam perjanjian diantara dua pihak menghasilkan hak dan kewajiban bagi setiap pihak atau individu. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela, pihak lain atau yang merasa dirugikan dapat menuntutnya secara hukum. 

Contoh, apabila seorang penjual tidak menyerahkan barang yang telah dibeli dan dibayar lunas oleh pembeli, maka pembeli dapat menuntut penjual agar menyerahkan barang tersebut. Suatu perjanjian akan membuat para pihak mengikatkan diri satu sama lain sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. 

Baca Juga: Sita Eksekusi Dalam Konteks Hukum Perdata

Syarat Sah Perjanjian 

Syarat sahnya perjanjian diatur Pasal 1320 KUHPerdata. Terdapat empat syarat sahnya perjanjian: 

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan diri; 
  2. kecakapan mereka yang membuat kontrak; 
  3. suatu hal tertentu; 
  4. suatu sebab yang halal atau tidak dilarang.

Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat subjektif  kontrak dapat dibatalkan (vernietigbaar), artinya akan dibatalkan atau tidak terserah pihak yang berkepentingan, sedang jika tidak dipenuhi syarat obyektif maka kontrak itu batal demi hukum, artinya kontrak itu sejak semula dianggap tidak pernah ada.

Oleh karena itu, setiap perjanjian yang dibuat harus benar-benar dilaksanakan. Jika tidak, perjanjian tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar janji, yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi.

Setiap perjanjian harus ada kesepakatan antara para pihak, tanpa adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan, Jika terdapat unsur tersebut, maka perjanjian dianggap tidak sah. Selain itu, setiap perjanjian dibuat oleh orang-orang yang cakap hukum atau orang dewasa menurut undang-undang, kecuali jika undang-undang mengatakan sebaliknya. 

Dalam suatu perjanjian, harus ada jenis objek yang dapat ditentukan. Namun jika jumlah objek tidak tentu, asalkan jumlah tersebut dapat ditentukan atau dihitung kemudian, hal tersebut tidak menjadi halangan. 

Terakhir, tidak boleh membuat suatu perjanjian yang dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan atau ketertiban umum, dan bertentangan dengan kesusilaan. 

Baca Juga: Hukum Harta Gono Gini Dalam Nikah Siri

Asas-asas Perjanjian 

Terdapat empat 4 asas penting dalam suatu kontrak atau perjanjian 

  1. Asas kebebasan berkontrak;
  2. Asas konsensualisme;
  3. Asas mengikatnya perjanjian atau pacta sunt servanda, dan 
  4. Asas itikad baik. 

 

  1. Asas kebebasan berkontrak 

Kita diperbolehkan membuat perjanjian berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja atau bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun juga, serta bebas untuk menentukan sendiri isi dan syarat-syarat perjanjian dan bebas untuk menundukkan diri kepada ketentuan hukum mana perjanjian yang kita buat.

Asas ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas untuk membuat segala jenis perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian juga dapat diartikan sebagai pancaran dari hak asasi manusia (HAM). 

  1. Asas konsensualisme

Setiap perjanjian dapat dikatakan sah apabila mengikat para pihak dan tercapainya kesepakatan mengenai hal-hal pokok atau hal yang menjadi objek perjanjian itu. Perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Bentuk tertulis secara yuridis hanya dimaksudkan untuk alat bukti tentang terjadinya perjanjian tsb.

  1. Asas pacta sunt servanda

Para pihak harus mematuhi dan menghormati perjanjian yang dibuatnya sebagai syarat sah perjanjian lantaran perjanjian tersebut merupakan undang-undang bagi kedua belah pihak. Oleh karenanya setiap perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 

  1. Asas itikad baik 

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik atau kejujuran dan niat bersih dari para pihak. Pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar, harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. 

Baca Juga: Pernikahan Usia Dini Menurut Hukum di Indonesia

Kesimpulan 

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur Pasal 1320 KUHPerdata. Terdapat empat syarat sahnya perjanjian, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan mereka yang membuat kontrak, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal atau tidak dilarang.

Setiap perjanjian yang dibuat harus benar-benar dilaksanakan. Jika tidak, perjanjian tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar janji, yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi.

Setiap perjanjian harus ada kesepakatan antara para pihak, tanpa adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan, Jika terdapat unsur tersebut, maka perjanjian dianggap tidak sah.  Tidak diperkenankan membuat suatu perjanjian yang dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan atau ketertiban umum, dan bertentangan dengan kesusilaan. 

Terdapat empat 4 asas penting dalam suatu kontrak atau perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas mengikatnya perjanjian atau pacta sunt servanda, dan asas itikad baik.

Baca Juga: Apa itu Gugatan Wanprestasi?