Perselisihan kerap terjadi di dunia bisnis dan memerlukan penyelesaian yang efektif agar tidak berdampak terhadap operasional perusahaan. Ada dua metode umum yang umum digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan, yaitu melalui penyelesaian sengketa lewat pengadilan (litigasi)  dan arbitrase (non litigasi). Kedua metode ini memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal prosedur, biaya, dan waktu penyelesaian.

Perbedaan Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Pengadilan

Perselisihan antar pihak bisa muncul dari berbagai hal, seperti pelanggaran kontrak, wanprestasi, atau hak kekayaan intelektual. Untuk menghadapi situasi ini, para pihak memiliki dua pilihan dalam menyelesaikan sengketa, yakni melalui pengadilan atau arbitrase. Sangat penting untuk memilih jalur yang tepat dan memahami perbedaan diantara kedua metode penyelesaian sengketa tersebut secara mendalam. Mari simak perbedaan diantara keduanya. 

Pengadilan merupakan lembaga yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan penyelesaian melalui proses hukum yang terbuka untuk umum, sedangkan arbitrase adalah cara penyelesaian penyelesaian perdata di luar peradilan umum (non litigasi) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian melalui jalur arbitrase atau yang biasa disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (‘’UU Arbitrase 30/1999’’). Penyelesaian arbitrase bersifat rahasia dan tidak berlaku untuk umum karena hanya diketahui oleh pihak yang bersengketa dan arbiter yang ditunjuk para pihak. 

Menurut Pasal 1 Angka 1 UU Arbitrase, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan dan diputus hanyalah sengketa dalam bidang kontrak yang memiliki sifat dan nilai komersial.

Sementara penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan memiliki sifat terbuka untuk umum. Proses beracara di pengadilan dilakukan secara formal sesuai dengan hukum acara perdata dan tata beracara yang berlaku di Pengadilan Negeri yaitu Pasal 13 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (‘’UU Kekuasaan Kehakiman 48/2009’’).  Bagi para pihak yang merasa keberatan dengan putusan pengadilan dapat mengajukan upaya hukum berupa banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali.  

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan perbedaan pengadilan dan arbitrase yaitu;

Proses persidangan, proses persidangan di pengadilan memiliki sifat terbuka untuk umum sehingga semua orang dapat mengetahui dan mengikuti prosesnya seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Acara Perdata (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman. terkait putusan pengadilan, para pihak yang keberatan dapat mengajukan upaya hukum atas putusan Pengadilan Negeri. Keberatan itu dapat diajukan ke pengadilan yang ada di atasnya, yaitu Pengadilan Tinggi (PT) hingga Mahkamah Agung (MA). Setelah putusan itu berkekuatan hukum tetap, putusan tersebut bersifat final dan mengikat, dan dapat dilaksanakan. 

Sedangkan penyelesaian arbitrase memiliki sifat yang tertutup karena hanya para pihak yang bersengketa dan arbiter yang dapat mengetahui prosesnya. Proses arbitrase didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak. Sementara, putusan arbitrase juga merupakan putusan yang final dan mengikat dan harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase dapat dilaksanakan setelah putusan tersebut didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri. 

Baca Juga: Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional

Alasan Arbitrase Banyak Dipilih 

Proses persidangan di arbitrase yang memiliki sifat tertutup dan rahasia, bagi sebagian pelaku usaha sangat diperlukan agar nama baiknya dapat tetap terjaga. Apalagi proses beracara di arbitrase dilakukan secara tidak terlalu formal serta dapat ditentukan oleh arbiter sesuai dengan sengketa yang sedang dihadapi para pihak.

Putusan arbitrase memiliki sifat final dan mengikat. Ini artinya setelah putusan tersebut diputuskan, maka upaya hukum apa pun tidak lagi dapat diajukan. Hal tersebut tentunya berbeda dengan putusan pengadilan dimana para pihak yang merasa keberatan dengan putusan majelis hakim dapat mengajukan keberatan ke pengadilan yang setingkat lebih tinggi. 

Karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, para pihak yang bersengketa harus menaati keputusan yang diambil oleh arbiter. Putusan arbitrase dapat dilaksanakan setelah putusan tersebut didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri. 

Selain kelebihan yang sudah disebutkan di atas, biasanya putusan arbitrase dapat dicapai dalam waktu singkat mengingat prosedur pelaksanaannya tidak terlalu rumit dibandingkan penyelesaian lewat pengadilan. Para pihak juga dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan pada prosesnya. Dalam proses berperkara, para pihak juga dapat memilih para arbiter yang memiliki keahlian dalam bidangnya. 

Bahkan proses arbitrase dapat menutup kemungkinan terjadinya kerenggangan hubungan dagang diantara para pihak yang bersengketa. Hal ini tentunya berbeda dengan penyelesaian melalui pengadilan yang akan memungkinkan majelis hakim mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Hal ini dapat berpotensi merenggangkan hubungan antara kedua belah pihak.

Baca Juga: Prosedur, Pendaftaran, Pemeriksaan dan Persidangan Arbitrase Indonesia

Kesimpulan

Penyelesaian sengketa bisnis lewat pengadilan atau arbitrase, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pengadilan bersifat terbuka untuk umum, prosedurnya formal, dan memungkinkan upaya hukum berulang, sedangkan arbitrase bersifat tertutup, fleksibel, dan putusannya final serta mengikat. Banyak pelaku bisnis memilih arbitrase karena prosesnya yang lebih cepat, rahasia, dan menjaga hubungan baik antara pihak yang bersengketa. 

Baca Juga: Penyelesaian Arbitrase Ad Hoc di Indonesia

Dasar Hukum :

Referensi :