Terapi gen merupakan teknologi medis yang bertujuan memperbaiki atau mengganti gen yang rusak dengan gen yang fungsional untuk mengobati penyakit genetik dan kronis. Terapi gen melibatkan perubahan atau penggantian gen dalam sel-sel tubuh seseorang sebagai upaya pengobatan dan pencegahan penyakit. Proses ini biasanya menggunakan vektor, seperti virus yang telah dimodifikasi untuk mengantarkan gen baru ke dalam sel target. Dengan cara ini, gen yang rusak atau hilang dapat digantikan dengan gen sehat, sehingga fungsi normal sel dapat dipulihkan. Tujuan utama terapi gen adalah untuk mengatasi penyakit genetik yang sulit disembuhkan dan meningkatkan kualitas hidup pasien

Terapi berbasis sel dapat dilakukan apabila terbukti keamanan dan kemanfaatannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Dalam Pasal 135 ayat (2) ditegaskan bahwa terapi berbasis sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. 

Penyelenggaraan dan regulasi terapi gen di Indonesia dilindungi oleh payung hukum. Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel (“Permenkes 32/2018”) menjelaskan bahwa pengaturan penyelenggaraan pelayanan sel punca dan/atau sel bertujuan untuk:

  1. Memberikan pedoman bagi fasilitas pelayanan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan sel punca dan/atau sel; dan
  2. Memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pasien, pendonor, dan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan sel punca dan/atau sel.

Terapi gen ini pertama kali dilakukan pada 14 September 1990 di Amerika Serikat yang didesain untuk mengobati seorang anak dengan kelainan kekebalan tubuh, yakni sel darah putihnya tidak dapat menghasilkan enzim adenosine deaminase (ADA) yang penting bagi sistem kekebalan tubuh manusia pada umumnya. Namun seiring perkembangannya, terapi gen yang semula untuk pengobatan kelainan metabolik kongenital meluas menjadi upaya penyembuhan penyakit yang sulit disembuhkan dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, seperti tumor dan kanker. Bahkan pada Maret tahun 2000, dari 350 uji klinik terapi gen yang dilaporkan National Institutes of Health Recombinant DNA Advisory Committee USA sebanyak 67% (enam puluh tujuh persen) adalah terapi gen untuk penanganan kanker. 

Di Indonesia, pelayanan sel punca dan/atau sel hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi, hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Permenkes 32/2018. Penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyakit degeneratif dan nondegeneratif, dengan pemulihan kesehatan yang termasuk peremajaan sel, jaringan, dan organ. 

Penyelenggaraan pelayanan sel punca dan/atau sel dapat dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta. Pada Pasal 27 ayat (2) Permenkes 32/2018 disebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan dapat berupa:

  1. Rumah sakit dan klinik utama, untuk pelayanan terapi terstandar;
  2. Rumah sakit yang memiliki penetapan dari Menteri, untuk penelitian berbasis pelayanan terapi;
  3. Laboratorium sel punca dan/atau sel untuk kegiatan pengolahan sel punca dan/atau sel; dan
  4. Bank sel punca dan/atau sel untuk kegiatan pelayanan berupa penyimpanan sel punca dan/atau sel. 

Baca juga: Regulasi Ketenagakerjaan dalam Sektor Kesehatan

Selain itu, etika dalam regulasi terapi gen juga menjadi perhatian utama yang harus diperhatikan. Hal-hal terkait dengan keselamatan, persetujuan informasi, hingga potensi munculnya risiko efek samping juga harus diperhatikan. Pertama, keselamatan pasien menjadi hal fundamental dalam praktik medis, termasuk dalam penyelenggaraan terapi gen. Fasilitas pelayanan kesehatan wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Menurut Pasal 176 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan:
“Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui identifikasi dan pengelolaan risiko, analisis dan pelaporan, serta pemecahan masalah dalam mencegah dan menangani kejadian yang membahayakan keselamatan pasien.”

Kedua, etika yang harus diperhatikan adalah terkait dengan informed consent atau persetujuan informasi. Hal ini tegas disebutkan dalam Pasal 293 UU Kesehatan bahwa setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan harus mendapat persetujuan. Ketiga, pasien juga harus mengetahui potensi munculnya risiko dan efek samping. Disebutkan dalam Pasal 293 ayat (3) bahwa pasien harus mendapat penjelasan terkait:

  1. Diagnosis;
  2. Indikasi;
  3. Tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukan dan tujuannya;
  4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
  5. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
  6. Risiko apabila tindakan tidak dilakukan; dan
  7. Prognosis setelah memperoleh tindakan. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan standar regulasi terapi gen yang ketat untuk pelaksanaannya dan setiap pengembangan terapi gen, mulai dari fase penelitian harus melalui pengawasan mutu, uji klinis, dan pemantauan keamanan jangka panjang untuk mengidentifikasi efek samping yang mungkin timbul. Terapi gen memang memiliki potensi besar sebagai upaya mengatasi penyakit genetik dan kronis. Namun, untuk memastikan bahwa hal ini dapat diterapkan secara aman dan adil, diperlukan aturan yang ketat dan pelaksanaan etika medis yang sesuai.

Baca juga: Hak Kesehatan Reproduksi di Indonesia

Daftar Hukum:

Referensi:

  • Wargasetia, T. (2005). Terapi Gen Pada Penyakit Kanker. Jurnal Kedokteran Maranatha, 4(2), 24–36. (Diakses pada 13 Februari 2025 pukul 08.12 WIB).