Informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran merupakan persetujuan pasien atau keluarga terdekat pasien terkait tindakan medis selanjutnya yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, baik berupa tindakan preventif, diagnostik, terapeutik, atau rehabilitatif.
Pihak-pihak yang dapat memberikan informed consent adalah pasien yang bersangkutan dan keluarga terdekat yang terdiri atas suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya. Berdasarkan Pasal 13 ayat 3 Permenkes Persetujuan Tindakan Kedokteran disebutkan, jika terdapat keraguan terkait persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya, maka dokter atau dokter gigi dapat meminta persetujuan ulang.
Pasal 3 Permenkes Persetujuan Tindakan Kedokteran juga menyebutkan, segala tindakan yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi kepada pasien harus melalui persetujuan dari pasien yang bersangkutan maupun keluarga terdekat secara tertulis maupun lisan. Hal ini dilakukan setelah pasien maupun keluarga pasien yang bersangkutan mendapatkan penjelasan terkait tindakan yang diperlukan demi menyelamatkan jiwa, kesembuhan, dan/atau mencegah kecacatan bagi pasien. Maka dari itu, informed consent dapat diberikan oleh pasien maupun keluarga terdekat pasien setelah dokter atau dokter gigi menjelaskan secara lengkap terkait diagnosis dan keadaan kesehatan pasien.
Informed Consent bisa ditelaah dalam dua sudut pandang yakni etika dan hukum. Menurut dr Jocelyn Prima Utami seperti dikutip dari alomedika.com, informed consent merupakan bagian dari etika biomedis yakni prinsip autonomy dimana seseorang memiliki hak dan kebebasan untuk bertindak dan mengambil keputusan medis untuk dirinya sendiri.
Landasan hukum informed consent adalah Pasal 293 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang menyatakan, “Setiap tindakan pelayanan kesehatan perorangan yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan.”
Dalam Permenkes Persetujuan Tindakan Kedokteran dijelaskan pasien yang bisa memberikan persetujuan berusia di atas 21 tahun atau telah/pernah menikah, atau pasien berusia 21 tahun yang tidak dikategorikan sebagai anak berdasarkan perundang-undangan. Pasien juga dikatakan kompeten apabila kesadarannya tidak terganggu dan tidak mengalami gangguan atau kemunduran kesehatan mental.
Baca Juga: Mengenal Tata Cara Klaim Asuransi Kesehatan
Prosedur dan Tujuan Informed Consent
Untuk mendapatkan informed consent, dokter atau dokter gigi tentu telah mempertimbangkan terlebih dahulu terkait risiko, manfaat, maupun alternatif prosedur atau intervensi yang akan diberikan kepada pasien. Kemudian, dokter akan menjelaskan tindakan medis yang akan diberikan kepada pasien secara langsung atau melalui keluarga terdekat pasien, baik diminta atau tidak diminta.
Pasal 7 ayat (3) Permenkes Persetujuan Tindakan Kedokteran menjelaskan, tindakan kedokteran sekurang-kurangnya meliputi diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, tujuan tindakan kedokteran, alternatif tindakan lain dan risiko, potensi risiko dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi, prognosis tindakan, serta perkiraan biaya yang akan timbul.
Jika dianalisa lebih luas Informed Consent bukan sekadar surat persetujuan yang diberikan oleh keluarga pasien atas tindakan medis yang dilakukan dokter, namun merupakan bentuk komunikasi antara pasien dan dokter. Menurut Jocelyn, pihak dokter memberikan informasi mengenai prosedur dan/atau pengobatan yang direncanakan, risiko tindakan, manfaat tindakan, prognosis penyakit, dan alternatif terapi lain. Kemudian pasien dan keluarga memberikan respons atas informasi yang disampaikan terkait tindakan medis yang akan dilakukan.
Informed Consent terbagi dalam dua jenis. Pertama, implied consent yakni persetujuan tersirat yang umumnya diberikan saat kondisi pasien gawat darurat sehingga perlu segera dilakukan tindakan medis namun pasien atau keluarga tidak dapat memberikan persetujuan lisan atau tertulis pada saat itu.
Kedua, expressed consent merupakan bentuk persetujuan yang dinyatakan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Umumnya persetujuan ini dilakukan pada prosedur atau pengobatan tanpa risiko, seperti phlebotomy (pengambilan darah melalui pembuluh vena), pemeriksaan fisik abdomen, atau rontgen thorax.
Secara psikologis, informed consent bertujuan memberikan kenyamanan dan dukungan bagi pasien untuk mengambil pilihan bagi dirinya serta meningkatkan komunikasi dan kepercayaan dalam hubungan dokter dan pasien. Jocelyn menyebutkan, informed consent juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi dokter dan pasien. Pasien terlindungi dari kemungkinan tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya atau yang tidak diperlukan. Sedangkan bagi dokter, informed consent bertujuan memberikan perlindungan hukum dokter terhadap risiko tuntutan terkait kegagalan tindakan medis walaupun pelayanan maksimal sudah diberikan.
Baca Juga: Mengenal Perlindungan Hukum Atas Privacy Pasien
Pengecualian Informed Consent
Sebagaimana tertera pada Pasal 293 ayat (1) UU Kesehatan, pihak yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang bersangkutan, namun jika pasien belum/tidak cakap hukum atau berada di bawah pengampuan, maka persetujuan atau penolakan terhadap tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat. Akan tetapi, pada kondisi gawat darurat, demi menyelamatkan nyawa pasien, persetujuan atau penolakan tidak diperlukan.
Namun ayat ini menjelaskan lebih lanjut bahwa jika pasien berada dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, maka penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya sedangkan tindakan medis harus dilakukan maka penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien sudah sadar.
Selain sebagai persetujuan tindakan medis, komunikasi dua arah antara dokter dan pasien, yang terpenting dari Informed consent adalah upaya memberikan perlindungan hukum pada kedua belah pihak.
Baca Juga: Tenaga Kesehatan RS Wajib Merahasiakan Kondisi Pasien, Cek Faktanya