Dalam dunia medis, baik otoritas kesehatan maupun pasien memiliki hak dan kewajiban yang diatur secara hukum. Pasien merupakan orang yang melakukan konsultasi kepada dokter dan mendapatkan perawatan medis.
Berdasarkan Pasal 276 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), pasien memiliki hak memperoleh informasi terkait kesehatan dirinya dan menerima penjelasan mengenai pelayanan kesehatan yang diterima serta mendapat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, standar profesi, dan pelayanan yang bermutu.
Pasien juga memiliki hak untuk menolak atau menyetujui terhadap tindakan medis, terkecuali bagi tindakan medis yang diperlukan untuk mencegah penyakit menular dan penanggulangan wabah. Dalam menjalani pengobatan, pasien memperoleh akses terkait informasi yang tertera dalam rekam medis dan bisa meminta pendapat tenaga medis atau tenaga kesehatan lain.
Pasal 276 UU Kesehatan juga menjelaskan hak pasien yakni mendapat hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada huruf g tertera pada Pasal 17 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien (Permenkes 4/2018), yakni mendapat informasi terkait tata tertib dan segala peraturan yang berlaku di rumah sakit, menerima informasi hak dan kewajiban pasien, memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun serta mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu, sesuai standar profesi dan prosedur operasional.
Selain itu, pasien juga mempunyai hak memperoleh pelayanan secara efektif dan efisien, melakukan pengajuan terkait kualitas pelayanan yang didapat, memilih dokter dan kelas perawatan sesuai keinginan dan disertai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit serta meminta konsultasi terkait penyakit yang diderita kepada dokter lain yang telah memiliki Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam ataupun di luar rumah sakit.
Pasien juga memiliki hak perlindungan yakni memperoleh keamanan dan privacy pasien terhadap penyakit yang diderita, termasuk data-data medis, mendapat informasi terkait diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin timbul, prognosis tindakan yang dilakukan, serta perkiraan biaya pengobatan, serta menyetujui atau menolak tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Hubungan antara rumah sakit dengan pasien harus terjalin dengan baik untuk kepentingan kedua belah pihak. Rumah sakit memberikan layanan medis yang dibutuhkan sementara pasien memiliki hak didampingi oleh keluarga pada situasi yang diperlukan atau ketika kritis. Selain itu pasien berhak melaksanakan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianut selama tidak mengganggu pasien lain, mendapat keamanan dan keselamatan diri saat masa perawatan di rumah sakit, melakukan pengajuan terkait usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit kepada dirinya serta menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut.
Jika selama menjalani perawatan medis dan pasien merasa tidak mendapatkan hak yang semestinya, maka bisa menggugat dan/atau menuntut rumah sakit jika diduga tidak memberi pelayanan sesuai standar, baik secara perdata maupun pidana serta berhak menyampaikan keluhan terkait pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai standar pelayanan melalui media cetak atau elektronik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca Juga: Aspek Perlindungan Hukum Dokter dan Pasien dalam Informed Consent
Hak Privacy Pasien
Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) huruf i Permenkes 4/2018, pasien berhak mendapat keamanan dan kerahasiaan terkait penyakit yang dideritanya, termasuk data-data pasien. Hal ini pun sesuai dengan Pasal 16 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang mana pada pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap dokter berkewajiban menjaga seluruh rahasia terkait penyakit yang diderita pasien, maupun hal-hal lain yang ia ketahui mengenai kesehatan pribadi pasien, bahkan setelah pasien meninggal dunia.
Apabila dokter tidak mampu menjaga privacy pasien, maka akan ada konsekuensi yang bisa didapatkan oleh dokter yang bersangkutan. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran (Permenkes 36/2012) pada suatu kondisi tertentu rahasia kedokteran dapat dibuka apabila memenuhi persyaratan demi kepentingan kesehatan pasien, kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan dan perawatan pasien, keperluan administrasi, pembayaran asuransi atau jaminan pembiayaan kesehatan dan memenuhi permintaan dari aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum.
Terkait hal yang menyangkut hukum, permohonan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien dilakukan secara tertulis dari pihak yang berwenang dan dapat dilakukan ketika proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan. Pihak rumah sakit harus terlebih dahulu memberikan data dan informasi dalam bentuk visum et repertum, keterangan ahli, keterangan saksi, dan/atau ringkasan medis.
Data kesehatan bisa dibuka atas permintaan dari pasien yang bersangkutan dan jika pasien belum cakap hukum, maka dapat diwakili oleh keluarga terdekat atau wali. Sementara itu, data pribadi pasien juga bisa dibuka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan tanpa persetujuan pasien demi menegakkan etik atau disiplin. Selain itu juga untuk kepentingan umum atas permintaan tertulis dari Majelis Kehormatan Etik Profesi atau Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia tanpa membuka identitas pasien
Kepentingan umum yang dimaksud dalam poin di atas berupa audit medis, ancaman kejadian luar biasa (wabah penyakit menular, penelitian kesehatan demi kepentingan negara, pendidikan atau penggunaan informasi yang akan berguna di masa datang, dan ancaman keselamatan orang lain baik secara individu atau masyarakat. Meskipun demikian, pembukaan rahasia kedokteran dilakukan secara terbatas yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Apakah ada sanksi jika pihak rumah sakit membocorkan kondisi kesehatan atau privacy pasien ? Berdasarkan Pasal 305 UU Kesehatan, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan karena tindakan dari tenaga medis atau tenaga kesehatan dapat mengadukan hal tersebut ke majelis yang bertugas pada bidang disiplin profesi. Selanjutnya dalam Pasal 306 UU Kesehatan dijelaskan, tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran dapat diberikan sanksi disiplin dalam bentuk peringatan tertulis, kewajiban mengikuti pelatihan di bidang kesehatan, penonaktifan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk sementara waktu, dan/atau rekomendasi pencabutan Surat Izin Praktik (SIP).
Hubungan antara tenaga medis dan pasien diatur dan mendapat perlindungan hukum. Dengan komunikasi yang baik dan saling memahami hak dan kewajiban masing-masing, kerjasama di antara keduanya bisa berjalan dengan baik.
Baca Juga: Mengenal Tata Cara Klaim Asuransi Kesehatan