Kebijakan hukum energi terbarukan di Indonesia bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Secara keseluruhan, regulasi yang ada bertujuan untuk menciptakan sistem energi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan mampu mengurangi jejak karbon secara signifikan.
Indonesia memiliki komitmen kuat dalam mengembangkan energi terbarukan sebagai bagian dari program strategis nasional untuk mencapai ketahanan energi dan pembangunan berkelanjutan. Kerangka hukum yang mendasari kebijakan energi terbarukan di Indonesia terutama diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU 30/2007”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”).
Selain itu, potensi energi terbarukan yang melimpah di Indonesia memberikan peluang besar untuk diversifikasi sumber energi. Namun, realisasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) masih menghadapi berbagai tantangan, sehingga urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) menjadi semakin penting.
Kebijakan Hukum Energi Terbarukan dalam UU 30/2007 dan PP 79/2014
UU 30/2007 menetapkan dasar hukum bagi pengelolaan energi di Indonesia, termasuk pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan. Pasal 2 UU 30/2007 menegaskan bahwa:
“Energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional.”
Sebagai turunan dari UU 30/2007, PP 79/2014 mengatur Kebijakan Energi Nasional yang menjadi pedoman dalam pengelolaan energi hingga tahun 2050. PP ini menargetkan peningkatan porsi EBT dalam bauran energi nasional menjadi minimal 23% pada tahun 2025 dan minimal 31% pada tahun 2050, sepanjang perekonomian terpenuhi. Kebijakan ini mencakup prioritas pengembangan energi, seperti memaksimalkan penggunaan energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, dan mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi serta energi baru.
Baca juga: Kerangka Hukum Energi Baru di Indonesia
Potensi Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan
Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar dan beragam. Potensi tenaga air mencapai 75.000 MW, namun pemanfaatannya baru sekitar 10% dari total potensinya pada tahun 2014. Potensi panas bumi mencapai 40% dari potensi panas bumi dunia. Selain itu, potensi energi surya mencapai 4,80 kWh/m²/hari, energi angin dengan kecepatan 3-6 m/detik, dan biomassa sebesar 50 GW. Potensi ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah untuk pengembangan EBT.
Meskipun demikian, pemanfaatan potensi EBT masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu tantangan utama adalah biaya investasi awal yang tinggi, terutama dalam pembangunan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya dan panas bumi. Selain itu, keterbatasan teknologi dan kurangnya penelitian yang terfokus pada pengembangan energi terbarukan juga menjadi faktor penghambat dalam implementasi EBT secara luas di Indonesia.
Di sisi lain, kebijakan insentif yang belum optimal turut memengaruhi tingkat investasi dalam sektor EBT. Pemerintah telah memberikan berbagai bentuk dukungan seperti feed-in tariff dan insentif pajak, namun pelaksanaannya masih menemui hambatan, terutama dalam hal kepastian hukum dan stabilitas regulasi. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih strategis untuk meningkatkan daya tarik investasi dalam energi terbarukan, termasuk dengan memperbaiki regulasi dan mempercepat pengesahan kebijakan yang lebih mendukung.
Baca juga: Urgensi Pemisahan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan
Realisasi Pemanfaatan EBT di Indonesia dan Urgensi Pengesahan RUU EBT
Meskipun memiliki potensi yang besar, realisasi pemanfaatan EBT di Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2021, porsi EBT dalam bauran energi nasional baru mencapai 11,5%, masih jauh dari target 23% yang ditetapkan untuk tahun 2025. Rendahnya pemanfaatan EBT disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keterbatasan infrastruktur, regulasi yang belum mendukung sepenuhnya, dan investasi yang masih minim.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, pengesahan RUU EBT menjadi sangat penting. RUU ini diharapkan dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan EBT serta pelaksanaan program pendukungnya, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga EBT yang terintegrasi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), penyediaan akses energi modern dengan EBT, eksplorasi panas bumi oleh pemerintah, serta penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon.
Selain itu, pengesahan RUU EBT juga akan mendukung upaya Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan peralihan menuju ekonomi hijau. Dengan landasan hukum yang kuat, diharapkan investasi dalam sektor EBT akan meningkat, sehingga percepatan pemanfaatan EBT dapat terwujud.***
Baca juga: Program Pemerintah untuk Energi Hijau
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU 30/2007”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”).
Referensi:
- Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebagai Teknologi Alternatif di Masa Depan dalam Mendukung Pertahanan Negara. Kementerian Pertahanan. (Diakses pada 5 Maret 2025 pukul 08.10 WIB).
- Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (Diakses pada 5 Maret 2025 pukul 08.55 WIB).
- Policy Brief. Energi Hijau. (Diakses pada 5 Maret 2025 pukul 09.15 WIB).