Perdagangan karbon telah menjadi instrumen penting dalam upaya global mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengatasi perubahan iklim. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia, memiliki peran strategis dalam implementasi perdagangan karbon. Dengan adanya regulasi yang semakin berkembang, perdagangan karbon di Indonesia terus mengalami perkembangan sebagai bagian dari strategi nasional dalam mitigasi perubahan iklim.

Perdagangan karbon di Indonesia memiliki dasar hukum yang diatur dalam beberapa regulasi utama. Salah satu regulasi mendasar adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (“UU 17/2004“). UU 17/2004 menegaskan komitmen Indonesia dalam kerangka kerja internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui mekanisme seperti Clean Development Mechanism (CDM).

Selain itu, implementasi mekanisme perdagangan karbon juga didukung oleh peraturan teknis seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (“Permen LHK 21/2022“) yang mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan perdagangan karbon. Peraturan ini mencakup berbagai mekanisme, termasuk perdagangan emisi, pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon sebagai instrumen ekonomi dalam pengendalian emisi GRK dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (“POJK 14/2023“) yang mengatur tata cara perdagangan karbon dan operasional bursa karbon di Indonesia.

Unit Karbon yang Diperdagangkan

Dalam sistem perdagangan karbon di Indonesia, terdapat dua jenis unit karbon utama yang dapat diperdagangkan. Pertama adalah Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU), yang berfungsi sebagai mekanisme kuota dalam sistem cap-and-trade. Dalam mekanisme ini, pemerintah menetapkan batas atas emisi yang diperbolehkan bagi pelaku usaha dalam suatu periode tertentu. Jika suatu perusahaan melebihi batas emisi yang ditetapkan, mereka wajib membeli unit karbon dari pelaku usaha lain yang emisinya masih berada di bawah batas tersebut.

Peraturan mengenai mekanisme kuota dalam sistem cap-and-trade ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik (“Permen ESDM 16/2022”). Regulasi ini menetapkan ketentuan bagi pelaku usaha di sektor ketenagalistrikan dalam memenuhi batas atas emisi yang telah ditentukan serta mekanisme perdagangan unit karbon dalam rangka mendukung target pengurangan emisi gas rumah kaca nasional. Peraturan ini juga mengatur tata cara pelaporan, pemantauan, dan verifikasi emisi guna memastikan kepatuhan terhadap kebijakan nilai ekonomi karbon di Indonesia.

Jenis unit karbon lainnya adalah Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK), yang dihasilkan dari kegiatan yang berhasil mengurangi emisi atau meningkatkan penyerapan karbon. Unit ini dapat digunakan dalam mekanisme offset emisi, yang memungkinkan pelaku usaha untuk mengkompensasi emisi mereka dengan membeli sertifikat dari proyek-proyek mitigasi perubahan iklim. Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) dapat diperjualbelikan secara individu berdasarkan proyek melalui berbagai mekanisme, seperti lelang, marketplace, atau negosiasi, dengan transaksi dilakukan melalui Bursa Karbon. Selain berdasarkan proyek, SPE-GRK juga dapat diperdagangkan dalam kelompok di pasar reguler.

Ketentuan mengenai perdagangan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) melalui mekanisme lelang, marketplace, atau negosiasi di Bursa Karbon diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.1131/MENLHK/PPI/PPI.2/10/2023 tentang Skema Sertifikasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia (“Kepmen LHK 1131/2023”). Regulasi ini menetapkan standar dan prosedur sertifikasi bagi proyek-proyek yang menghasilkan SPE-GRK, serta memastikan bahwa setiap unit yang diperdagangkan memenuhi kriteria verifikasi yang transparan dan kredibel. 

Baca juga: Urgensi Pemisahan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan

Mekanisme dan Tata Cara Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon di Indonesia dapat dilakukan melalui dua mekanisme utama, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi. Dalam perdagangan emisi, perusahaan yang melebihi batas atas emisi harus membeli unit karbon dari pelaku usaha yang memiliki surplus unit karbon. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa emisi tetap terkendali sesuai dengan target nasional yang telah ditetapkan.

Sementara itu, dalam mekanisme offset emisi, unit karbon yang diperdagangkan berasal dari proyek-proyek yang secara aktif mengurangi emisi atau meningkatkan penyerapan karbon. Unit ini dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengimbangi emisi yang mereka hasilkan. Dengan demikian, perdagangan karbon tidak hanya mengontrol emisi tetapi juga mendorong pelaksanaan proyek-proyek ramah lingkungan.

Untuk memastikan hukum perdagangan karbon berjalan secara transparan, Indonesia telah membentuk bursa karbon sebagai platform resmi untuk transaksi unit karbon. Bursa ini dikelola oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, unit karbon yang diperdagangkan harus tercatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan adanya regulasi ini, diharapkan hukum perdagangan karbon di Indonesia dapat berlangsung secara adil, transparan, dan berkelanjutan.

Baca juga: Langkah Strategis Indonesia Menuju Bauran Energi Baru Terbarukan dengan PLTA

Daftar Hukum:

Referensi:

  • Materi terkait Peraturan Menteri ESDM No. 16 Tahun 2022 Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Kementerian ESDM RI. (Diakses pada 13 Februari 2025 pukul 11.24 WIB).
  • Produk SPE-GRK. IDX Carbon. (Diakses pada 13 Februari 2025 pukul 13.24 WIB).