Perkembangan ilmu kesehatan dan bioteknologi terus menghadirkan inovasi baru dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia. Salah satu penemuan menarik yang sempat menjadi sorotan publik adalah temuan jamur di makam Firaun Mesir yang diduga memiliki potensi antikanker. Penemuan ini menegaskan kembali bahwa sumber daya alam, termasuk tanaman dan mikroorganisme, menyimpan kekayaan hayati yang masih dapat digali lebih dalam untuk pengembangan obat modern. Di Indonesia, pemanfaatan tanaman sebagai obat bukanlah hal baru. Sejak lama, masyarakat telah mengandalkan ramuan herbal dari bahan alam, seperti kunyit, jahe, sambiloto, ataupun temulawak untuk menjaga kesehatan dan mengobati berbagai penyakit.
Seiring berkembangnya teknologi, pengobatan berbasis tanaman tidak hanya dipandang sebagai praktik tradisional, tetapi juga sebagai peluang strategis dalam industri farmasi modern. Konsep fitofarmaka, obat berbahan dasar alami yang telah melalui uji praklinik dan klinik telah menjadi jembatan penting antara kearifan lokal dan sains bioteknologi. Indonesia, dengan biodiversitas yang sangat tinggi, memiliki modal besar untuk mengembangkan fitofarmaka sebagai salah satu keunggulan kompetitif di bidang kesehatan. Namun, di balik potensi besar tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi, baik dari sisi regulasi, riset, maupun implementasi dalam sistem layanan kesehatan.
Potensi Bioteknologi Tanaman Penyembuh sebagai Inovasi Kesehatan
Penemuan jamur yang ditemukan dalam makam Firaun dan diklaim memiliki kemampuan sebagai antikanker membuka perspektif baru mengenai betapa besarnya peluang bioteknologi untuk menemukan obat dari sumber daya alam. Walaupun penelitian ini masih dalam tahap awal, namun fenomena tersebut memberi inspirasi bahwa eksplorasi terhadap tanaman dan mikroorganisme dapat menghasilkan temuan medis yang bermanfaat dan revolusioner.
Di Indonesia, pemanfaatan tanaman herbal sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat. Tanaman seperti sambiloto (andrographis paniculata), temulawak (curcuma xanthorrhiza), pegagan (centella asiatica) dan lain sebagainya telah digunakan turun-temurun untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mengatasi peradangan, hingga membantu terapi penyakit kronis. Kajian ilmiah yang dilakukan oleh lembaga riset maupun perguruan tinggi terus membuktikan khasiat beberapa tanaman ini. Misalnya, kurkuminoid pada kunyit terbukti memiliki sifat antioksidan dan antiinflamasi yang berpotensi dikembangkan menjadi kandidat obat modern.
Pada saat ini, tanaman obat mampu diolah menjadi empat pendekatan. Pertama, tanaman obat tetap diolah dan diambil ekstraknya untuk jadi jamu dan obat herbal. Kedua, melalui pendekatan modern, contohnya jamu yang berkembang menjadi obat komersial (obat herbal) yang harus terdaftar di BPOM. Obat herbal sendiri dikategorikan menjadi tiga yakni jamu terdaftar di BPOM, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka (obat dengan kualitas paling bagus dan relevan dengan obat modern).
Pendekatan ketiga, tanaman obat dapat dijadikan obat konvensional dari bahan alam (plant derived drugs) yang pengolahannya berasal dari hasil isolasi ekstrak tanaman obat. Pendekatan terakhir, nutrasetikal atau nutrisi yang bisa memperbaiki kondisi kesehatan manusia, biasanya digunakan dalam kosmetik.
Potensi besar ini juga terkait dengan kekayaan biodiversitas Indonesia. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat bahwa jumlah obat-obatan alami untuk anti-bakteri mencapai 90 jenis, antikanker ada 79 obat-obatan, dan antiinflamasi sebanyak 50 jenis. Hal ini pun memungkinkan Indonesia untuk mengembangkan industri obat tradisional yang dapat dioptimalkan demi kesejahteraan bangsa.
Melihat Potensi Ini, Bagaimana Legalitas Penggunaan Tanaman sebagai Bahan Pengobatan di Indonesia?
Pengembangan obat berbahan alam tidak bisa dilepaskan dari aspek legalitas. Pemerintah Indonesia telah memberikan landasan hukum yang jelas terkait penggunaan tanaman obat, baik dalam ranah tradisional maupun modern. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) khususnya dalam Pasal 160 ayat (3) yang menyatakan:
“Pelayanan Kesehatan tradisional dibina dan diawasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma sosial budaya.”
Pasal tersebut menegaskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional, termasuk penggunaan ramuan herbal, terapi alternatif, dan praktik turun-temurun harus berada dalam pengawasan aktif Pemerintah Pusat dan Daerah. Tujuannya adalah memastikan bahwa manfaat dan keamanan metode tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etis, serta tidak melanggar nilai-nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat. Dengan kata lain, pengobatan tradisional tidak boleh berjalan secara liar atau tanpa regulasi; ia harus terintegrasi secara bertanggung jawab dalam sistem kesehatan nasional, selaras dengan norma lokal dan standar pelayanan kesehatan yang berlaku.
Selain itu, regulasi lebih teknis terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Formularium Obat Herbal Asli Indonesia (“Permenkes 6/2016”) yang memuat terkait dengan pengembangan obat berbahan alam berupa jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Fitofarmaka ditempatkan sebagai tingkatan tertinggi karena harus melalui uji praklinik dan uji klinik untuk membuktikan keamanan dan efektivitasnya, serta mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Kerangka hukum ini memberikan legitimasi yang kuat bagi integrasi pengobatan tradisional dalam sistem layanan kesehatan modern. Lebih jauh, UU Kesehatan melalui Pasal 163 ayat (1) juga memberikan kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan Pelayanan Kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
Dari sisi implementasi, regulasi ini juga menjadi dorongan bagi peneliti, industri farmasi, dan pelaku usaha mikro di bidang jamu untuk meningkatkan kualitas produk mereka menuju level fitofarmaka. Hal ini tentu sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong kemandirian bahan baku obat dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Baca juga: Teknologi Point-of-Care Diagnostics (POCD), Solusi Deteksi Cepat di Daerah Terpencil
Namun, Apa Saja Tantangan Pengembangan Fitofarmaka di Indonesia?
Meskipun peluangnya besar, pengembangan fitofarmaka di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Pertama, dari sisi riset dan pembiayaan, proses pengembangan fitofarmaka membutuhkan biaya besar dan waktu panjang, terutama karena harus melalui tahapan uji praklinik dan klinik yang panjang dan ketat. Saat ini, dukungan dana riset dari pemerintah maupun swasta masih relatif terbatas, sehingga hanya sebagian kecil tanaman potensial yang dapat dilanjutkan hingga tahap fitofarmaka.
Kedua, terdapat tantangan dalam standardisasi dan kualitas bahan baku. Variasi iklim, tanah, dan teknik budidaya dapat memengaruhi kadar senyawa aktif dalam tanaman. Tanpa sistem standardisasi yang konsisten, produk fitofarmaka sulit memenuhi persyaratan internasional. Oleh karena itu, dibutuhkan ekosistem yang melibatkan petani, industri, dan lembaga riset untuk menjaga mutu sejak dari hulu hingga hilir.
Ketiga, masalah regulasi dan birokrasi juga sering menjadi hambatan. Proses perizinan, uji klinik, hingga pengakuan dalam sistem layanan kesehatan sering dianggap panjang dan kompleks. Walaupun sudah ada regulasi seperti UU Kesehatan dan Permenkes 6/2016, implementasinya masih perlu diperkuat agar lebih efisien dan adaptif terhadap perkembangan riset.
Fitofarmaka bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga masa depan inovasi kesehatan berbasis alam. Dengan kekayaan hayati yang melimpah dan dukungan bioteknologi, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan produk kesehatan yang aman, efektif, dan terjangkau. Namun, keberhasilan ini membutuhkan sinergi antara riset, regulasi, industri, dan edukasi publik. Potensi yang ada membuat fitofarmaka dapat menjadi bagian penting dari sistem kesehatan nasional, bukan hanya sebagai alternatif, tetapi sebagai solusi dalam menghadapi tantangan kesehatan masa kini.***
Baca juga: Menggali Potensi Biofarmasi: Masa Depan Industri Kesehatan Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Formularium Obat Herbal Asli Indonesia (“Permenkes 6/2016”).
Referensi:
- Temuan Jamur Kutukan Firaun yang Disebut Bisa Lawan Kanker. Kompas.com. (Diakses pada 16 September 2025 pukul 13.22 WIB).
- Fadhilah, H., Rachmani, K., & Hajaring, N. (2021). Aktifitas Kunyit (Curcuma domestica Val.) Sebagai Antiinflamasi Ditinjau Dari Berbagai Literatur. Edu Masda Journal, 5(1), 100. (Diakses pada 16 September 2025 pukul 13.35 WIB).
- Orasi Ilmiah Prof. Elfahmi: Peran Bioteknologi dalam Pengembangan Jamu. Institut Teknologi Bandung. (Diakses pada 16 September 2025 pukul 13.43 WIB).
- Saputra, H., Faryanti, D., & Farhan. (2022). Kajian Strategis Percepatan dan Pengembangan Fitofarmaka untuk Kesehatan Masyarakat. Jurnal Delima Harapan, 9(2), 168–179. (Diakses pada 16 September 2025 pukul 13.45 WIB).