Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), mendefinisikan bahan obat sebagai bahan yang berkhasiat atau tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan farmasi. Di Indonesia, obat herbal yang dikenal dengan sebutan jamu telah dikenal sejak masa prasejarah. Jamu, sebagai obat tradisional, telah diwariskan secara turun temurun dan berkembang melalui berbagai periode. Penggunaan obat tradisional dipercaya berkhasiat bagi kesehatan yang dapat mencegah dan menyembuhkan berbagai penyakit.

Obat tradisional adalah obat yang dibuat dari tumbuhan, bagian tubuh hewan, bahan mineral, atau sediaan sarian (galenik). Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mendorong pengembangan obat tradisional berbasis ilmiah yang dikenal sebagai formularium fitofarmaka. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1163/2022 tentang Formularium Fitofarmaka (“Kepmenkes HK.01.07/MENKES/1163/2022”) Formularium Fitofarmaka merupakan pedoman bagi sarana pelayanan kesehatan dalam pemilihan fitofarmaka untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan. Sedangkan fitofarmaka sendiri berarti obat berbahan alam.

Lalu, Bagaimana Legalitas Obat Tradisional?

Kementerian Kesehatan telah memiliki regulasi terkait izin edar obat tradisional sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional (“Permenkes 7/2012”) yang menjelaskan bahwa obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar. Izin edar tersebut diberikan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Kepala BPOM) melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tata laksana yang ditetapkan. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh Industri Obat Tradisional (IOT), Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), atau Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana hal ini tertera dalam Pasal 9 Permenkes 7/2012.   

Selain mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan, melalui Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 25 Tahun 2023 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Bahan Alam (“PerBPOM 25/2023”) obat tradisional yang akan diproduksi maupun didistribusikan, wajib memiliki kriteria keamanan, khasiat, mutu, dan penandaan, baik sebelum dan selama beredar.

Sehingga, produksi dan peredaran obat tradisional di Indonesia diatur secara ketat melalui regulasi dari Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Serta, wajib memenuhi standar keamanan, khasiat, mutu, dan penandaan yang ditetapkan, serta harus melalui proses registrasi resmi ke BPOM sebelum dapat diedarkan ke masyarakat. Regulasi ini bertujuan untuk menjamin kualitas dan keamanan obat tradisional yang beredar.

Peran Obat Tradisional 

Dalam perekonomian negara, pengembangan obat tradisional dalam formularium fitofarmaka berperan dalam meningkatkan kemandirian industri tingkat nasional dengan tujuan mendukung ketahanan kefarmasian nasional, agar memiliki daya saing yang tinggi sebagai salah satu sumber perekonomian nasional. Sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia menyimpan banyak jenis tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional. Berdasarkan data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), terdapat sekitar 30.000 spesies tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman obat, dengan sekitar 7.500 diantaranya telah diketahui memiliki khasiat, dan 800 jenis telah digunakan dalam pembuatan jamu. Selain itu, sumber daya laut Indonesia seperti terumbu karang, rumput laut, dan padang lamun juga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan obat tradisional. Selain itu, dalam kesehatan masyarakat, penggunaan obat tradisional memiliki beberapa keunggulan, yaitu:

  1. Berbasis Bahan Alami
    Obat herbal berasal dari bahan-bahan alami seperti tanaman, akar, daun, dan bunga yang diyakini memiliki manfaat dalam mengobati atau meredakan gejala penyakit tertentu.
  2. Risiko Efek Samping Lebih Rendah
    Dibandingkan dengan obat kimia sintetis, obat herbal umumnya memiliki efek samping yang lebih ringan karena kandungannya lebih mudah dikenali dan diserap oleh tubuh.
  3. Alternatif untuk Pasien Sensitif terhadap Obat Sintetis
    Bagi pasien yang mengalami alergi atau tidak cocok dengan obat sintetis, obat herbal dapat menjadi pilihan yang lebih aman dan sesuai.

Baca juga: Menggali Potensi Biofarmasi: Masa Depan Industri Kesehatan Indonesia

Hambatan Industri Obat Tradisional

Penggunaan obat tradisional yang terus meningkat menimbulkan kekhawatiran terhadap kualitas, keamanan, dan efektivitasnya. Produksi obat tradisional masih menghadapi tantangan dalam hal standarisasi. Kandungan zat aktif dalam produk herbal sering kali tidak konsisten, meskipun berasal dari jenis tanaman yang sama. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan varietas tanaman, kondisi tanah, iklim, serta teknik pengolahan. Meskipun banyak digunakan secara turun-temurun, sebagian besar obat herbal belum memiliki dukungan ilmiah yang memadai. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian klinis yang terstandarisasi dan jangka panjang untuk memastikan efektivitas dan keamanannya.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa obat tradisional telah diatur melalui berbagai regulasi yang mengatur produksi, perizinan, serta distribusinya. Obat tradisional berpotensi besar karena berbasis bahan alam, memiliki efek samping yang lebih ringan, dan menjadi alternatif bagi pasien yang tidak cocok dengan obat sintetis. Namun, tantangan utama masih terletak pada aspek standarisasi mutu, keamanan, dan efektivitas produk. Oleh karena itu, diperlukan dukungan riset ilmiah dan regulasi berkelanjutan untuk meningkatkan kepercayaan dan daya saing obat tradisional di pasar nasional maupun global.***

Baca juga: Apakah Produk Bioteknologi Dilindungi oleh HKI?

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional (Permenkes 7/2012).
  • Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 25 Tahun 2023 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Bahan Alam (PerBPOM 25/2023).
  • Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1163/2022 tentang Formularium Fitofarmaka (Kepmenkes HK.01.07/MENKES/1163/2022).

Referensi: