Inovasi Bioteknologi kini memainkan peran sentral dalam mendorong perubahan di bidang kesehatan, pertanian, dan lingkungan hidup. Teknologi seperti rekayasa genetika dan terapi berbasis DNA terus menghadirkan terobosan yang menjawab berbagai tantangan global. Di tengah derasnya arus inovasi tersebut, kebutuhan akan perlindungan hukum menjadi semakin mendesak dengan sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya paten, menjadi alat utama untuk menjaga eksklusivitas dan keberlanjutan inovasi.
Karena nilai komersial dan manfaat sosialnya, perlindungan hukum berupa paten pun sangat krusial bagi pencipta. Paten hadir sebagai payung hukum yang bisa melindungi ide dan inovasi agar tidak disalahgunakan, sekaligus memberi ruang bagi penemu untuk mengembangkan temuannya secara legal dan komersial. Tanpa perlindungan ini, risiko pencurian atau klaim sepihak terhadap hasil kerja keras mereka bisa makin besar, sementara peluang untuk mendatangkan investasi dan kerja sama jadi terhambat.
Menelaah Payung Hukum Inovasi Bioteknologi di Indonesia
Di Indonesia, payung hukum untuk pemanfaatan sumber daya alam dan kekayaan hayati telah diamanatkan melalui Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”) yang berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sementara itu, aturan terkait dengan paten bioteknologi bertumpu pada Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”).
Undang-Undang Paten mengatur sejumlah ketentuan etis yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi biologi. Melalui Pasal 9 UU Paten, dijelaskan bahwa invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi:
- proses, produk, metode, sistem, dan penggunaan, yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
- metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
- dihapus;
- makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
- proses biologis yang esensial untuk memproduksi
Dalam Pasal tersebut ditegaskan bahwa invensi di bidang bioteknologi harus selaras dengan peraturan hukum yang berlaku, nilai-nilai agama, ketertiban umum, dan norma kesusilaan. UU ini juga menetapkan bahwa proses yang menyangkut makhluk hidup, seperti metode pemeriksaan, perawatan, tindakan medis, atau bedah pada manusia dan hewan, bukanlah objek yang dapat dipatenkan. Ketentuan tersebut bertujuan mencegah potensi penyalahgunaan teknologi, termasuk praktik yang secara moral dipertanyakan seperti kloning, yang bisa memicu kontroversi atau bertentangan dengan nilai-nilai sosial.
Namun, terdapat situasi di mana Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak untuk kepentingan masyarakat. Diatur dalam Pasal 111 UU Paten, dijelaskan bahwa pelaksanaan Paten yang dimaksud meliputi:
- Produk farmasi, alat kesehatan, dan/atau bioteknologi yang harganya mahal dan/atau diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian mendadak dalam jumlah yang banyak, menimbulkan kecacatan yang signifikan, dan/atau merupakan kedaruratan kesehatan masyarakat;
- Produk kimia dan/atau bioteknologi yang berkaitan dengan pertanian yang diperlukan untuk ketahanan pangan;
- Obat hewan yang diperlukan untuk menanggulangi hama dan/atau penyakit hewan yang berjangkit secara luas; dan/atau
- Proses dan/atau produk untuk menanggulangi bencana alam dan/atau bencana lingkungan hidup.
Dari Pasal tersebut dapat dilihat bahwa paten dalam bioteknologi memiliki dimensi strategis yang melampaui sekadar perlindungan hak eksklusif pencipta. Berdasarkan Pasal 111 UU Paten, terlihat jelas bahwa invensi bioteknologi dapat menjadi objek pelaksanaan langsung oleh pemerintah dalam kondisi darurat atau kebutuhan publik yang sangat mendesak. Ini mencerminkan bahwa paten bioteknologi tidak hanya dipandang sebagai aset komersial, tetapi juga sebagai instrumen kebijakan publik yang dapat digunakan untuk:
- Menjamin akses terhadap teknologi kesehatan, seperti vaksin atau enzim rekayasa genetika, saat terjadi wabah atau krisis kesehatan.
- Mendukung ketahanan pangan nasional, melalui pemanfaatan bioteknologi pertanian yang relevan.
- Menanggulangi penyakit hewan secara luas, yang berpotensi mengganggu sektor peternakan dan ekonomi lokal.
- Menghadapi bencana alam dan lingkungan, dengan teknologi bioteknologi yang dapat membantu pemulihan atau mitigasi dampak.
Baca juga: Apakah Produk Bioteknologi Dilindungi oleh HKI?
Lalu, Bagaimana Prosedur Pendaftaran Paten?
Pendaftaran paten di Indonesia dilakukan melalui sistem elektronik yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Pemohon dapat mengajukan permohonan secara daring melalui laman resmi DJKI dengan terlebih dahulu membuat akun dan mengisi formulir permohonan sesuai jenis paten yang diajukan. Permohonan harus diajukan dalam bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan dokumen pendukung seperti deskripsi invensi, klaim, abstrak, gambar invensi (dalam format PDF dan JPG), surat pernyataan kepemilikan invensi, serta surat pengalihan hak jika pemohon bukan inventor.
Jika permohonan diajukan melalui konsultan, surat kuasa juga wajib dilampirkan. Untuk invensi yang melibatkan jasad renik, pemohon harus menyertakan surat bukti penyimpanan jasad renik dari lembaga yang diakui. Setelah dokumen lengkap diunggah, pemohon harus melakukan pembayaran melalui sistem billing yang terintegrasi dengan SIMPONI Kementerian Keuangan. DJKI kemudian akan melakukan pemeriksaan formalitas dan substantif terhadap permohonan. Jika semua persyaratan terpenuhi dan invensi dinyatakan layak, DJKI akan menerbitkan sertifikat paten sebagai bukti hak eksklusif atas invensi tersebut. Proses ini merupakan langkah penting untuk melindungi inovasi bioteknologi dari penyalahgunaan dan memberikan kepastian hukum bagi pencipta.
Melalui perlindungan paten, bioteknologi tidak hanya mendapatkan jaminan hukum atas inovasi, tetapi juga ruang untuk berkembang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Ketika hukum berpihak pada kemajuan, maka potensi bioteknologi untuk menjawab tantangan masa depan, baik di bidang kesehatan, lingkungan, maupun pangan, bisa diwujudkan dengan lebih inklusif dan aman.***
Baca juga: Bioteknologi untuk Solusi Pengendalian Polusi
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”).
- Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”).
Referensi:
- Hak Kekayaan Intelektual dalam Bioteknologi Mendorong Inovasi Sambil Memastikan Praktik Etis. Business Law Community Universitas Gadjah Mada. (Diakses pada 18 Juli 2025 pukul 13.32 WIB).
- Syarat dan Prosedur Paten. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). (Diakses pada 18 Juli 2025 pukul 14.47 WIB).