Pencemaran lingkungan merupakan tantangan multidimensi yang kian mengancam keberlanjutan ekosistem global. Di Indonesia, urbanisasi pesat, pertumbuhan industri, dan limbah domestik telah menambah beban pencemar yang berdampak langsung terhadap kualitas tanah, air, dan udara. Polutan dari aktivitas manusia, termasuk bahan kimia berbahaya dan plastik sekali pakai, memperburuk kondisi ekosistem dan kesehatan masyarakat secara luas. Dalam situasi ini, pendekatan konvensional seperti pemrosesan kimia dan penyaringan mekanis sering kali menghadapi kendala dari segi efektivitas jangka panjang dan biaya operasional yang tinggi.
Sebagai respons terhadap keterbatasan metode tradisional, bioteknologi hadir sebagai solusi ilmiah yang lebih adaptif dan berkelanjutan. Dengan mengandalkan potensi mikroorganisme, tumbuhan, dan proses biologis terkontrol, bioteknologi menawarkan pendekatan ekologis yang mampu mereduksi dan mengurai polutan secara alami. Metode seperti bioremediasi, fitoremediasi, dan biofuel telah menunjukkan efektivitasnya dalam menangani pencemaran tanah, air, dan udara, sekaligus mendukung pemulihan fungsi lingkungan hidup. Di tengah urgensi krisis ekologis, pemanfaatan bioteknologi bukan hanya relevan, tetapi juga strategis dalam membangun masa depan yang bersih dan berketahanan.
Namun pertanyaannya, sejauh mana regulasi nasional telah mengakomodasi dan mendorong penerapan teknologi ini? SIP Law Firm akan menjabarkan lebih lanjut terkait dengan implementasi bioteknologi untuk penanggulangan polusi melalui artikel berikut.
Peran Bioteknologi dalam Penanggulangan Pencemaran Lingkungan
Bioteknologi memegang peran penting dalam penanggulangan pencemaran lingkungan melalui berbagai pendekatan yang bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan. Bioteknologi lingkungan berfokus pada penerapan prinsip biologis untuk memperbaiki atau memulihkan ekosistem yang tercemar. Pada dasarnya, bioteknologi lingkungan tercipta akibat adanya limbah dan berbagai turunannya. Oleh sebab itu, banyak negara berusaha mencari solusi atas pencemaran lingkungan untuk mencegah pemanasan global. Beberapa metode yang telah terbukti efektif adalah:
- Bioremediasi
Bioremediasi mengandalkan mikroorganisme, baik alami maupun direkayasa secara genetik untuk menguraikan polutan organik dan anorganik. Mikroba ini mampu mengubah senyawa berbahaya menjadi produk yang lebih aman bagi lingkungan. Salah satu sifat mikroorganisme yang banyak dimanfaatkan dalam penelitian adalah kemampuannya sebagai organisme petrofilik, yakni mikroorganisme yang menggunakan senyawa hidrokarbon dari minyak bumi sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan. Jenis mikroorganisme ini sering diaplikasikan dalam penanggulangan pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak. Lingkungan yang sebelumnya terkontaminasi menjadi lebih bersih berkat aktivitas mikroorganisme yang menguraikan hidrokarbon secara alami.
- Fitoremediasi
Fitoremediasi menggunakan tanaman untuk menyerap, menimbulkan transformasi, atau menstabilkan polutan di tanah dan air. Tumbuhan seperti kantung semar, alang-alang, dan ekaliptus telah terbukti efektif menyerap logam berat dari tanah terkontaminasi. Teknik ini membantu memperbaiki tanah yang tercemar dan mengurangi risiko bagi rantai makanan.
- Biofuel
Salah satu kontributor pencemaran udara yang mempercepat pemanasan global adalah emisi karbon dari kendaraan bermotor. Sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut, para ilmuwan mengembangkan biofuel yang berasal dari biomassa seperti tanaman, alga, maupun limbah hewan. Biofuel termasuk bahan bakar terbarukan yang dapat diproduksi lebih cepat dibandingkan minyak fosil. Keunggulan lainnya adalah tingkat emisi karbon yang lebih rendah, menjadikannya pilihan energi yang lebih ekologis dan berkelanjutan.
Dorongan Penggunaan Hasil Bioteknologi dalam Kacamata Hukum
Regulasi di Indonesia secara sistematis telah mengatur pemanfaatan bahan bakar nabati (biodiesel) sebagai bagian dari strategi nasional dalam transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Biodiesel, sebagai salah satu produk bioteknologi lingkungan, memiliki peran penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor energi, khususnya transportasi dan industri.
Pemerintah melalui kerangka hukum yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (“Permen ESDM 24/2021”) menegaskan pengakuan atas biodiesel sebagai bahan bakar nabati yang sah dan layak dikembangkan secara nasional. Dalam Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa:
“Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel (B100) yang selanjutnya disebut BBN Jenis Biodiesel adalah produk yang dihasilkan dari bahan baku kelapa sawit yang diproses secara esterifikasi atau proses lainya sebagai badan campuran BBM Jenis Minyak Solar.”
Ketentuan ini tidak hanya menjelaskan asal-usul dan proses produksi biodiesel, tetapi juga menetapkan posisi hukum produk ini sebagai bagian integral dari bauran energi nasional yang ditujukan untuk menggantikan, atau dicampurkan dengan bahan bakar fosil konvensional.
Lebih lanjut, dalam Pasal 3 ayat (1) termaktub bahwa Badan Usaha BBM wajib melakukan pencampuran BBN Jenis Biodiesel dengan BBM Jenis Minyak Solar sesuai dengan persentase yang ditetapkan oleh Menteri. Hal tersebut bertujuan untuk memperluas pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil. Ketentuan ini juga menjadi langkah konkret dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan memenuhi komitmen nasional terhadap penurunan dampak perubahan iklim melalui penggunaan produk hasil bioteknologi.
Dorongan terhadap penggunaan produk bioteknologi dalam kacamata hukum di Indonesia menunjukkan komitmen negara dalam mendorong inovasi ilmiah yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Secara konstitusional, Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”) menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat manusia, yang menjadi landasan normatif bagi pengembangan bioteknologi sebagai instrumen pemulihan ekosistem dan pengendalian pencemaran. Dalam lingkungan, dorongan ini terwujud melalui regulasi seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”), yang secara eksplisit mengamanatkan penerapan teknologi ramah lingkungan, termasuk bioteknologi, dalam upaya pengurangan polusi dan pemulihan kualitas lingkungan.
Baca juga: Peran Strategis Bioteknologi dalam Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Meski mendapat dorongan dari regulasi, apa saja tantangan implementasi bioteknologi sebagai upaya mengatasi polusi?
Meskipun bioteknologi menjanjikan solusi ramah lingkungan dalam mengatasi polusi, namun implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu hambatan utama adalah ketergantungan teknologi ini pada kondisi ekologis setempat, seperti suhu, kelembapan, pH, dan keberadaan mikroorganisme pendukung yang dapat memengaruhi efektivitas proses seperti bioremediasi atau fitoremediasi.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan infrastruktur dan biaya operasional tinggi, terutama dalam produksi massal agen biologis serta kebutuhan monitoring jangka panjang untuk memastikan keberhasilan dan keamanan lingkungan. Rendahnya kesadaran dan pemahaman publik terhadap manfaat bioteknologi juga turut menghambat adopsi teknologi ini secara luas.
Tidak kalah penting, belum meratanya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bidang bioteknologi lingkungan membuat pengaplikasian teknologi ini terbatas pada wilayah atau institusi tertentu. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi nasional yang terintegrasi mencakup edukasi publik, insentif kebijakan, serta kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat implementasi bioteknologi sebagai bagian dari solusi berkelanjutan dalam mengatasi polusi di Indonesia.***
Baca juga: Apakah Produk Bioteknologi Dilindungi oleh HKI?
Daftar Hukum:
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (“Permen ESDM 24/2021”).
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”).
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”).
Referensi:
- Bioteknologi untuk Solusi Pencemaran Lingkungan Akibat Tumpahan Minyak. Institut Teknologi Bandung. (Diakses pada 17 Juli 2025 pukul 16.36 WIB).
- Peran Bioteknologi dalam Membantu Lingkungan Menjadi Lebih Sehat. Binus University. (Diakses pada 17 Juli 2025 pukul 16.38 WIB).
- Implementasi Kebijakan Biodiesel di Indonesia. Reforminer. (Diakses pada 17 Juli 2025 pukul 16.42 WIB).
- Inovasi Bioteknologi, Solusi Masa Depan untuk Tantangan Lingkungan Global. Binus University. (Diakses pada 17 Juli 2025 pukul 17.05 WIB).