Dalam menghadapi krisis energi global dan perubahan iklim yang semakin nyata, dunia mencari alternatif sumber energi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkelanjutan. Di tengah upaya tersebut, bioteknologi muncul sebagai bidang yang menjanjikan dalam menyediakan solusi berbasis hayati untuk kebutuhan energi. Inovasi-inovasi dari bioteknologi modern, terutama yang mengolah biomassa menjadi bahan bakar terbarukan telah membawa harapan besar bagi masa depan energi bersih, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber daya biomassa.

Indonesia sebagai negara agraria dengan potensi biomassa yang melimpah memiliki peluang besar dalam pengembangan energi berbasis bioteknologi atau bioenergi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa bioenergi merupakan bentuk energi terbarukan yang paling komprehensif karena mencakup berbagai bentuk bahan baku seperti limbah pertanian, kotoran ternak, hingga mikroorganisme. Namun, untuk mengoptimalkan potensi ini, diperlukan dukungan serius dari sisi regulasi, teknologi, dan keterlibatan pemangku kepentingan lintas sektor.

Potensi Bioteknologi dalam Pengembangan Energi Terbarukan

Bioteknologi memiliki peran penting dalam pengembangan energi terbarukan, terutama dalam produksi bioenergi. Bioenergi mencakup berbagai bentuk energi yang berasal dari bahan organik, seperti biomassa, biogas, dan biofuel. Pada 18 Januari 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) melaporkan bahwa kapasitas pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2023 telah mencapai 13.155 megawatt (MW). 

Sementara itu, kapasitas terpasang yang ditargetkan untuk tahun 2024 ditetapkan sebesar 13.886 MW, dengan rincian kapasitas tersebut meliputi:

  1. 6.784,2 MW dari pembangkit tenaga air;
  2. 2.417,7 MW dari tenaga panas bumi;
  3. 3.195,4 MW dari bioenergi;
  4. 573,8 MW dari tenaga surya; dan
  5. 154,3 MW dari tenaga angin.

Ditargetkan pada tahun 2025 ini, akan terpasang pembangkit berbasis bioenergi dengan energi mencapai 5,5 GW. Potensi bioenergi yang dimiliki Indonesia pun sangat besar, yakni sebesar 442 GW, namun pemanfaatannya baru 99,4 GW atau baru sekitar 2% (dua persen). Beberapa potensi utama bioteknologi dalam energi terbarukan meliputi:

  1. Biogas: Menghasilkan bahan bakar gas dari limbah organik melalui fermentasi anaerobik.
  2. Bioetanol dan Biodiesel: Menggunakan mikroorganisme untuk mengonversi bahan nabati menjadi bahan bakar alternatif.
  3. Biomassa: Memanfaatkan limbah pertanian dan kehutanan sebagai sumber energi.

Tantangan dan Regulasi dalam Pengembangan Bioenergi

Meskipun potensi besar, pengembangan bioenergi menghadapi berbagai tantangan struktural dan regulatif. Tantangan utama meliputi:

a. Keterbatasan teknologi dalam konversi biomassa menjadi energi yang efisien.
b. Biaya produksi yang tinggi, membuat bioenergi kurang kompetitif dibandingkan energi fosil.
c. Regulasi yang belum sepenuhnya mendukung, sehingga investasi dalam bioenergi masih terbatas.

Selain itu, menurut laporan di laman Bioenergi.co.id, pelaku industri menghadapi tantangan mulai dari minimnya koordinasi antar lembaga pemerintah, keterbatasan lahan untuk budidaya tanaman energi, hingga ketidakpastian pasar dan harga jual energi bio. Sementara itu, Hery Susanto dari Ombudsman RI menyatakan bahwa pengembangan bioenergi nasional memerlukan regulasi yang berpihak, jelas, dan konsisten agar bisa menarik investasi jangka panjang.

Sektor bioenergi juga harus menghadapi tantangan sosial-ekologis, seperti kekhawatiran terhadap alih fungsi lahan pangan untuk tanaman energi. Untuk itu, diperlukan kerangka regulasi yang menyeimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan dan keamanan pangan nasional, dengan pendekatan berbasis prinsip kehati-hatian (precautionary principle).

Kebijakan Pendukung Energi Terbarukan Berbasis Bioteknologi

Pengembangan energi terbarukan, termasuk bioenergi, memiliki landasan hukum yang cukup kuat di Indonesia. Beberapa regulasi penting yang mendasari kebijakan energi nasional, antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”)

UU ini menjadi payung hukum utama sektor energi di Indonesia. Dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa:

(1) Pemanfaatan energi dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan:
     a. Mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya energi;
     b. Mempertimbangkan aspek teknologi, sosial, ekonomi, konservasi, dan lingkungan; dan
     c. Memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil sumber energi, 

(2) Pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. 

  • Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”)

PP 79/2014 menetapkan arah dan strategi jangka panjang dalam pemanfaatan energi, salah satu target KEN adalah porsi energi terbarukan sebesar 23% (dua puluh tiga persen) dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Bioenergi pun mendapat porsi yang signifikan dalam target ini, termasuk dalam sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Dalam Pasal 12 ayat (1)  huruf c, d, dan e menyatakan bahwa:

“c. Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dari jenis bahan bakar nabati diarahkan untuk menggantikan bahan bakar minyak terutama untuk transportasi dan industri;
 d. Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dari jenis bahan bakar nabati dilakukan dengan tetap menjaga ketahanan pangan;
 e. Pemanfaatan Energi Terbarukan dari jenis biomassa dan sampah diarahkan untuk ketenagalistrikan dan transportasi. “

  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pengusahaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (“Permen ESDM 4/2025”) 

Permen ESDM ini menjadi salah satu regulasi penting yang memperkuat dasar hukum pengembangan biodiesel di Indonesia. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah “bioteknologi”, namun peraturan ini mengatur aspek-aspek yang sangat relevan dengan penerapan bioteknologi dalam produksi biodiesel, salah satunya dukungan pemerintah terkait pengembangan pada sektor ini.

Dalam Pasal 32 ayat (1) Permen ESDM 4/2025 menyebutkan:

“Badan Usaha BBN (Bahan Bakar Nabati) yang melakukan pengusahaan BBN dapat diberikan insentif fiskal dan/atau insentif nonfiskal.” 

Yang dalam hal ini dapat mencakup penyederhanaan prosedur perizinan dan persyaratan pengusahaan BBN, serta pemberian penghargaan karena turut berkontribusi dalam membantu pemerintah mewujudkan target bauran energi. 

Agar potensi bioteknologi dalam energi terbarukan dapat dioptimalkan, dibutuhkan sinergi kebijakan, insentif ekonomi, dan dukungan riset yang kuat. Pemerintah perlu mempercepat harmonisasi regulasi lintas sektor (energi, lingkungan, pertanian, dan industri), sekaligus menciptakan ekosistem inovasi yang mendorong kolaborasi antara lembaga riset, universitas, dan sektor swasta.***

Daftar Hukum:

Referensi: