Transplantasi organ tubuh menjadi salah satu solusi medis yang dapat menyelamatkan nyawa pasien dengan penyakit kritis. Dilansir dari laman doktersehat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bahwa transplantasi organ adalah pemindahan organ atau jaringan tubuh yang sehat milik seseorang ke tubuh pasien yang membutuhkan dengan kondisi medis tertentu.

Proses transplantasi organ tak hanya melibatkan teknologi medis yang canggih, melainkan juga memerlukan landasan hukum yang jelas untuk memastikan etika dan keadilan dalam pelaksanaannya. Di Indonesia, regulasi terkait hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) yang memberikan kerangka hukum yang penting terkait dengan transplantasi organ untuk menjamin praktik tersebut dilakukan secara bertanggung jawab dan etis.

Dalam Pasal 124 ayat (1) UU Kesehatan disebutkan bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan hanya untuk tujuan kemanusiaan. Transplantasi organ dan/atau tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindakan pemindahan organ dan/atau jaringan tubuh dari donor kepada resipien sesuai dengan kebutuhan medis. Organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dikomersilkan atau diperjualbelikan dengan alasan apa pun.

Sementara itu dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ (“Permenkes 38/2016”) diatur mengenai kriteria pendonor, yakni setiap orang dapat menjadi pendonor secara sukarela tanpa meminta imbalan. Pendonor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

  1. Pendonor hidup; dan
  2. Pendonor mati batang otak (MBO).

Pada perspektif bioetika, transplantasi organ dari pendonor mati batang otak melibatkan penggunaan organ-organ yang masih berfungsi dengan baik dari individu yang telah dinyatakan meninggal dunia secara medis.

Lebih lanjut terkait dengan pendonor mati batang otak (MBO) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b merupakan orang yang organ tubuhnya diambil pada saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati batang otak (MBO) di rumah sakit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 125 ayat (3) UU Kesehatan dijelaskan bahwa donor mati merupakan donor yang organ dan/atau jaringannya diambil pada saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati oleh tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan dan harus atas persetujuan keluarganya secara tertulis. 

Baca juga: Pemerintah Dukung Kemandirian Produksi Alat Kesehatan Dalam Negeri

Sebelum dilakukannya pengambilan organ, harus ada kepastian bahwa kematian telah terjadi secara sah dan prosesnya harus dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten. Seseorang dinyatakan mati sebagaimana dalam Pasal 126 ayat (1) apabila memenuhi:

  1. Kriteria diagnosis mati klinis/konvensional atau berhentinya fungsi sistem jantung sirkulasi secara permanen; atau
  2. Kriteria diagnosis kematian mati batang otak/mati otak.

Penentuan mati batang otak (MBO) pada pendonor harus dilakukan oleh tim dokter rumah sakit yang bukan anggota tim transplantasi rumah sakit. 

Terkait dengan donor pada mayat atau donor mati, harus dipastikan bahwa semasa hidupnya telah menyatakan dirinya bersedia sebagai donor, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dapat dilakukan pada saat yang bersangkutan mati tanpa persetujuan keluarganya, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 125 ayat (4) UU Kesehatan. Kemudian dalam Pasal 15 ayat (2) Permenkes 38/2016 dijelaskan bahwa pendonor mati batang otak pada saat hidup harus telah teregistrasi sebagai calon pendonor di Komite Transplantasi Nasional atau perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi. 

Baca juga: Tanggung Jawab Produsen dan Distributor Alat Kesehatan

Mengenai praktik transplantasi telah diatur regulasi yang ketat untuk mencegah praktik yang tidak etis hingga pengambilan organ tanpa izin. Berdasarkan Pasal 128 Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh harus memperhatikan:

  1. Prinsip keadilan;
  2. Prinsip utilitas medis;
  3. Kecocokan organ dan/atau jaringan tubuh dengan resipien yang membutuhkan;
  4. Urutan prioritas berdasarkan kebutuhan medis resipien dan/atau hubungan keluarga;
  5. Ketepatan waktu transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh;
  6. Karakteristik organ dan/atau jaringan tubuh; dan
  7. Kesehatan donor bagi donor hidup.

Donor organ tubuh setelah kematian menjadi isu yang kompleks, yakni dengan melibatkan aspek hukum, etika, sosial, dan kebutuhan medis. Untuk itu, diperlukan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bertanggung jawab melaksanakan upaya transplantasi anggota tubuh dalam dan/atau jaringan tubuh.

Baca juga: Perlindungan Hukum bagi Pekerja Medis

 Daftar Hukum:

Referensi: