Sejak pandemi Covid-19 terjadi, terdapat lonjakan perkembangan industri alat kesehatan (alkes) dalam negeri. Hal tersebut diungkap oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang menunjukkan adanya tren positif perkembangan industri alat kesehatan hingga delapan kali lipat. Data yang diperoleh mencatat penyerapan produk alat kesehatan lokal naik menjadi 48% sepanjang tahun 2024 jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya berkisar 12%. Kemandirian industri alat kesehatan Indonesia merupakan salah satu misi besar yang terus digalakkan pemerintah. Kemandirian ini pun terus didukung oleh berbagai regulasi, salah satunya melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (“Inpres 6/2016”). Melalui Inpres 6/2016, Menteri Kesehatan diharapkan mampu mendorong dan mengembangkan penyelenggaraan riset dan pengembangan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan.

Dalam rangka mendorong produsen dalam meningkatkan produksi alat kesehatan dalam negeri, masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk meneliti, mengembangkan, memproduksi, mengedarkan, meningkatkan dan menggunakan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya sebagaimana diatur dalam Pasal 322 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Penelitian, pengembangan, produksi, peredaran, peningkatan, serta penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pemerintah pun kian optimis dalam mendorong dan mengarahkan penelitian dan pengembangan alat kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia. Meningkatnya produksi alat kesehatan dalam negeri pun didukung pula dengan regulasi terkait aturan kestabilan harga. Tercantum dalam Pasal 318 UU Kesehatan bahwa Pemerintah Pusat berwenang mengatur dan mengendalikan harga alat kesehatan. Di samping regulasi terkait dukungan untuk terus mengembangkan produksi alat kesehatan, terdapat pula aturan mengenai pengendalian mutu alat kesehatan yang harus diterapkan para produsen. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2017 tentang Cara Pembuatan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik (“Permenkes 20/2017”). 

Aturan terkait pembuatan alat kesehatan yang baik menjadi kewajiban yang harus dipenuhi para produsen alat kesehatan dan menjadi tanggung jawab mutlak. Diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Permenkes 20/2017, bahwa Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik selanjutnya disebut CPAKB yaitu pedoman yang digunakan dalam rangkaian kegiatan pembuatan alat kesehatan dan pengendalian mutu yang bertujuan untuk menjamin agar produk alat kesehatan yang diproduksi memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPAKB harus diterapkan oleh setiap sarana produksi dan sebagai distributor alat kesehatan sebagai jaminan bahwa semua proses dalam sistem yang saling terkait dalam pembuatan alat kesehatan telah dikelola dalam rangka tercapainya keamanan, mutu, dan manfaat alat kesehatan yang diproduksi. Penerapan CPAKB juga menjamin bahwa alat kesehatan dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

CPAKB merupakan acuan bagi sarana produksi alat kesehatan untuk dapat menerapkan sistem manajemen mutu dalam pembuatan alat kesehatan. CPAKB ini juga menjadi acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan bagi sarana produksi alat kesehatan. Setiap perusahaan yang memproduksi alat kesehatan dalam melaksanakan kegiatan produksi pun wajib menerapkan CPAKB. Produsen alat kesehatan harus memenuhi sistem manajemen mutu yang mencakup desain dan pengembangan, produksi, instalasi, tanggung jawab manajemen, pengelolaan sumber daya, realisasi produk, pengukuran, analisis dan perbaikan, serta semua aspek yang terkait dengannya yang dilakukan dalam rangka memproduksi alat kesehatan yang aman, bermutu, dan bermanfaat. Perusahaan sebagai produsen alat kesehatan harus memiliki sertifikasi produksi yang masih berlaku sesuai dengan kategori alat kesehatan yang diproduksi.

Diatur dalam Permenkes 20/2017 Perusahaan sebagai produsen alat kesehatan harus:

  1. Mengidentifikasi dan menetapkan proses yang dibutuhkan untuk CPAKB;
  2. Menentukan urutan dan interaksi dari proses di atas;
  3. Menentukan kriteria dan metode yang dibutuhkan untuk menjamin efektivitas implementasi dan kendali dari proses;
  4. Menjamin ketersediaan sumber daya dan informasi yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan dan dan pemantauan proses;
  5. Memantau, mengukur, dan menganalisis;
  6. Mengimplementasikan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang direncanakan dan mempertahankan keefektifan;
  7. Menentukan bagian-bagian atau fungsi-fungsi pada perusahaan yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang ditetapkan secara jelas dan tegas;

Baca juga: Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Pasien dengan Perawatan Paliatif

Produsen alat kesehatan harus mampu memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 138 ayat (1) UU Kesehatan bahwa sediaan farmasi, alat kesehatan, dan PKRT harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau serta memenuhi ketentuan jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Selain produsen, keberadaan distributor alat kesehatan pun diatur ketat oleh sejumlah regulasi. Dalam Pasal 138 ayat (3) UU Kesehatan disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, menyimpan, mempromosikan, mengedarkan, dan/atau mendistribusikan alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan khasiat/kemanfaatan, dan mutu. Produsen dan distributor alat kesehatan harus memiliki izin edar. Dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1189/MENKES/PER/VIII/2010 Tahun 2010 tentang Produksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (“Permenkes 1189/MENKES/PER/VIII/2010”) menyebut bahwa izin edar merupakan izin yang dikeluarkan kepada perusahaan distributor alat kesehatan untuk produk alat kesehatan atau perbekalan kesehatan rumah tangga yang akan diimpor dan/atau digunakan dan/atau diedarkan di wilayah Republik Indonesia berdasarkan penilaian terhadap mutu, keamanan, dan kemanfaatan.

Selain itu, seluruh badan usaha yang menjual atau mendistribusikan alat kesehatan secara B2B, grosir, atau dalam jumlah banyak pun harus mengantongi Izin Distribusi Alat Kesehatan (IDAK). Di Indonesia, perdagangan besar terkait alat laboratorium, alat farmasi, dan alat kedokteran untuk manusia dilakukan oleh Badan Hukum dengan KBLI 46691. KBLI 46691 merupakan kode klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia yang untuk kegiatan perdagangan besar alat laboratorium, alat farmasi, dan alat kedokteran untuk manusia yang termasuk ke dalam sektor kesehatan dengan tingkat risiko tinggi dan harus memiliki izin dari Kementerian Kesehatan. 

Untuk memudahkan pelaku usaha dalam mengurus izin edar, Kementerian Kesehatan pun mengeluarkan Pedoman Pelayanan Izin Edar Alat Kesehatan yang dapat menjadi acuan dalam mengajukan permohonan. Pelayanan izin edar alat kesehatan terdiri dari:

  1. Permohonan baru 
  2. Permohonan Perpanjangan
  3. Permohonan Perubahan
  4. Permohonan Perpanjangan dengan perubahan

Dalam melaksanakan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel, permohonan pendaftaran izin edar alat kesehatan dilakukan secara daring melalui laman http://www.regalkes.depkes.go.id dan/atau di Unit Layanan Terpadu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Baca juga: Mencegah Potensi Pelanggaran Hak Subjek Penelitian Kesehatan

 Daftar Hukum:

Referensi: