Sengketa merek dagang menjadi isu hukum yang semakin sering dihadapi pelaku usaha, terutama dalam iklim bisnis yang kompetitif dengan perputarannya yang semakin cepat. Merek bukan sekadar simbol atau nama dagang, melainkan representasi nilai, kualitas, dan reputasi yang melekat pada produk atau jasa. Sengketa ini bisa terjadi karena tumpang tindih kepemilikan, kemiripan dengan merek lain, atau kurangnya pemantauan terhadap penggunaan merek secara ilegal oleh pihak ketiga. Ketika terjadi konflik atas kepemilikan atau penggunaan merek, dampaknya bisa sangat merugikan, baik secara finansial maupun terhadap citra perusahaan. 

Di Indonesia, sistem hukum kekayaan intelektual menganut prinsip formalistik, di mana hak atas merek hanya diberikan kepada pihak yang terlebih dahulu mendaftarkannya secara sah. Sistem ini dikenal sebagai First to File dan memiliki konsekuensi strategis dalam pengelolaan merek. Tanpa pemahaman yang tepat, pelaku usaha berisiko kehilangan hak atas merek yang telah dibangun, bahkan terlibat dalam gugatan hukum yang kompleks. Oleh karena itu, penting untuk memahami langkah-langkah preventif yang dapat dilakukan sejak awal, mulai dari proses pendaftaran, pemilihan merek yang tepat, hingga pengawasan aktif terhadap potensi pelanggaran. 

Mengenal Sistem First to File dalam Pendaftaran Merek Dagang di Indonesia

Prinsip First to File mulai diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (“UU Merek”) yang resmi berlaku sejak 1 April 1993. Penerapan Undang-undang ini mengakhiri sistem First to Use yang sebelumnya digunakan. Berdasarkan asas First to File, kepemilikan hukum atas suatu merek ditetapkan kepada pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Ketentuan ini menjadi tonggak penting dalam menjamin kepastian hukum terhadap perlindungan merek di Indonesia.

Meskipun suatu merek telah digunakan terlebih dahulu oleh seseorang, tetapi jika pihak lain mendaftarkannya lebih dahulu ke DJKI dan permohonannya disetujui, maka pihak tersebut yang memperoleh hak eksklusif atas merek tersebut. Sistem ini menciptakan urgensi tinggi bagi pelaku usaha untuk segera mendaftarkan mereknya sebelum melakukan ekspansi pasar. Hal ini pun turut ditegaskan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) bahwa:

“Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”

Pasal tersebut menegaskan bahwa hak atas merek bersifat eksklusif dan hanya berlaku bagi pemilik yang telah melakukan pendaftaran secara sah. Eksklusivitas ini mencakup hak penggunaan secara pribadi maupun hak pemberian lisensi kepada pihak lain. Artinya, pemilik merek terdaftar memiliki kendali penuh secara hukum untuk menentukan siapa saja yang boleh menggunakan mereknya dan dalam kondisi apa.

Lebih lanjut, hal ini tertuang pula dalam Pasal 3 UU MIG yang menegaskan kembali bahwa Hak Atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar. Jadi, yang dimaksud dengan “terdaftar” yakni merujuk pada  status hukum suatu merek setelah melewati seluruh tahapan permohonan, termasuk pemeriksaan kelengkapan formal, proses pengumuman publik, dan evaluasi substantif, hingga akhirnya memperoleh persetujuan dari Menteri untuk penerbitan sertifikat merek resmi.

Salah satu contoh nyata penerapan sistem First to File dalam sengketa merek di Indonesia adalah kasus “Geprek Bensu” antara Ruben Samuel Onsu dan PT. Ayam Geprek Benny Sujono dengan nomor perkara 57/Pdt.Sus-Merek/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst, yang kemudian berlanjut hingga tingkat kasasi. Dalam sengketa tersebut, PT. Ayam Geprek Benny Sujono lebih dahulu mendaftarkan merek “Bensu” untuk kategori usaha kuliner, sementara Ruben Samuel Onsu menggunakan nama tersebut dalam bisnis restoran yang telah dikenal luas. 

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat serta Mahkamah Agung menegaskan bahwa hak atas merek diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkan merek secara formal di DJKI, terlepas dari popularitas atau penggunaan sebelumnya. Putusan ini menjadi preseden penting yang menegaskan dominasi prinsip first to file dalam sistem hukum merek Indonesia, serta menggarisbawahi pentingnya strategi proaktif dalam perlindungan hak kekayaan intelektual sejak awal.

Baca juga: Pentingnya Pendaftaran Merek Dagang Industri Kuliner

Lalu, Bagaimana Langkah Pencegahan Sengketa Merek Dagang Menurut UU Merek?

Untuk menghindari konflik hukum, langkah preventif menjadi sangat penting. Pasal 21 UU MIG secara tegas mengatur berbagai kondisi yang memungkinkan suatu merek yang didaftarkan dapat ditolak oleh DJKI Kemenkumham, yakni sebagai berikut:

  • Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:
  • Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
  • Indikasi Geografis terdaftar. 
  • Permohonan ditolak jika Merek tersebut:
  • Merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
  • Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; atau
  • Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
  • Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik. 

Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa tidak semua merek yang diajukan untuk pendaftaran akan secara otomatis didaftarkan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kemenkumham. Proses pendaftaran merek di Indonesia harus tunduk pada ketentuan hukum yang ketat, sebagaimana diatur dalam UU MIG yang menetapkan sejumlah alasan absolut yang dapat menjadi dasar penolakan. Oleh karena itu, penting bagi pemohon untuk melakukan riset menyeluruh, memastikan keunikan dan legalitas merek yang diajukan, serta memahami seluruh aspek hukum yang berlaku agar proses pendaftaran dapat berjalan lancar dan tidak berujung pada penolakan administratif maupun substantif.

Dengan memastikan bahwa merek yang akan didaftarkan tidak meniru atau memiliki kemiripan dengan merek milik pihak lain merupakan langkah awal yang sangat penting untuk mencegah potensi sengketa hukum. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara clearance search atau penelusuran merek secara menyeluruh pada database DJKI untuk memverifikasi apakah nama, logo, atau identitas visual yang akan digunakan sudah terlebih dahulu dimiliki atau menyerupai merek yang terdaftar. Strategi ini tidak hanya membantu menghindari penolakan saat proses pendaftaran, tetapi juga melindungi usaha dari gugatan hukum di masa depan akibat pelanggaran hak eksklusif pihak lain.

Baca juga: Pentingnya Pendaftaran Merek Dagang untuk Mengamankan Identitas Bisnis

Tips Penegakan Hak Secara Aktif Melalui Monitoring Setelah Merek Terdaftar

Mendaftarkan merek ke DJKI hanyalah langkah awal dalam perlindungan hukum terhadap aset intelektual perusahaan. Banyak pelaku usaha yang keliru dengan beranggapan bahwa risiko pelanggaran akan hilang jika merek mereka telah memperoleh sertifikat. Padahal, perlindungan hukum terhadap merek membutuhkan enforcement atau penegakan secara aktif dari pemiliknya.

Agar perlindungan hukum benar-benar efektif, pemilik merek wajib melakukan pemantauan aktif terhadap penggunaan mereknya di pasar. Melalui monitoring di DJKI, pengawasan di platform digital, serta kesiapan mengambil langkah hukum, baik melalui somasi, gugatan perdata, atau pun jalur pidana, pemilik merek dapat mencegah penyalahgunaan dan membela hak eksklusifnya dengan tegas. Tanpa penegakan yang aktif, merek dagang berisiko kehilangan kekuatannya di tengah persaingan. Oleh karena itu, perlindungan merek yang sesungguhnya tidak berhenti pada tahap pendaftaran, melainkan harus terus dipertahankan melalui langkah-langkah nyata dalam praktik bisnis.***

Baca juga: Apa Itu Lisensi Merek Dagang?

Daftar Hukum:

Referensi: