Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan kewajiban bagi setiap masyarakat yang memiliki tanah dan/atau bangunan. PBB merupakan pajak yang dibebankan pada pemilik tanah dan/atau bangunan yang ditetapkan karena adanya keuntungan atau status ekonomi dari kepemilikan tersebut. Kewajiban ini penting untuk mendukung pembangunan dan pelayanan publik di daerah masing-masing. Penerimaan dari bayar PBB digunakan oleh pemerintah daerah untuk berbagai kebutuhan, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya. 

PBB dibedakan menjadi 2 jenis utama, yakni PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan PBB Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB-P3) dengan klasifikasi sebagai berikut:

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)

PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (“PMK 208/2018”). 

Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (“UU PBB”) dijelaskan mengenai objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang:

  1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
  2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
  3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
  4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
  5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. 

Baca juga: Dongkrak Tax Compliance Melalui Digitalisasi Sistem Perpajakan

Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB-P3)

PBB-P3 adalah pajak yang dibebankan untuk Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan. Diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (“PMK 234/2022”) bahwa objek pajak PBB-P3 diklasifikasikan menjadi:

  1. Objek pajak PBB Sektor Perkebunan meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan;
  2. Objek pajak PBB Sektor Perhutanan meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perhutanan;
  3. Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi;
  4. Objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
  5. Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara; dan
  6. Objek pajak PBB Sektor lainnya meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah perairan dan yurisdiksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai kelautan. 

Baca juga: Pengurangan Beban Pajak Secara Legal dengan Tax Planning

Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen). Tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (“UU PBB”) yakni dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari NJOP. 

NJOP yang digunakan untuk menghitung PBB-P2 memiliki besaran persentase berbeda yang bergantung pada jenis objeknya. Diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 17 Tahun 2024 tentang Persentase Nilai Jual Objek Pajak yang Digunakan Untuk Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (“Pergub 17/2024”) yakni NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 untuk objek PBB-P2 berupa:

  1. Hunian, ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen); dan
  2. Selain hunian, ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen),

dari NJOP setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).

Besaran NJOPTKP adalah sebesar Rp12.000.000 yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2014 Tahun 2014 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (“PMK 23/2014”). 

Lebih lanjut dalam Pasal 7 UU PBB ditetapkan bahwa besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan NJKP. Tata cara pembayaran dan penagihan diatur secara rinci dalam Pasal 11 UU PBB bahwa:

  1. Prosedur penagihan PBB melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah kepada wajib pajak untuk memberi tahu besaran PBB yang harus dibayar;
  2. SPPT disampaikan secara langsung, melalui post, atau melalui saluran elektronik. Wajib pajak harus memastikan bahwa SPPT diterima dengan tepat waktu dan menyetor PBB sesuai dengan NJKP yang tercantum dalam SPPT;
  3. Pajak harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam bulan) sejak diterimanya SPPT;
  4. Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan;
  5. Denda administrasi ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak.

Seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (“UU HKPD”) besaran tarif PBB-P2 mengalami kenaikan. UU HKPD mengatur berbagai ketentuan desentralisasi fiskal dan asas otonomi daerah, salah satunya mengenai penetapan kenaikan tarif bayar PBB. Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU HKPD, disebutkan bahwa tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah (Perda).

Rumus perhitungan PBB adalah = tarif 0,5% x Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)

Rumus NJKP = Persentase NJKP 40% x (Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP))

Baca juga: Peranan Pajak dalam Mewujudkan Keadilan Sosial

 Daftar Hukum: