Sering kali terjadi penafsiran kontrak yang berbeda diantara pihak-pihak pada suatu perikatan perjanjian. Hal ini kerap terjadi jika terdapat pihak yang sudah melaksanakan kontrak, tapi hasilnya tidak sesuai dengan harapan pihak lainnya. Ketika proses penafsiran perjanjian, sering kali muncul perbedaan pandangan atau interpretasi, meski situasi ini merupakan fenomena umum dalam suatu perjanjian.
Dalam suatu perikatan perjanjian sering kali terjadi perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan suatu kontrak. Ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan sengketa antara para pihak yang terlibat. Ketika perbedaan penafsiran muncul, langkah tepat adalah melakukan sengketa perjanjian terhadap perjanjian tersebut mencangkup berbagai faktor seperti kondisi sosial, ekonomi, dan aspek lain yang mempengaruhi niat para pihak saat menyepakati kontrak.
Dasar Hukum Penafsiran Perjanjian
Penafsiran perjanjian dalam hukum perdata bertujuan untuk memastikan dan menerapkan maksud para pihak yang tercantum dalam perjanjian. Penafsiran perjanjian diatur dalam Pasal 1342–1351 KUHPerdata.
Baca juga: Mengenal Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) dalam Perkara Perdata
Pihak yang Berwenang Menafsirkan Perjanjian
Pada dasarnya, sengketa perjanjian atau kontrak adalah perselisihan terkait perbedaan kepentingan para pihak yang telah mengikatkan diri dalam suatu kontrak. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam menafsirkan dan melaksanakan isi kontrak yang umumnya terjadi pada tahap pelaksanaan kontrak, baik disebabkan karena salah satu pihak wanprestasi atau karena adanya perbedaan dalam menafsirkan isi kontrak.
Jika terjadi sengketa perjanjian, hakim diberikan kewenangan untuk mengadilinya. Hal ini mengingat tugas hakim adalah memeriksa, mengadili, dan menentukan hukum terhadap permasalahan hukum yang dihadapkan kepadanya, termasuk sengketa kontrak. Namun jika terdapat pihak yang merasa dirugikan atas perjanjian yang sudah dibuat, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Nantinya, majelis hakim yang akan melakukan penafsiran terhadap perjanjian tersebut.
Baca juga: Pengertian dan Dasar Hukum Tanah Wakaf di Indonesia
Ketentuan Hukum Dalam Penafsiran Perjanjian
- Pasal 1342 KUHPerdata
Pasal ini menegaskan bahwa jika kata-kata atau kalimat dalam perjanjian sudah jelas, maka penafsiran yang berbeda tidak diperkenankan. Kata-kata yang dianggap “jelas” dalam sebuah perjanjian adalah kata-kata yang tidak memberikan celah memunculkan berbagai interpretasi. Dalam konteks hukum kontrak, prinsip ini dikenal sebagai asas sens clair atau doktrin kejelasan makna;
- Pasal 1343 KUHPerdata
Jika muncul perbedaan pemahaman, pasal ini mengarahkan agar dilakukan penyelidikan untuk memahami maksud asli dari pihak-pihak yang berkontrak. Perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan kehendak para pihak, meskipun hal ini mungkin menyimpang dari kata-kata yang tertulis;
- Pasal 1344 KUHPerdata
Apabila sebuah perjanjian memiliki dua makna yang berbeda, pasal ini menegaskan bahwa tafsiran yang memungkinkan pelaksanaan janji harus diutamakan. Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa perjanjian dapat dilaksanakan secara efektif sesuai dengan harapan semua pihak;
- Pasal 1345 KUHPerdata
Selanjutnya, jika sebuah perjanjian dapat ditafsirkan dengan lebih dari satu cara, maka yang harus dipilih adalah tafsiran yang paling sesuai dengan karakteristik perjanjian tersebut. Istilah atau kata yang digunakan dalam perjanjian harus disesuaikan dengan yang paling sesuai dengan isi kontrak yang ada;
- Pasal 1346 KUHPerdata
Jika ditemukan hal-hal yang meragukan dalam perjanjian atau isi kontrak, maka perjanjian tersebut harus ditafsirkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku di daerah atau tempat di mana perjanjian tersebut dibuat;
- Pasal 1347 KUHPerdata
Pasal ini terkait kebiasaan yang telah disepakati secara umum dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari suatu perjanjian. Contohnya, kebiasaan yang berlaku di suatu daerah akan selalu dianggap tercantum dalam perjanjian yang dibuat;
- Pasal 1348 KUHPerdata
Pasal ini mengatur perjanjian yang disusun tidak boleh ditafsirkan secara terpisah, melainkan harus dilihat sebagai satu kesatuan. Pasal ini tegas menyatakan bahwa setiap janji dalam suatu perjanjian harus dipahami dalam konteks keseluruhan, di mana setiap janji saling terkait satu sama lain.
- Pasal 1349 KUHPerdata
Jika terdapat ketidakjelasan, maka perjanjian harus ditafsirkan untuk merugikan pihak yang meminta perjanjian tersebut dan menguntungkan pihak yang telah berkomitmen. Artinya, jika penafsiran suatu perjanjian berpotensi merugikan salah satu pihak, maka penafsiran tersebut harus menguntungkan debitur dan merugikan kreditur.
- Pasal 1350 KUHPerdata
Kedelapan, pasal 1349 KUHPerdata menyatakan bahwa “Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya suatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu;”
- Pasal 1351 KUHPerdata
Terakhir, jika dalam suatu persetujuan dinyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, hal itu tidak dianggap mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan itu menurut hukum.
Baca juga: Solusi Damai Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata
Kesimpulan
Perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan kontrak acapkali menjadi sumber perselisihan sengketa perjanjian antara para pihak. Untuk mengurangi potensi perselisihan, hukum perdata melalui Pasal 1342 hingga 1351 KUHPerdata. Pasal-pasal tersebut mengatur prinsip penafsiran suatu perjanjian agar tetap bisa terjaga dan mencerminkan niat dan kepentingan para pihak dengan jelas dan dapat diterapkan secara efektif.
Dalam proses penafsiran, hakim memiliki kewenangan memastikan bahwa perjanjian atau kontrak yang disusun sejalan dengan karakteristik perjanjian itu sendiri. Ketentuan ini memberikan jaminan bahwa setiap kata dalam kontrak harus diartikan secara adil dan mendukung pelaksanaan perjanjian.
Penerapan aturan penafsiran kontrak bukan hanya bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi juga mendorong para pihak untuk menyusun kontrak secara lebih hati-hati dan jelas sejak awal. Hal ini penting untuk menjaga hubungan bisnis yang saling menguntungkan dan mencegah konflik yang tidak perlu.
Baca juga: Peran Pengadilan dalam Penegakan Hukum Perdata
Sumber Hukum:
Referensi:
- hukumonline.com. 12 Nov 2024, 10:38 WIB (Diakses pada 12 November 2024 pukul 10.38 WIB).