Perkawinan campuran, yakni pernikahan antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA), merupakan fenomena yang semakin lazim di era globalisasi. Mobilitas internasional, pertukaran budaya, dan kemajuan teknologi telah mempertemukan individu dari latar belakang kewarganegaraan yang berbeda dalam ikatan pernikahan. Namun, di balik romantisme lintas negara tersebut, terdapat kompleksitas hukum yang menyertai, terutama ketika hubungan tersebut berakhir dalam perceraian.

Perceraian dalam perkawinan campuran tidak hanya menyangkut pemutusan hubungan suami istri, tetapi juga menimbulkan implikasi hukum yang lebih luas. Persoalan yurisdiksi pengadilan, pembagian harta bersama, hak asuh anak, hingga status izin tinggal pasca perceraian menjadi isu krusial yang harus ditangani secara hati-hati. SIP Law Firm akan mengulas dasar hukum perkawinan campuran menurut Undang-Undang, prosedur dan yurisdiksi pengadilan, serta implikasi hukum yang timbul setelah perceraian. 

 

Dasar Hukum Perceraian dalam Perkawinan Campuran

 

Secara yuridis, aturan mengenai perkawinan campuran terdapat dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyebutkan bahwa:

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Dengan demikian, perkawinan antara WNI dan WNA dikategorikan sebagai perkawinan campuran dan tunduk pada ketentuan hukum nasional masing-masing pihak. Ketika terjadi perceraian, maka hukum yang berlaku adalah hukum tempat perceraian diajukan. Jika perceraian dilakukan di Indonesia, maka prosedur dan syarat perceraian mengikuti ketentuan UU Perkawinan dan peraturan pelaksananya.

Sementara itu, dasar hukum perceraian diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang menegaskan bahwa:

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

Ketentuan ini berlaku pula bagi perkawinan campuran. Artinya, meskipun salah satu pihak berkewarganegaraan asing, proses perceraian tetap harus dilakukan di hadapan Pengadilan Negeri (bagi non-Muslim) atau Pengadilan Agama (bagi Muslim), tergantung pada agama para pihak saat menikah. 

Adapun alasan perceraian diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) antara lain karena:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak yang lain
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 

Dalam konteks perkawinan campuran, perbedaan kultur dan hukum negara asal pasangan asing kerap memperkuat alasan perceraian, terutama dalam hal ketidakcocokan prinsip, agama, atau gaya hidup. Perselisihan dalam perkawinan campuran sering kali timbul karena perbedaan posisi suami dan istri setelah perkawinan. Perselisihan tersebut juga kerap berhubungan dengan perbedaan martabat budaya yang melatarbelakangi adat istiadat. Konflik adat istiadat ini seringkali menjadi penyebab perceraian. 

Baca juga: Beda di Tiap Daerah, Ini Biaya Perceraian Sesuai Ketentuan Pengadilan Agama

 

Yurisdiksi Pengadilan Perceraian Campuran

 

Prosedur perceraian dalam perkawinan campuran tunduk pada hukum acara perdata di Indonesia. Jika kedua belah pihak beragama Islam, maka perceraian dilakukan di Pengadilan Agama. Sebaliknya, jika salah satu atau kedua pihak beragama non-Islam, maka perceraian dilakukan di Pengadilan Negeri. 

Berikut adalah prosedur perceraian bagi Penggugat (pihak yang mengajukan permohonan perceraian) dan Tergugat (pihak yang dituduh dalam permohonan perceraian) yang tinggal di luar negeri, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) dan UU Perkawinan:

  1. Jika Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri, tetapi perkawinan dilakukan di Indonesia, permohonan perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang berwenang di tempat perkawinan dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (4) UU Peradilan Agama.
  2. Jika Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri, dan perkawinan dilakukan di luar negeri, bukti perkawinan harus didaftarkan atau dilaporkan ke instansi yang berwenang, baik Dukcapil atau ke Kantor Urusan Agama (KUA) dalam waktu satu tahun sebagaimana tertera dalam Pasal 56 UU Perkawinan.
  3. Permohonan perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam kasus di mana penggugat dan tergugat berada di luar negeri dan bukti perkawinan belum pernah didaftarkan atau dilaporkan ke Kantor Urusan Agama di wilayah pasangan tersebut tinggal sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Peradilan Agama. 

Baca juga: Hukum Penetapan Nafkah Pasca Perceraian

 

Proses Perceraian dalam Perkawinan Campuran

 

Perceraian dalam perkawinan campuran antara WNI dan WNA memiliki prosedur yang serupa dengan perceraian pada umumnya, namun dengan tambahan kompleksitas hukum lintas negara. Tahapan serta poin-poin utama yang patut menjadi perhatian adalah sebagai berikut:

  • Pengajuan Gugatan atau Permohonan Cerai

Gugatan diajukan ke pengadilan terkait dengan melampirkan dokumen pendukung.

  • Mediasi dan Pemeriksaan Sidang

Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma 1/2016) bahwa:

“Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi.”

Proses mediasi wajib ditempuh terlebih dahulu untuk memberi kesempatan damai kepada para pihak.

  • Putusan Perceraian

Jika mediasi gagal, sidang dilanjutkan hingga keluarnya putusan. Pengadilan akan mempertimbangkan bukti-bukti dan kesaksian sebelum menjatuhkan putusan cerai. 

  • Pencatatan Perceraian

Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, perceraian harus didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk dicatat dalam akta perceraian (bagi non-Islam) atau Kantor Urusan Agama (bagi umat Islam). 

Baca juga: Begini Aturan Tepat Terkait Hak Asuh Anak dalam Kasus Perceraian

 

Implikasi Perceraian terhadap Hak dan Kewajiban Pasca Perceraian

 

Perceraian dalam perkawinan campuran tidak hanya mengakhiri hubungan hukum antara suami dan istri, tetapi juga menimbulkan sejumlah konsekuensi yang berdampak langsung pada kehidupan masing-masing pihak setelahnya. Beberapa faktor hukum lainnya yang dipicu oleh perpisahan dalam perkawinan campuran adalah sebagai berikut:

  1. Dampak yang berkenaan dengan aset kedua belah pihak setelah menikah;
  2. Dampak perkawinan antar warga negara terhadap hak asuh anak;
  3. Dampak terhadap anak dan hak keperdataan tiap-tiap pihak. 

Ketiga aspek ini menjadi titik krusial yang harus diperhatikan oleh para pihak yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Berikut uraian rinci berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku:

  • Pembagian Harta Bersama

Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Setelah perceraian, pembagiannya dilakukan berdasarkan kesepakatan atau keputusan pengadilan. 

Namun dalam perkawinan campuran, terdapat pembatasan kepemilikan harta oleh WNA. Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PPA), WNA tidak dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia. Maka dari itu, jika harta bersama berupa tanah, maka harus dijual atau dialihkan kepada WNI dalam jangka waktu satu tahun setelah perceraian. 

Dalam hal perkawinan campuran, pembagian harta bersama dapat menjadi rumit terutama jika tidak ada perjanjian perkawinan (prenuptial agreement). Tanpa perjanjian tersebut, harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai milik bersama dan harus dibagi secara adil. Akan tetapi, jika salah satu pihak adalah WNA, maka pembagian harta dapat melibatkan hukum asing dan memerlukan bantuan hukum lintas negara.

  • Hak Asuh Anak

Pasal 41 huruf a UU Perkawinan menyatakan bahwa akibat perceraian, baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak semata-mata demi kepentingan anak. Dalam praktiknya, pengadilan akan mempertimbangkan faktor usia, psikologis, dan kepentingan terbaik anak. 

Jika anak masih di bawah 12 tahun, biasanya hak asuh diberikan kepada ibu, kecuali terbukti sang ibu tidak layak secara moral atau ekonomi. Mengacu pada Pasal 4 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU 12/2006) diatur bahwa anak dari perkawinan campuran dapat diakui  sebagai warga negara Indonesia. Anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran pun diberikan kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun dan pada saat itu memiliki kebebasan untuk memilih kewarganegaraannya sendiri. 

Ketentuan tersebut bertujuan untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi anak dari perkawinan campuran, sekaligus mencegah situasi di mana anak menjadi tanpa kepastian kewarganegaraan atau memiliki kewarganegaraan ganda yang bersifat permanen. Oleh karenanya, sangat penting bagi pemerintah Indonesia dan negara yang terlibat dalam perkawinan campuran untuk berkolaborasi dalam rangka memastikan kenyamanan dan perlindungan bagi anak-anak dari perkawinan campuran ketika menentukan status kewarganegaraan mereka. 

  • Izin Tinggal bagi Pasangan Asing

Tak hanya soal harta dan hak asuh anak, perceraian juga memengaruhi status izin tinggal pasangan WNA. Dalam Pasal 140 ayat (1) huruf f Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal (Permenkumham 22/2023) diatur bahwa:

“Izin Tinggal Terbatas dapat dibatalkan dalam hal Orang Asing putus hubungan perkawinan karena perceraian dan/atau atas putusan pengadilan bagi Orang Asing yang memperoleh Izin Tinggal Terbatas karena kawin secara sah dengan warga negara Indonesia.”

Sementara itu, pada Pasal 141 ayat (1) huruf g Permenkumham 22/2023 mengatur bahwa Izin Tinggal Tetap yang dimiliki orang asing dapat dibatalkan jika terjadi perceraian, dikecualikan apabila perkawinan telah berusia 10 (sepuluh) tahun atau lebih. 

Perceraian dalam perkawinan campuran merupakan isu yang kompleks dan multidimensional. Selain menyangkut aspek emosional dan sosial, perceraian juga menimbulkan konsekuensi hukum yang signifikan. Oleh karena itu, penting bagi pasangan campuran untuk memahami dasar hukum, prosedur, dan implikasi perceraian secara menyeluruh.

Dalam menghadapi perceraian, konsultasi dengan ahli hukum keluarga dan advokat yang memahami hukum perdata internasional sangat disarankan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa hak dan kewajiban masing-masing pihak terlindungi, serta proses perceraian berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.***

Baca juga: Konsekuensi Hukum Pasca Perceraian, Apa Saja yang Wajib Dipenuhi?

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU 12/2006).
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama).
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PPA).
  • Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal (Permenkumham 22/2023).
  • Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma 1/2016).

Referensi:

  • Naratama, T., Dewi, A. T., Hukum, F., Dharmawangsa, U., Utara, S., Campuran, P., & Perdata, H. (2023). Perceraian Pada Perkawinan Campuran Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Perdata Internasional. Warta Dharmawangsa, 17, 1283–1294. (Diakses pada 13 Oktober 2025 pukul 13.02 WIB).
  • Alvandi, A., Putri, N. A., Sadiah, Y. Z., Yohanes, & Dienullah, M. D. (2024). Akibat Hukum Perceraian dalam Perkawinan Campuran Antar Warga Negara. Indonesian Journal of Law and Justice, 1(4), 11. (Diakses pada 13 Oktober 2025 pukul 13.12 WIB).