Perceraian bukanlah akhir dari tanggung jawab hukum antara mantan suami dan istri. Justru, setelah ikatan perkawinan diputus oleh pengadilan, muncul serangkaian kewajiban yang harus dipenuhi demi menjaga hak-hak pihak yang terikat. Setelah putusan pengadilan dijatuhkan, terdapat tanggung jawab baru yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, terutama dalam hal pemenuhan hak anak, perlindungan terhadap mantan pasangan, dan pembagian harta yang diperoleh selama masa perkawinan. Ketiga aspek ini bukan hanya menyangkut keadilan dalam persidangan, tetapi juga menyentuh nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan hubungan antar individu pasca perceraian.
Dalam praktiknya, banyak orang yang menganggap perceraian sebagai titik akhir dari segala urusan. Padahal, sistem hukum keluarga di Indonesia telah menetapkan kewajiban yang bersifat jangka panjang. Hak anak untuk tetap mendapatkan kasih sayang dan nafkah, hak mantan istri untuk memperoleh penghormatan dan kompensasi, serta hak kedua belah pihak atas pembagian aset secara adil, semuanya diatur secara rinci dan mengikat. SIP Law Firm akan mengurai tiga pilar utama pasca perceraian, yakni hak anak, kewajiban terhadap mantan pasangan, dan pembagian harta bersama agar pihak-pihak yang tengah menghadapi proses perceraian dapat memahami dan menjalani masa transisi ini dengan bijak, adil, dan bertanggung jawab.
Hak Anak yang Harus Dipenuhi Pasca Perceraian
Pada proses perceraian, anak merupakan pihak yang paling terdampak, namun kerap kali paling terabaikan. Ketika hubungan antara orang tua berakhir secara hukum, anak tetap membutuhkan stabilitas emosional, pengasuhan yang konsisten, dan jaminan atas kebutuhan hidupnya. Perceraian tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan hak-hak anak, karena mereka tetap berhak atas kasih sayang, perhatian, dan dukungan dari kedua orang tuanya. Tanggung jawab orang tua tidak berakhir di meja sidang, melainkan berlanjut dalam bentuk komitmen nyata terhadap tumbuh kembang anak.
Kebutuhan anak pasca perceraian tidak hanya bersifat fisik, seperti tempat tinggal dan makanan, tetapi juga mencakup aspek psikologis, pendidikan, dan sosial anak. Anak berhak merasa aman, didengar, dan dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut kehidupannya. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memastikan bahwa hak anak tetap menjadi prioritas utama dalam setiap tahapan perceraian. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi landasan dalam menetapkan hak asuh, pembagian waktu pengasuhan, dan pemberian nafkah agar anak tidak menjadi korban dari konflik orang tua yang berkepanjangan.
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) diatur bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Ketentuan dalam Pasal 41 UU Perkawinan menunjukkan bahwa negara menempatkan kepentingan anak sebagai prioritas utama dalam setiap proses perceraian. Kewajiban orang tua untuk tetap memelihara dan mendidik anak tidak terputus oleh status hukum mereka sebagai mantan pasangan. Ini mencerminkan prinsip universal dalam hukum keluarga bahwa anak tidak boleh menjadi korban dari konflik orang tua. Bahkan jika terjadi perselisihan mengenai pengasuhan, pengadilan memiliki kewenangan untuk menentukan penguasaan anak berdasarkan pertimbangan terbaik bagi anak, bukan semata-mata atas permintaan atau kepentingan orang tua.
Penegasan bahwa ayah bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak juga memperlihatkan struktur tanggung jawab yang jelas dalam hukum nasional. Namun, fleksibilitas dalam ketentuan ini, yakni bahwa ibu dapat ikut memikul biaya jika ayah tidak mampu, menunjukkan pendekatan realistis terhadap kondisi sosial-ekonomi keluarga pasca perceraian. Ini penting, karena dalam praktiknya, tidak semua ayah mampu atau bersedia memenuhi kewajiban tersebut. Dengan adanya intervensi pengadilan, hak anak atas kehidupan yang layak tetap dapat dijamin, meskipun kondisi orang tua tidak ideal.
Selain itu, bagian akhir pasal yang menyebutkan bahwa pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau kewajiban lain kepada bekas istri, memperluas cakupan perlindungan hukum terhadap perempuan pasca perceraian. Ini menjadi dasar bagi pemberian mut’ah, nafkah iddah, atau bentuk kompensasi lain yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan praktik peradilan agama. Artinya, Pasal 41 tidak hanya mengatur hak anak, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi perlindungan hak-hak perempuan yang sering kali terabaikan dalam proses perceraian.
Kewajiban Mantan Suami terhadap Mantan Istri
Dalam hukum Islam yang diakomodasi oleh Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), mantan suami memiliki kewajiban untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah kepada mantan istrinya. Mut’ah adalah pemberian sebagai bentuk penghormatan dan kompensasi atas perceraian, sedangkan nafkah iddah adalah nafkah selama masa tunggu (iddah) setelah perceraian. Hal ini diatur dalam Pasal 152 KHI.
Pemberian mut’ah dan nafkah iddah merupakan bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual yang diatur dalam hukum Islam. Pada praktiknya, besaran mut’ah dan nafkah iddah ditentukan oleh pengadilan berdasarkan kemampuan ekonomi suami dan kebutuhan istri. Namun, meskipun belum ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai batas waktu pembayaran nafkah mut’ah dan iddah, hakim umumnya menyarankan agar pembayaran dilakukan sebelum pengucapan ikrar talak. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa hak-hak mantan istri terpenuhi secara adil dan tidak tertunda setelah perceraian.
Bahkan dalam sejumlah kasus, pengucapan ikrar talak ditunda hingga 6 (enam) bulan untuk memberi waktu kepada suami menyelesaikan kewajiban tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 131 ayat (4) KHI yang menetapkan tenggat 6 (enam) bulan sebagai batas waktu pengucapan ikrar talak sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Baca juga: Hukum Penetapan Nafkah Pasca Perceraian
Kewajiban Pembagian Harta Bersama
Salah satu isu yang paling kompleks dan sering menimbulkan sengketa dalam perceraian adalah pembagian harta bersama. Ketika ikatan perkawinan berakhir, tidak hanya hubungan emosional yang terputus, tetapi juga keterikatan ekonomi yang telah dibangun selama masa pernikahan. Harta yang diperoleh bersama, baik berupa aset, pendapatan, maupun investasi tidak dapat serta-merta diklaim oleh salah satu pihak.
Pembagian harta bersama tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi memiliki aturan-aturan yang mengikat dan berdasarkan proses sidang di Pengadilan. Untuk itu, penting memahami prinsip keadilan dan proporsionalitas dalam membagi harta bersama, agar proses perceraian tidak meninggalkan ketimpangan atau ketidakpastian hukum bagi kedua belah pihak. Ditegaskan dalam Pasal 37 UU Perkawinan, bahwa:
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”
Dalam praktik peradilan agama, cara pembagian yang lazim diterapkan adalah dengan membagi rata, di mana masing-masing pihak, baik suami maupun istri, berhak atas setengah bagian dari total harta bersama. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 97 KHI yang menyatakan bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak atas seperdua dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Hal ini pun selaras dengan ketentuan dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yang menyatakan bahwa apabila tidak ada perjanjian kawin yang memisahkan harta, maka secara otomatis terjadi pencampuran harta antara suami dan istri sejak hari pertama perkawinan. Artinya, segala bentuk kekayaan yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai milik bersama, tanpa memandang atas nama siapa harta tersebut tercatat.
Dalam praktiknya, pengadilan akan menilai asal-usul harta, kontribusi masing-masing pihak, serta bukti kepemilikan untuk menentukan pembagian yang adil. Namun, apabila terdapat perjanjian kawin yang sah dan mengikat, maka pembagian harta akan mengikuti isi perjanjian tersebut, bukan prinsip umum 50:50. Oleh karena itu, penting bagi pasangan yang akan menikah maupun yang sedang menghadapi perceraian untuk memahami konsekuensi hukum dari status harta bersama, agar tidak terjadi ketimpangan atau sengketa yang berkepanjangan.***
Baca juga: Begini Aturan Tepat Terkait Hak Asuh Anak dalam Kasus Perceraian
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).
- Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Referensi:
- Adakah Batas Waktu Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah?. HukumOnline. (Diakses pada 9 September 2025 pukul 13.30 WIB).
- Melia, M., Abubakar, M., & Darmawan, D. (2019). Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 597K/Ag/2016). Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan, 7(3), 506. (Diakses pada 9 September 2025 pukul 14.02 WIB)
- Pembagian Harta Bersama Jika Terjadi Perceraian. HukumOnline. (Diakses pada 9 September 2025 pukul 14.20 WIB).