Laporan Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022 atau meningkat meningkat 15% dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Mayoritas kasus perpisahan pasangan suami istri pada tahun 2022 ini merupakan gugat cerai sebanyak 338.358 kasus atau sebanyak 75,21% dari total kasus perceraian yang terjadi. Sementara itu,  sebanyak 127.986 kasus atau 24,79% perceraian terjadi karena adanya cerai talak. Kasus perceraian dilatarbelakangi  masalah ekonomi, poligami, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Perceraian adalah putusnya ikatan suami dan istri dengan keputusan pengadilan melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.  Pengajuan gugatan cerai atau talak harus memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan, perceraian dapat dilakukan berdasarkan talak (perceraian yang diajukan oleh suami) atau gugat (perceraian yang diajukan oleh istri). Secara administrasi persyaratan mengajukan permohonan/gugatan perceraian adalah melampirkan buku nikah asli/duplikat asli, fotocopi buku nikah/duplikat nikah, fotocopi KTP/Kartu Keluarga, fotokopi akte kelahiran anak (jika memiliki anak), surat izin atasan (PNS), dan dilengkapi materai Rp 10.000.

Daftar ke Pengadilan

Setelah menyiapkan kelengkapan dokumen, pasangan yang ingin bercerai  harus mengikuti prosedur yang berlaku :

Pertama, mendaftarkan gugatan  ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri di wilayah kediaman pihak tergugat.

Kedua, membuat surat gugatan di layanan pusat bantuan hukum di pengadilan. Surat gugatan cerai ini harus mencantumkan alasan menggugat cerai agar bisa diterima pengadilan, seperti ada unsur penganiayaan, penelantaran, kekerasan, pertengkaran terus menerus, dan alasan lainnya.

Ketiga, menyiapkan biaya erceraian. Biaya selama masa sidang cerai wajib dibayar pihak yang mengajukan gugatan antara lain untuk biaya pendaftaran, biaya materai, biaya proses (ATK), biaya redaksi, dan biaya panggilan sidang. Biaya perceraian tergantung kedua belah pihak, jika salah satu pihak tidak pernah menanggapi surat panggilan persidangan, maka pihak pengadilan berhak membebankan biaya yang lebih besar.

Keempat, mengetahui tata cara dan proses persidangan. Saat proses persidangan berjalan, kedua belah pihak harus menghadiri persidangan untuk mengikuti mediasi dengan tujuan berdamai dan menarik gugat cerainya. Namun jika keputusan bercerai sudah bulat, maka akan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat perceraian. Jika pihak tergugat tidak pernah memenuhi panggilan sidang, pihak pengadilan dapat membuat amar putusan yang berisi pemutusan sah antara suami dan istri. Amar putusan dikirimkan kepada pihak tergugat dan jika tidak memberi tanggapan maka pihak pengadilan berhak membuat surat akta gugat cerai.

Kelima, menyiapkan saksi. Kehadiran saksi di pengadilan untuk memperkuat alasan yang diajukan terkait alasan perceraian. Pasal 1909 KUHPer menjelaskan, saksi adalah siapa saja yang memiliki pertalian keluarga sedarah dalam garis kesamping derajat kedua atau keluarga semenda dengan salah satu pihak, siapa saja yang memiliki pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis kesamping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak dan siapa saja yang karena pekerjaannya, kedudukannya, atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan sesuatu. Akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan padanya karena pekerjaan, kedudukan atau jabatannya tersebut.

Pasal 116C Undang-undang Nomor 1 tahun 2017 tentang Perkawinan menjelaskan, dalam perceraian yang diajukan oleh istri, Pengadilan Agama dapat memberikan kewenangan kepada penengah untuk melakukan upaya rekonsiliasi sebelum melanjutkan proses hukum perceraian. Dan Pasal 116 disebutkan, Pengadilan Agama berwenang untuk memutuskan mengenai hak asuh anak, kunjungan, dan nafkah anak sesuai dengan kepentingan dan kesejahteraan anak.

Baca Juga: Penggolongan Penerima Waris dalam Hukum Islam