Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum  kekeluargaan yang memegang peranan penting, bahkan menentukan  dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat.  Menurut Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Afidah Wahyuni, corak suatu negara Islam dan  kehidupan di satu negara atau daerah memberi pengaruh berbeda atas hukum  kewarisan yang disebabkan beberapa faktor:

Pertama, meskipun Islam telah mengatur dasar hukum  kewarisan secara terperinci dalam Al-Qur’an,  dalam hal pelaksanaannya terdapat masalah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan belum sempat dijelaskan  oleh Nabi, maka hukumnya menjadi terbuka. Kedua, hukum Islam, di mana hukum waris  ada di dalamnya, tergolong ilmu sosial. Oleh  karena itu memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat di antara para ahli hukum itu sendiri.

Dr H. Supardin, M.H.I dalam Buku Fikih Mawaris dan Hukum Kewarisan (Studi Analisis Perbandingan) berpendapat, hukum agama (hukum keIslaman) dan hukum nasional  mempunyai hubungan timbal balik dalam kehidupan  bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tetapi yang  paling tampak adalah bahwa hukum keIslaman telah lama  ada dalam hukum nasional (masuk dalam teori eksistensi).

Teori eksistensi memiliki arti:

  1. hukum Islam berada dalam hukum nasional  sebagai bagian yang integral darinya;
  2. adanya kemandiriannya yang diakui  berkekuatan hukum nasional dan sebagai  hukum nasional;
  3. norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional  Indonesia;
  4. sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.

Teori eksistensi inilah yang bertahan dan berlaku sejak adanya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia,  termasuk dalam pembagian harta warisan umat  Islam di Indonesia yang kini sebagai kompetensi absolut pada lembaga Peradilan Agama. Dalam hukum keIslaman terdapat penggolongan ahli waris yang berpatokan pada Kompilasi  Hukum Islam (KHI), dikenal dengan istilah kelompok-kelompok ahli waris.

Kelompok atau golongan ahli waris  yang dimaksudkan adalah: janda atau duda, ayah, ibu,  anak laki-laki, anak perempuan, kakek, nenek, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan paman.  “Apabila  semua golongan ahli waris tersebut ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: janda atau duda, ayah,  ibu, dan anak,” tulis Supardin.

Dasar penggolongan atau pengelompokan ahli waris menurut hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam khususnya pada pasal 171 sampai dengan pasal 214.

Inpres ini dikeluarkan dan disahkan oleh Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991. Penggolongan atau pengelompokan ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam termaktub dalam pasal 174, yakni berdasarkan hubungan darah dan hubungan perkawinan.

  1. Menurut hubungan darah, golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki[1]laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.  Sementara golongan perempuan adalah ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
  2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari, duda atau janda. 

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak  mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau  duda. Ahli waris ini tidak dapat dimahjub atau dihalangi  untuk memperoleh harta warisan dari pewaris oleh ahli  waris siapapun, kecuali jika mereka terbukti melanggar pasal 173 KHI.

Dalam Pasal 173 HKI  dinyatakan, Seorang terhalang menjadi ahli  waris apabila dengan putusan hakim yang telah  mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum  karena: dipersalahkan telah membunuh atau mencoba  membunuh atau menganiaya berat para pewaris dan dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan  pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun  penjara atau hukuman yang lebih berat.   Demikian penggolongan penerima waris sebagaimana diatur dalam hukum Islam.

Baca Juga: Benarkah Nikah Siri Melanggar Hukum?