Mata uang digital kripto (Cryptocurrency) merupakan salah satu inovasi dalam sektor keuangan dan mulai diperkenalkan di tahun 2009, terutama ketika mata uang ini dapat diperdagangkan. Mata uang kripto atau mata uang digital ini menggunakan sistem kriptografi dan dapat dipindahtangankan dari satu pihak ke pihak lain. 

Aset kripto kerap dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyembunyikan harta kekayaan yang diduga diperoleh dari aktivitas ilegal atau perbuatan pidana. Hal ini disebabkan oleh sulitnya pihak penegak hukum mengungkapkan identitas pelaku (anonimitas) transaksi yang menggunakan aset kripto. 

Di Indonesia, dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan memanfaatkan aset kripto terungkap dalam perkara penyebaran berita bohong yang menjerat Indra Kesuma alias ‘Indra Kenz’ dan Benny Tjokrosaputro yang terseret kasus pidana korupsi PT Asabri. Berdasarkan hasil penyelidikan, diketahui bahwa aset kripto yang dimiliki pelaku diduga berasal dari hasil tindak kejahatan, yang pada akhirnya dijadikan barang bukti.

Terkait dengan barang bukti tersebut, saat ini Indonesia belum memiliki aturan atau ketentuan khusus terkait penyitaan barang bukti aset kripto yang diperoleh dari hasil tindak kejahatan. Padahal jika kita berkaca pada kasus di atas, aset kripto memiliki potensi cukup tinggi sebagai instrumen tindak pidana pencucian uang. Di sisi lain, aparat penegak hukum memiliki keterbatasan dalam melakukan penetrasi terhadap terjadinya transaksi aset kripto. 

Banyak negara melarang peredaran mata uang kripto karena mereka sadar bahwa Cryptocurrency bisa menjadi menjadi sarana tindak pidana pencucian uang, sehingga menyulitkan penegakan kebijakan anti pencucian uang. Bank Indonesia secara tegas melarang penggunaan mata uang kripto sebagai alat pembayaran.

Di Indonesia, ketentuan mengenai penyitaan diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 KUHAP, penyitaan merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil, menyimpan, atau menahan benda bergerak dan/atau benda tidak bergerak, benda berwujud dan/atau benda tidak berwujud, dibawah penguasaan penyidik yang berwenang, untuk kepentingan pembuktian pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan. 

Namun KUHAP tidak secara tegas memberikan pengertian maupun pengelompokan barang bukti. Pasal 39 KUHAP menyebutkan benda-benda yang dapat dilakukan penyitaan, antara lain:

  1. Benda atau tagihan yang dimiliki tersangka atau terdakwa, baik sebagian atau seluruhnya, yang disangka berasal dari tindak pidana atau sebagian dari hasil tindak pidana dimaksud;
  2. Benda yang digunakan secara nyata untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  3. Benda yang digunakan untuk menghalangi penyidikan pada perkara tindak pidana;
  4. Benda yang khusus diadakan atau ditunjukkan melakukan tindak pidana;
  5. Benda lain yang mempunyai hubungan nyata dengan tindak pidana dimaksud.

Baca juga: Mengenal Central Bank Digital Currency dan Bagaimana Legalitasnya Indonesia

Penyitaan Aset Kripto, Tantangan dan Solusi 

Penyitaan aset kripto sebagai barang bukti dalam kasus tindak pidana masih jarang dilakukan. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang anonim dan sulit dilacak membuat aset ini menjadi populer bagi pelaku pidana menyembunyikan hasil kejahatannya. Transaksi kripto tidak memerlukan perantara (intermediary) dan seluruh data transaksi disimpan dalam blockchain—suatu sistem penyimpanan data berbentuk kode yang tidak dapat diubah. Karakteristik inilah yang menyebabkan aset kripto sebagai alat pencucian uang (money laundering) sulit dilacak, dan tidak mudah diretas oleh otoritas maupun pihak lain.  

Selama ini upaya untuk melacak aset dari hasil kejahatan menggunakan pendekatan “follow the money” atau mengikuti arus aliran uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat bahwa tantangan utama melacak aset kripto terletak pada kerahasiaan pengguna dan perlindungan transaksi yang diberikan oleh teknologi blockchain. Untuk mengatasi permasalahan ini, PPATK melakukan analisis terhadap pola arus dan nilai transaksi kripto serta mengidentifikasi hubungan antar pihak yang terlibat, baik menggunakan nama asli maupun nama samaran.  

Baca juga: Mengenal Data Cloud: Keamanan, Regulasi, dan Manfaatnya bagi Perusahaan

Penyidik dalam Pengamanan Aset Kripto  

Untuk menjawab tantangan tersebut, penyidik memiliki beberapa langkah strategis untuk mengamankan aset kripto yang diduga hasil dari kejahatan. Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), tindakan yang dapat dilakukan meliputi:  

  1. Penundaan transaksi: Mencegah pelaku memindahkan aset ke lokasi lain;  
  2. Pemblokiran aset: Menghindari perubahan bentuk aset menjadi barang bergerak atau tidak bergerak atas nama pihak lain, yang dapat mempersulit penelusuran.  

Langkah-langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa aset yang disinyalir hasil kejahatan tetap berada dalam jangkauan hukum hingga dapat digunakan sebagai barang bukti.  

Baca juga: Implementasi dan Regulasi Teknologi Blockchain di Indonesia

Kekosongan Hukum dalam Penyitaan Aset Kripto

Saat ini, UU TPPU belum mengatur secara khusus mekanisme penyitaan barang bukti yang ditunjukan dalam proses persidangan. Penentuan status barang yang disita masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Padahal, salah satu tujuan utama UU TPPU adalah memaksimalkan penelusuran aset yang disinyalir sebagai hasil kejahatan yang kemudian dirampas untuk negara atau pihak lain sesuai putusan hakim.  

Terobosan hukum diperlukan agar penuntut umum memiliki kewenangan untuk menyita aset 

tambahan yang ditunjukan sebagai barang bukti di persidangan. Pengaturan ini penting untuk menutupi celah hukum terkait pengembalian hasil kejahatan yang baru terungkap di tengah proses pembuktian.  

Dengan pengamanan aset yang dilakukan secara optimal, aset kripto yang disinyalir hasil tindak pidana dapat disita, dijadikan barang bukti, dan dirampas untuk negara atau pihak yang lain yang diatur undang-undang. Apabila penyitaan aset tersangka dan pelaku kejahatan lainnya dapat dilakukan secara maksimal, maka efektivitas penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, khususnya yang terkait dengan penyitaan terhadap aset kripto.

Baca juga: Ini Dasar Hukum Investasi Aset Kripto Indonesia

Author / Contributor:

SandyaksaZerico Sandyaksa, S.H., M.H.
Junior AssociateContact:

Mail       : zerico@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975