Arbitrase menjadi salah satu jalur penyelesaian sengketa yang banyak dijadikan pilihan, baik dalam perusahaan dalam negeri atau yang melibatkan negara lain dan perusahaan asing. Di Indonesia, aturan mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”). Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase dijelaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa melalui penunjukan arbiter yang disepakati pihak yang bersengketa. Arbiter adalah seseorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Arbiter akan memeriksa setiap aspek yang terlibat dalam sengketa, sebelum memberikan putusan akhir.

Pasal 5 ayat (1) UU Arbitrase menyebutkan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Sementara dalam Pasal 4 ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) disebutkan bahwa penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku. Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU Arbitrase memuat dengan jelas, yaitu:

  1. Nama dan alamat para pihak;
  2. Penunjukan kepada klausul atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
  3. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
  4. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
  5. Cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
  6. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Baca Juga: Penyelesaian Arbitrase Ad Hoc di Indonesia

Para pihak yang memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris dengan mencantumkan, yaitu:

  1. Masalah yang dipersengketakan;
  2. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
  3. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
  4. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
  5. Nama lengkap sekretaris;
  6. Jangka waktu penyelesaian sengketa;
  7. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
  8. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Baca Juga: Prosedur, Pendaftaran, Pemeriksaan dan Persidangan Arbitrase Indonesia

Dalam membuat perjanjian, para pihak bebas memilih dan menentukan isi serta janji yang dibuat selama tidak melanggar hukum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Mengenai pemilihan dua forum arbitrase dalam satu perjanjian dengan syarat-syarat tertentu, pemilihan forum arbitrase telah diatur dengan tegas dalam Pasal 34 UU Arbitrase yang memuat aturan, sebagai berikut:

  1. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
  2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan oleh para pihak.

Baca Juga: Perbedaan Penyelesaian Sengketa Lewat Pengadilan dan Arbitrase

UU Arbitrase memberikan kebebasan bagi para pihak dalam suatu perjanjian untuk memilih lembaga arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu antara lain melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”) dan International Chamber of Commerce Indonesia (“ICC Indonesia”). Klausula arbitrase dalam suatu perjanjian tertulis dapat memuat pilihan forum arbitrase yang akan digunakan, baik itu lembaga arbitrase nasional (BANI), lembaga arbitrase internasional (ICC Indonesia), maupun kedua-duanya dengan menentukan keadaan tertentu dalam perjanjian, yaitu lembaga arbitrase mana yang berlaku apabila timbul keadaan tertentu tersebut.

Baca Juga: Binding Opinion Arbitrase: Solusi Efektif untuk Pencegahan Sengketa Bisnis

 Daftar Hukum:

Referensi: