Penyalahgunaan narkotika menjadi salah satu masalah sosial yang serius di Indonesia. Dilansir dari Badan Narkotika Nasional (BNN), angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia sepanjang tahun 2023 terdapat 1,73% atau setara dengan 3,3 juta penduduk Indonesia dengan rentang usia 15-64 tahun. Penyalahgunaan narkotika tak hanya berdampak pada kesehatan individu, namun juga mengancam stabilitas sosial dan merusak generasi muda. Dalam menghadapi tantangan ini, peran hukum sangat penting untuk mengatur, mencegah, dan menangani permasalahan terkait narkotika.
Di Indonesia, regulasi terkait dengan narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”). Peran hukum dalam pencegahan narkotika bukan hanya sebatas pada pemberian sanksi pidana terhadap pelaku penyalahgunaan, namun juga upaya preventif seperti pembentukan kebijakan kesehatan masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan narkotika sejak dini.
Dalam Pasal 4 UU Narkotika, dijelaskan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan untuk:
- Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
- Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;
- Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan
- Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.
Baca juga: Aspek Hukum Klinik Kecantikan terhadap Pasien
Di sisi lain, penggunaan narkotika dalam dunia medis memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam pengobatan beberapa kondisi medis tertentu. Namun, terdapat pula aturan terkait penggunaan narkotika dalam dunia medis yang telah diatur secara ketat melalui Pasal 139 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) yang menyebutkan bahwa:
- Setiap orang yang memproduksi, mengadakan, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan obat yang mengandung narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.
- Penggunaan obat yang mengandung narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep tenaga medis dan dilarang untuk disalahgunakan.
- Produksi, pengadaan, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan obat yang mengandung narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peredaran narkotika untuk keperluan pengobatan pun harus memiliki izin edar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2021 (“PerBPOM 24/2021”). Obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi yang diedarkan harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. Diperlukan regulasi yang ketat untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan dan penggunaan yang salah atas obat-obat tertentu dan hal ini perlu dilakukan pengawasan secara optimal.
Untuk mencegah bentuk-bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan obat-obatan tertentu, pemerintah mengeluarkan pedoman melalui Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan (“PerBPOM 10/2019”). Kriteria obat-obat tertentu dalam Peraturan Badan ini terdiri atas obat atau bahan obat yang mengandung:
- Tramadol;
- Triheksifenidil;
- Klorpromazin;
- Amitriptilin;
- Haloperidol; dan
- Dekstrometorfan.
Baca juga: Peran Hukum dalam Penyebaran Vaksinasi Komplet di Indonesia
Tingginya angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia pada usia produktif membuat seluruh lini memiliki tanggung jawab dalam menekan angka tersebut, baik dari individu, masyarakat, hingga Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Regulasi yang telah ditetapkan tak hanya mengenai pencegahan penyalahgunaan narkotika, namun juga mengatasi persoalan yang timbul akibat hal tersebut.
Untuk itu, UU Kesehatan telah mengatur peranan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, sebagaimana dalam Pasal 77 ayat (1) huruf e UU Kesehatan, bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk menyediakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Pelayanan Kesehatan jiwa, baik di tingkat pertama, maupun tingkat lanjut di seluruh wilayah Indonesia, termasuk layanan untuk pasien narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Melalui aturan-aturan yang telah ditetapkan dan berbagai upaya ketat dalam pencegahan dan penanganan, diharapkan mampu menekan jumlah angka prevalensi penyalahgunaan di Indonesia. Hukum memiliki peranan besar sebagai alat dalam mencapai tujuan tersebut dan untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Perspektif Hukum Terkait Transplantasi Organ Tubuh Pada Mayat
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”).
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
- Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2021 (“PerBPOM 24/2021”).
- Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan (“PerBPOM 10/2019”).
Referensi:
- Angka Prevalensi Penyalahgunaan Narkotika. Badan Narkotika Nasional. (Diakses pada 29 November 2024 pukul 09.09 WIB).