Upaya hukum peninjauan kembali (PK) tidak dikenal dalam perkara arbitrase di Indonesia. Pemberlakuan ini juga sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016. Bahkan menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) hanya memperbolehkan upaya hukum banding, tanpa adanya upaya hukum peninjauan kembali.
Kondisi ini justru kontras dengan peristiwa munculnya putusan peninjauan kembali terhadap perkara arbitrase No. 33 PK/Pdt.Sus-ARB/2016 yang diajukan antara Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) melawan PT Hutama Karya (Persero). Hal ini tidak lazim karena undang-undang tidak mengatur tentang peninjauan kembali atas perkara arbitrase.
Pada pertimbangan Hakim Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali tersebut karena pertimbangan hukum Judex Juris pada tingkat kasasi bertentangan dengan amar putusannya, di mana Hakim Agung telah melakukan kekhilafan dan putusan tingkat banding mengandung alasan dan kesimpulan yang saling bertentangan.
Sehingga cukup alasan bagi MA untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon BANI dan membatalkan Putusan MA Nomor 26 B/Pdt.Sus-Arbt/2014 tanggal 28 November 2014.
Pandangan Hukum UU Arbitrase Terhadap PK
Menurut Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase secara tegas menyatakan bahwa pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dilakukan, apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
- Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
- Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
- Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa;
Bahkan ketentuan itu diperkuat kembali oleh Pasal 72 ayat (4) yang menyatakan bahwa tidak ada upaya hukum banding, kecuali terhadap putusan BANI yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri, upaya banding tersebut juga merupakan upaya hukum tingkat pertama dan terakhir.
Meskipun pengadilan tingkat pertama sudah menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, namun pihak pemohon tetap mengajukan upaya hukum banding. Dalam putusan bandingnya, MA melakukan kesalahan atau kekhilafan, yaitu menerima dan memeriksa permohonan banding dari pemohon. Padahal menurut Pasal 72 ayat (4), secara tegas menyatakan bahwa MA tidak memiliki kewenangan menerima apalagi sampai memeriksa permohonan banding dalam perkara pembatalan putusan arbitrase, karena memang upaya hukum tersebut sudah tidak ada.
Kesalahan kedua, dalam amar putusannya, MA telah keliru terhadap pertimbangan hukumnya. Berdasarkan putusan itu, BANI yang pada perkara sebelumnya menjadi termohon dalam pembatalan putusan arbitrase, mengajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan tingkat banding yang dinilai terdapat kekeliruan.
Baca juga: Perbedaan Pembuktian Arbitrase dan Litigasi
Tidak Bisa Dijadikan Yurisprudensi
Kendati MA sudah melakukan terobosan hukum, namun MA dinilai tetap menyalahi hukum formil yang telah ditetapkan. Atas kondisi itulah akhirnya Ketua MA mengeluarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 yang pada pokoknya menutup munculnya upaya hukum baik banding maupun peninjauan kembali atas perkara arbitrase. Apa yang telah dijelaskan dalam SEMA tersebut merupakan penegasan dari penjelasan Pasal 72 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 1999.
SEMA ini juga tidak bisa dijadikan yurisprudensi, dan keluarnya putusan tersebut merupakan pengecualian untuk kasus tertentu saja, dan tidak boleh diikuti oleh permohonan PK lainnya. Hal ini pula yang menjadi alasan kenapa Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA setelah putusan peninjauan kembali dikabulkan.
Pada perkara ini, Hakim Agung pada tingkat peninjauan kembali telah melakukan terobosan hukum dengan menabrak hukum formil dengan menerima dan mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh BANI. Karena jika putusan yang salah tersebut tetap dijalankan, maka tiga pilar yang menjadi tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum tidak bisa diraih.
Baca juga: Upaya Penyelesaian Sengketa Laut dengan Arbitrase Maritim
Kesimpulan
Upaya hukum peninjauan kembali (PK) dalam perkara arbitrase di Indonesia secara tegas tidak diakui dalam kerangka hukum yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kemudian diperkuat dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2016. Dalam kasus putusan peninjauan kembali terhadap perkara arbitrase No. 33 PK/Pdt.Sus-ARB/2016, MA melakukan terobosan hukum dengan melanggar ketentuan formil dengan menerima permohonan peninjauan kembali, yang seharusnya tidak diperkenankan dalam perkara arbitrase. Meskipun terobosan hukum tersebut diambil, keputusan tersebut tidak dapat dijadikan yurisprudensi dan bersifat pengecualian.
Baca juga: Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Sumber Hukum:
- UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Referensi: