Sejumlah insiden ketegangan maritim kerap terjadi, sebut saja persoalan yang terjadi di Laut China Selatan. Terdapat gesekan dalam aktivitas maritim yang dipicu adanya sengketa dan tumpang tindih klaim atas wilayah perairan. Adapun wilayah Laut China Selatan sebetulnya telah menjadi wilayah sengketa sejak lama. Klaim China atas kepemilikan wilayah perairan lebih dari 90 persen pun berdampak pada hilangnya perairan negara lain di kawasan tersebut yang meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam, hingga Brunei Darussalam. Persoalan terkait sengketa laut pun perlu dilihat berdasarkan hukum internasional yang mengacu pada United Nations Convention on teh Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 atau Konvensi Hukum Laut Internasional. Setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut, metode penyelesaian sengketa laut pun berkembang, salah satunya melalui arbitrase maritim.

Konvensi Hukum Laut berupaya mengatur secara komprehensif semua aspek persoalan sengketa laut, termasuk penetapan aturan tentang pembentukan baseline dan perairan internal. Sebagai implementasi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Pemerintah Indonesia pada tanggal 8 Agustus 1996 menetapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan”) yang kini dicabut dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (“UU Kelautan”). Pada Pasal 11 ayat (2) UU Kelautan disebutkan bahwa di laut lepas Pemerintah wajib:

  1. Memberantas kejahatan internasional;
  2. Memberantas siaran gelap;
  3. Melindungi kapal nasional, baik di bidang teknis, administratif, maupun sosial;
  4. Melakukan pengejaran seketika;
  5. Mencegah dan menanggulangi pencemaran laut dengan bekerja sama dengan negara atau lembaga internasional terkait; dan
  6. Berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan melalui forum pengelolaan perikanan regional dan internasional.

Pemberantasan kejahatan internasional di laut lepas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain. Untuk mencegah sengketa di wilayah laut, maka secara garis besar konvensi membagi laut ke dalam dua bagian zona maritim, yakni zona-zona yang berada di bawah dan di luar wilayah yurisdiksi nasional. Sementara itu, dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Kelautan mengatur batas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yakni sebagai berikut:

Wilayah perairan meliputi:

  1. Perairan pedalaman;
  2. Perairan kepulauan; dan
  3. Laut teritorial.

Wilayah yudidiksi meliputi:

  1. Zona tambahan;
  2. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia; dan
  3. Landas kontinen.

Baca juga: Perbedaan Pembuktian Arbitrase dan Litigasi

Dalam Konvensi Hukum Laut, Indonesia berhasil memperkenalkan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state). Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) (“UU 17/1985”). Dalam UU 17/1985 dijelaskan bahwa Konvensi menentukan bahwa setiap Negara Peserta Konvensi harus menyelesaikan suatu sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi melalui jalan damai sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Salah satu metode penyelesaian yang dilakukan negara yang bersengketa yakni dengan arbitrase. Namun, selain metode penyelesaian sengketa laut melalui arbitrase maritim, terdapat 4 (empat) pilihan penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan. Dalam Pasal 287 ayat (1) UNCLOS 1982, sengketa laut dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian:

  1. Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal for the Law of the Sea atau ITLOS);
  2. Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ);
  3. Mahkamah Arbitrase (Arbitral Tribunal);
  4. Mahkamah Arbitrase Khusus (Special Arbitral Tribunal).

Konvensi 1982 ini membentuk Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut sebagai Mahkamah Tetap (Standing tribunal) dan Arbitrase Umum serta Arbitrase Maritim Khusus sebagai Mahkamah Ad Hoc (Ad Hoc tribunal). Setiap sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi dapat diajukan untuk diselesaikan oleh salah satu dari keempat macam lembaga penyelesaian di atas, kecuali sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Bab XI Konvensi mengenai Kawasan Dasar Laut Internasional yang merupakan yurisdiksi mutlak Kamar Sengketa Dasar Laut. 

Baca juga: Bagaimana Aturan Penyelesaian Arbitrase dengan Dua Forum dalam Satu Perjanjian?

 Daftar Hukum:

Referensi: