Arbitrase telah menjadi salah satu opsi dalam penyelesaian sengketa pada sektor konstruksi. Sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR), arbitrase menawarkan solusi yang lebih efisien dan fleksibel dalam menghadapi perselisihan/sengketa bisnis.
Keunggulan ADR dibandingkan dengan Pengadilan meliputi: prosedur yang lebih cepat, hemat waktu dan biaya, keputusan yang bersifat non-yudisial, menjaga kerahasiaan, serta fleksibilitas dalam merancang syarat penyelesaian sengketa/perselisihan.
Selain itu, ADR juga menjadi pilihan ketika keputusan pengadilan tidak sepenuhnya bisa menyelesaikan persoalan atau ketika sengketa dapat dicegah sejak dini untuk mengurangi eskalasi konflik. Di banyak negara, baik yang maju maupun yang sedang berkembang, ADR telah ditempatkan sebagai langkah pertama dalam penyelesaian sengketa, sementara Pengadilan menjadi opsi terakhir.
Ada sejumlah bentuk penyelesaian perselisihan/sengketa di luar pengadilan diantaranya adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Metode-metode ini dapat dipilih untuk menyelesaikan sengketa, baik di sektor konstruksi maupun sektor-sektor usaha lainnya.
Arbitrase sebagai Solusi Sengketa Konstruksi
Penyelesaian sengketa konstruksi melalui arbitrase memiliki kesamaan dengan proses pada sektor usaha lainnya. Sengketa yang timbul pada proyek konstruksi sering kali menjadi penghambat utama yang mengakibatkan peningkatan biaya dan gangguan terhadap para pihak.
Arbitrase dipilih lantaran keunggulannya dalam menyelesaikan sengketa secara efektif dibandingkan dengan litigasi di pengadilan. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”), adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian tertulis antara pihak-pihak yang bersengketa. Perjanjian tersebut dapat disusun sebelum atau setelah sengketa terjadi.
Ruang lingkup perjanjian arbitrase, seperti diatur Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UU Arbitrase, mencakup sengketa di bidang perdagangan dan hak yang sepenuhnya dikuasai oleh pihak-pihak yang bersengketa sesuai hukum yang berlaku. Jika perselisihan/sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan arbitrase, maka jalur litigasi bisa menjadi alternatif pilihan.
Proses arbitrase dalam konstruksi umumnya dimulai dengan klausul arbitrase yang telah disepakati dalam kontrak kerja. Klausul ini menjadi landasan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa permasalahan mereka ke forum arbitrase jika negosiasi atau mediasi tidak membuahkan hasil.
Penyelesaian sengketa konstruksi melalui arbitrase sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UUJK”). Di mana Pasal 88 UUJK menyatakan bahwa penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi dapat dilakukan melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Jika kontrak kerja tidak mencantumkan cara penyelesaian sengketa, pihak yang bersengketa dapat membuat persetujuan tertulis mengenai metode yang akan digunakan. Pasal 47 Ayat (1) UUJK mengatur kontrak kerja konstruksi setidaknya harus mencakup:
- Uraian pekerjaan yang jelas dan rinci mengenai lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu pelaksanaan;
- Masa pertanggungan, yang mencakup jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa;
- Hak dan kewajiban, termasuk hak Pengguna Jasa untuk menerima hasil jasa konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang telah disepakati, serta hak Penyedia Jasa untuk menerima imbalan jasa dan kewajibannya melaksanakan layanan sesuai dengan perjanjian;
- Cara pembayaran, yang mengatur kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan, termasuk jaminan atas pembayaran tersebut;
- Penyelesaian perselisihan, yang mengatur tata cara penyelesaian akibat ketidaksepakatan;
- Jaminan atas risiko yang timbul serta tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan.
Dengan adanya mekanisme arbitrase dalam sektor konstruksi, pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan perselisihan secara lebih efektif dan efisien, tanpa harus melalui proses panjang di Pengadilan. Arbitrase memungkinkan tercapainya solusi yang lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan spesifik pada sektor konstruksi.
Baca juga: Perbedaan Penyelesaian Sengketa Lewat Pengadilan dan Arbitrase
Kesimpulan
Arbitrase dalam sektor konstruksi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang menawarkan kecepatan, kerahasiaan, dan fleksibilitas yang tidak dapat diberikan oleh pengadilan. Dengan berlandaskan pada perjanjian tertulis yang disusun oleh pihak-pihak yang bersengketa, arbitrase menjadi pilihan efektif untuk menghindari proses litigasi yang panjang dan mahal.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) mengatur dengan jelas bagaimana sengketa konstruksi dapat diselesaikan melalui berbagai metode ADR, termasuk arbitrase, yang telah terbukti mampu memberikan solusi yang adil dan efisien.
Baca juga: Peran dan Tanggung Jawab Penjamin Emisi Efek
Sumber Hukum:
- UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”)
- UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UUJK”)
Referensi: