Perkembangan teknologi keuangan dan investasi digital masa kini mendorong perubahan yang signifikan pada pola masyarakat dalam melakukan investasi sebagai tujuan untuk mengembangkan aset, memperoleh keuntungan finansial, atau bahkan hanya sekedar untuk mengatasi inflasi. Salah satu jenis investasi yang mulai booming di Indonesia sejak 2017, namun kian marak dipilih oleh masyarakat Indonesia adalah investasi aset kripto. Tak tanggung-tanggung, melesatnya pertumbuhan investor aset kripto di Indonesia mampu menjadikan Negara Indonesia berada di peringkat ke-3 dalam tingkat adopsi kripto global.
Adanya perkembangan tersebut tidak hanya mendatangkan peluang ekonomi baru, tetapi juga menuntut kehadiran regulasi yang mampu mengatur dan memberikan kepastian hukum, khususnya pada aspek perpajakan yang mana 82,4% sumber penerimaan negara terbesar di Indonesia berasal dari pajak. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (“PMK 50/2025”), pemerintah telah menetapkan pajak kripto sebagai kepatuhan hukum dan kontribusi investor terhadap negara. Diundangkannya PMK 50/2025 diharapkan mampu mendorong perkembangan investasi aset kripto di Indonesia secara lebih pesat, serta tetap tunduk pada sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan mekanisme perpajakan negara di Indonesia.
Latar Belakang Aset Kripto di Indonesia
Perkembangan aset kripto di Indonesia yang semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan, baik dari segi jumlah investor maupun intensitas transaksi. Tak tanggung-tanggung, tercatat hingga April 2025, peningkatan jumlah investor aset kripto di Indonesia mencapai 14 juta orang dan nilai transaksi kripto sepanjang tahun 2024 menembus Rp650,61 triliun atau meningkat sejumlah 335,91% dalam satu tahun. Kondisi tersebut yang menjadi bukti bahwa investasi aset kripto semakin diminati oleh investor di Indonesia.
Pasal 1 angka 7 Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan BAPPEBTI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka (“PerBappebti 13/2022”) menyatakan bahwa:
“Aset kripto (crypto asset) yang selanjutnya disebut aset kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan informasi teknologi, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.”
Di Indonesia, pada awalnya aset kripto dikenal sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka dan berada dibawah pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (“UU 10/2011”). Akan tetapi, peraturan tersebut belum menjelaskan secara eksplisit terkait aset kripto. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dengan diundangkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset) (“Permendag 99/2018”) menjadi awal mula dasar legalitas terkait aset kripto di Indonesia.
Adanya transformasi regulasi menjadikan aset kripto sebagai aset keuangan digital yang turut diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU 4/2023”) yang kemudian ditindaklanjuti dengan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024 tentang Peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan (“PP 49/2024”).
Atas dasar hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal, berupa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (“PMK 50/2025”) yang mulai diberlakukan sejak 1 Agustus 2025. Peraturan tersebut memberikan paradigma terkait pengenaan pajak aset kripto di Indonesia yang mana pada awalnya komoditas dikenakan pajak ganda, berupa PPN dan PPh, namun kini diberlakukan sistem pajak yang lebih spesifik, adil, dan efektif.
Baca juga: Penyitaan Aset Kripto Sebagai Barang Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
Kewajiban Pajak bagi Investor Kripto di Indonesia
Pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK 50/2025 menyatakan bahwa regulasi tersebut menyamakan aset kripto sebagai surat berharga, sehingga menghapus pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto. Akan tetapi, PMK 50/2025 mengenalkan adanya tarif pajak penghasilan (PPh) final yang berlaku pada transaksi di platform domestik, yakni sebesar 0,21% dari nilai transaksi aset kripto sebagaimana hal ini telah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) PMK 50/2025, sementara itu menurut Pasal 20 ayat (1) PMK 50/2025 mengatur bahwa pengenaan PPh pada platform luar negeri akan diberikan tarif 1% dari nilai transaksi aset kripto.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka investor aset kripto diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak berupa PPh sebesar 0,21% dari nilai transaksi aset kripto jika melakukan transaksi pada platform domestik, sedangkan akan dikenakan PPh sebesar 1% jika investor aset kripto melakukan transaksi di platform luar negeri. Pengenaan tarif tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan antara transaksi yang dilakukan di platform dalam negeri dengan transaksi yang dilakukan di platform luar negeri. Tidak bisa dipungkiri, perbedaan tersebut bertujuan agar investor lokal lebih mengedepankan platform kripto domestik yang telah terdaftar dan diawasi oleh Bappebti beserta instansi yang berkaitan.
Baca juga: Ini Dasar Hukum Investasi Aset Kripto Indonesia
Sanksi bagi Investor Kripto yang Tidak Mematuhi Kewajiban Pajak
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”) telah mengatur mengenai definisi wajib pajak sebagaimana berbunyi:
“Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Berdasarkan ketentuan di atas, investor kripto termasuk sebagai wajib pajak yang berkewajiban membayar pajak berupa PPh. Pada Pasal 9 ayat (1) UU KUP menjelaskan bahwa menteri keuangan memberikan jatuh tempo pembayaran paling lama 15 (lima belas) hari saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak. Ketika investor kripto telah melakukan pembayaran pajak, hal selanjutnya yang wajib dilakukan adalah dengan membuat laporan pajak tahunan. Jika tidak melaporkan pajak kripto, tentu akan menimbulkan konsekuensi hukum, berupa: denda administratif, bunga atas pajak terutang, bahkan sanksi pidana.
Akan tetapi, jika investor kripto tidak mematuhi kewajiban membayar pajak, maka sudah dipastikan akan dikenakan sanksi administrasi, bahkan sanksi pidana yang mana akan dijabarkan sebagai berikut:
- Sanksi Administrasi
Pemberlakuan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% per bulan bagi investor yang tidak kunjung membayar pajaknya sejak tanggal jatuh tempo sampai tanggal pembayaran sebagaimana hal ini telah diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) UU KUP.
- Sanksi Pidana
Penerapan sanksi pidana penjara minimal 6 (enam) bulan dengan maksimal 6 (enam) tahun, serta sanksi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 4 (empat) kali dari jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayarkan bagi investor yang melanggar ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU KUP, yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja:
- tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
- tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
- menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
- menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
- memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah- olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
- tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
- tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
- tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”
Bahkan, sanksi pidana sebagaimana telah dijelaskan di atas dapat ditambahkan 1 (satu) kali lagi, sehingga menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana jika investor tersebut melakukan tindak pidana tambahan sebelum lewat 1 tahun terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan sebagaimana hal ini telah diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU KUP.
Keberadaan PMK 50/2025 menjadi payung hukum bagi investor aset kripto, khususnya pada bidang perpajakan di Indonesia. Dasar hukum ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi investor aset kripto untuk memahami kewajiban hukum, mulai dari penghapusan PPN, pemberlakuan tarif PPh sesuai platform yang dipilih, sampai tahap prosedur pelaporan pajak. Regulasi ini pun menuntut investor untuk mematuhi ketentuan hukum dan transparan terhadap setiap transaksi yang dilakukan. Apabila investor tidak patuh terhadap hukum, maka akan ada konsekuensi hukum yang serius dan harus dijalankan, mulai dari sanksi administratif hingga sanksi pidana. ***
Baca juga: Jenis Pelanggaran dan Kewenangan Bursa Kripto
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU 4/2023”).
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (“UU 10/2011”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024 tentang Peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan (“PP 49/2024”).
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (“PMK 50/2025”).
- Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset) (“Permendag 99/2018”).
- Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan BAPPEBTI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka (“PerBappebti 13/2022”)
Referensi:
- Sejarah Cryptocurrency dan Perkembangannya di Indonesia. Samleinad Blog. (Diakses pada 10 September 2025 Pukul 10.10 WIB).
- Indonesia Peringkat 3 Adopsi Kripto Dunia, Ungguli AS. Kompas. (Diakses pada 10 September 2025 Pukul 10.23 WIB).
- 82,4% Sumber Pendapatan Negara berasal dari Pajak. Goodstats. (Diakses pada 10 September 2025 Pukul 10.35 WIB).
- Investor Kripto Tembus 14 Juta, Tokocrypto Soroti Pentingnya Literasi. Antaranews. (Diakses pada 10 September 2025 Pukul 11.00 WIB).
- OJK Catat Transaksi Kripto Melonjak 335,91 Persen pada 2024. Antaranews. (Diakses pada 10 September 2025 Pukul 11.17 WIB).
- Hukum Kripto Indonesia. Legalitas.org. (Diakses pada 11 September 2025 Pukul 11.00 WIB).
- Kepatuhan Pajak di Dunia Kripto: Apa Sanksinya Jika Anda Tidak Melapor? Pajakku. (Diakses pada 11 September 2025 Pukul 11.38 WIB).