Dalam beberapa dekade terakhir, bioprinting telah hadir sebagai teknologi kesehatan revolusioner dalam bidang kedokteran regeneratif dan rekayasa jaringan. Bioprinting adalah teknik yang menggunakan teknologi pencetakan tiga dimensi (3D) untuk mencetak struktur biologis, seperti jaringan dan organ. 

Organ buatan yang dihasilkan melalui bioprinting juga berfungsi untuk mempermudah proses penemuan obat, sehingga tidak melakukan uji coba dengan menggunakan hewan. Bahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat atau Food and Drug Administration (FDA) telah membuat aturan untuk tidak lagi mewajibkan uji coba produk melalui hewan. 

Meskipun penggunaan bioprinting belum dilakukan dalam praktik di dalam negeri, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terus mendorong pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis, yang di dalamnya mencakup teknologi genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik terkait organisme, jaringan, sel, biomolekul, dan teknologi biomedis lain, sebagaimana tertera dalam Pasal 338 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). 

Dengan kemampuan untuk mencetak organ dan jaringan biologis, bioprinting membuka peluang baru dalam penyediaan organ pengganti dan terapi medis. Bioprinting 3D mengacu pada penggunaan teknik seperti pencetakan 3D dalam fabrikasi jaringan, organ, dan bagian biomedis yang meniru arsitektur jaringan alami. Teknologi bioprinting melibatkan penggunaan bioink, yakni bahan yang digunakan untuk menghasilkan jaringan hidup rekayasa (buatan) yang terdiri dari sel-sel hidup dan bahan matriks untuk membentuk struktur yang diinginkan.

Namun, regulasi teknologi ini cukup menantang karena memerlukan kombinasi dan bentuk medis yang barudan bentuk-bentuk intervensi medis yang memungkinkan. Hal ini membuat lebih banyak pekerjaan yang diperlukan untuk memastikan keamanan dan kualitas perkembangan ilmiah, di antaranya (1) untuk menerjemahkan teknologi bioprinting ke dalam aplikasi klinis dan kemungkinan produk komersial. Saat ini, ketersediaan organ dan jaringan manusia yang disumbangkan untuk transplantasi dan pengobatan masih terbatas, (2) teknologi ini dapat mengatasi kebutuhan medis yang belum terpenuhi. 

Salah satu aplikasi utama bioprinting adalah pembuatan organ pengganti untuk transplantasi. Dengan mencetak organ yang sesuai dengan kebutuhan pasien, risiko penolakan imunologis dapat diminimalkan, sebab organ dapat dicetak dengan menggunakan sel-sel pasien sendiri. Di Indonesia, aturan terkait transplantasi diatur secara ketat untuk mencegah jual-beli organ, sebagaimana diatur dalam Pasal 326 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“PP 28/2024”) bahwa organ dan/atau jaringan tubuh dilarang dikomersialkan atau diperjualbelikan dengan alasan apa pun. 

Teknologi bioprinting di Indonesia masih jarang dilakukan, terutama jika organ yang dihasilkan digunakan untuk transplantasi yang bertujuan sebagai upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pasal 327 PP 28/2024 mengatur terkait dengan proses donor pada transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh yang terdiri atas:

  1. Donor hidup; dan
  2. Donor mati. 

Baca juga: Menavigasi Etika dan Regulasi Terapi Gen di Indonesia

Donor hidup merupakan donor yang organ dan/atau jaringannya diambil pada saat yang bersangkutan masih hidup atas persetujuan yang bersangkutan. Sementara donor mati merupakan donor yang organ/atau jaringannya diambil pada saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati oleh tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan dan harus atas persetujuan keluarganya secara tertulis. Namun, dalam Pasal 327 ayat (3) PP 28/2024 dijelaskan dalam hal donor mati semasa hidupnya telah menyatakan dirinya bersedia sebagai donor, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dapat dilakukan pada saat yang bersangkutan mati tanpa persetujuan keluarga. 

Selain itu, walau teknologi bioprinting membuka peluang besar dalam masa depan kedokteran, faktanya hal tersebut seiring dengan tantangan yang harus dihadapi, seperti:

  1. Kompleksitas biologi, sebab pencetakan organ memerlukan proses yang kompleks dan diperlukan pemahaman mendalam tentang struktur dan fungsi biologis;
  2. Regulasi dan etika, penggunaan bioprinting dalam kedokteran perlu regulasi yang ketat untuk memastikan keselamatan dan efektivitasnya;
  3. Biokompatibilitas, yakni bahan-bahan yang digunakan dalam bioink harus biokompatibel dan tidak menimbulkan reaksi negatif dalam tubuh;
  4. Ketersediaan biaya, bioprinting merupakan inovasi kedokteran yang memerlukan teknologi yang relatif mahal dan belum tersedia secara luas. 

Seiring dengan tantangan yang dihadapi, masa depan bioprinting sangat menjanjikan dalam hal pengobatan, proses uji coba obat, hingga transplantasi organ. Teknologi ini memberikan harapan baru bagi pasien yang membutuhkan transplantasi organ dan membuka gerbang bagi pengujian obat yang lebih aman dan efisien. Dengan kemajuan teknologi dan penelitian yang berkelanjutan, revolusi dalam dunia kedokteran akan mampu menyelamatkan lebih banyak nyawa. 

Baca juga: Mencegah Potensi Pelanggaran Hak Subjek Penelitian Kesehatan

Daftar Hukum:

Referensi: