Belum lama ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan adanya tren kenaikan yang signifikan terhadap penyalahgunaan ketamin di masyarakat. Ketamin merupakan jenis obat keras yang memiliki efek yang sama dengan obat jenis psikotropika dan digunakan sebagai obat bius. BPOM pun mengusulkan agar ketamin dapat masuk ke dalam jenis obat psikotropika dan bisa diawasi secara ketat terkait penggunaannya. Obat tersebut seharusnya diberikan berdasarkan resep obat dan memerlukan pengawasan dari tenaga medis.
Di Indonesia, regulasi terkait penggunaan obat-obatan dalam lingkup kesehatan telah diatur secara ketat melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Disebutkan dalam Pasal 139 ayat (1) UU Kesehatan bahwa setiap orang yang memproduksi, mengadakan, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan obat yang mengandung narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu. Penggunaan obat yang mengandung narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep tenaga medis dan dilarang untuk disalahgunakan, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 139 ayat (2) UU Kesehatan.
Psikotropika yang diedarkan dan digunakan di sejumlah fasilitas pelayanan kefarmasian pun wajib memiliki izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian (“PerBPOM 24/2021”) bahwa obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi yang diedarkan wajib memiliki izin edar dan harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
Pengawasan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian diutamakan untuk beberapa kegiatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) PerBPOM 24/2021 di antaranya:
- Pengadaan;
- Penerimaan;
- Penyimpanan;
- Penyerahan;
- Pengembalian;
- Pemusnahan; dan
- Pelaporan.
Baca juga: Etika Medis: Prinsip Moral dalam Praktik Kedokteran
Salah satu prinsip utama dalam peraturan terkait dengan penggunaan psikotropika adalah larangan penjualan dan penggunaan secara bebas. Larangan ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan psikotropika yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Penyalahgunaan psikotropika dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang berujung pada gangguan mental, kecanduan, hingga overdosis. Sebab itu, penjualan psikotropika hanya diperbolehkan melalui jalur resmi dan diperuntukkan untuk kebutuhan medis.
Bahkan, diatur secara ketat dalam Pasal 6 ayat (1) PerBPOM 24/2021 bahwa seluruh kegiatan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian wajib berada di bawah tanggung jawab seorang apoteker penanggung jawab. Apoteker penanggung jawab tersebut wajib memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) yang dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang wajib mengantongi Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian (SIPTTK).
Dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaan obat-obatan, BPOM sebagai lembaga yang memiliki otoritas wajib melakukan pemantauan, pemberian bimbingan teknis, serta pembinaan terhadap fasilitas pelayanan kefarmasian. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas berwenang untuk:
- Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan;
- Membuka dan meneliti kemasan;
- Memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau
- Mengambil gambar dan/atau foto seluruh atau sebagian fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam pengelolaan.
Baca juga: Tanggung Jawab Produsen dan Distributor Alat Kesehatan
Jika dari hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan pelanggaran pidana di bidang obat dan bahan obat, termasuk pidana di bidang narkotika, psikotropika, dan/atau prekursor farmasi, dilakukan penyidikan lebih lanjut oleh penyidik sesuai dengan ketentuan. Fasilitas pelayanan kefarmasian yang melanggar ketentuan dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
- Peringatan tertulis;
- Penghentian sementara kegiatan; dan/atau
- Pencabutan izin.
Lebih dalam mengenai aturan tindak lanjut dari pengawasan psikotropika diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif (“PerBPOM 9/2024”). Aturan tersebut memuat secara komprehensif terkait pengawasan terhadap psikotropika untuk mencegah terjadinya penyimpangan pada saat pemasukan, pembuatan, hingga peredaran, sehingga dapat dipastikan telah memenuhi standar atau persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. Hukum memegang peranan penting dalam melakukan pengendalian dan perlindungan masyarakat dari risiko penyimpangan terhadap penggunaan psikotropika.
Baca juga: Perlindungan Hukum bagi Pekerja Medis
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
- Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian (“PerBPOM 24/2021”).
- Peraturan BPOM Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif (“PerBPOM 2/2024”).
Referensi:
- Penyalahgunaan Melonjak, BPOM Usulkan Ketamin sebagai Golongan Psikotropika. Kompas.id. (Diakses pada 11 Desember 2024 pukul 11.39 WIB).