Indonesia sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menjadikan sektor pertambangan sebagai salah satu tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Namun, potensi besar ini juga menyimpan tantangan, terutama dalam mengatur dan mengawasi kegiatan eksploitasi agar tetap berada dalam koridor hukum. Legalitas perizinan usaha pertambangan menjadi fondasi untuk memastikan bahwa praktik eksploitasi berjalan secara bertanggung jawab, berkelanjutan, dan berpihak pada kepentingan nasional.
Untuk itulah, legalitas di sektor pertambangan dalam bentuk perizinan menjadi instrumen utama yang mengatur tata kelola pertambangan agar tidak menimbulkan kerugian ekologis, sosial, maupun fiskal. Dalam beberapa tahun terakhir, tata kelola perizinan pertambangan mengalami banyak transformasi. Pemerintah menerapkan pendekatan baru berbasis tingkat risiko dan memusatkan kewenangan agar proses lebih efisien, akuntabel, dan bebas dari tumpang tindih. SIP Law Firm akan mengulas berbagai bentuk izin usaha, prosedur pengajuannya, serta sanksi yang diberlakukan terhadap praktik pertambangan ilegal sebagai langkah menegakkan integritas dalam pengelolaan sumber daya alam.
Memahami Izin Pertambangan di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, regulasi mengenai perizinan di bidang pertambangan mengalami reformasi signifikan, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), serta harmonisasi regulasi lewat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”).
Legalitas di sektor pertambangan membutuhkan perbaikan dan peningkatan dari sisi keterbukaan, akuntabilitas, dan kepastian tenggat. Di sisi lain, lantaran merupakan kegiatan usaha berisiko tinggi, prinsip kehati-hatian dalam pemberian izin pertambangan tetap mesti dijalankan. Dalam Pasal 35 ayat (1) UU Minerba, ditegaskan bahwa setiap kegiatan usaha pertambangan hanya dapat dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Perizinan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, perlindungan lingkungan, serta jaminan terhadap kontribusi penerimaan negara bukan pajak dari sektor tambang.
Hal ini turut dipertegas dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 96/2021”) yang menjelaskan bahwa Perizinan Berusaha dilaksanakan melalui pemberian:
- Nomor Induk Berusaha;
- Sertifikat standar; dan/atau
- Izin.
Sementara itu, UU Cipta Kerja sebagai regulasi Omnibus Law mengubah beberapa ketentuan dalam UU Minerba, salah satu perubahan signifikan adalah penghapusan mekanisme Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintah daerah dan menggantikannya dengan sistem Perizinan Usaha Berbasis Risiko yang dikelola secara nasional melalui Online Single Submission (OSS). Tujuan utama dari penerapan sistem perizinan pertambangan melalui satu pintu melalui OSS adalah untuk menciptakan tata kelola perizinan yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Sistem ini dirancang untuk mengatasi berbagai tantangan dalam proses perizinan konvensional yang sebelumnya tersebar di banyak instansi dan sering kali menimbulkan tumpang tindih kewenangan serta ketidakpastian hukum.
Baca juga: Analisis Dampak Lingkungan Wajib Dipatuhi dalam Pertambangan
Jenis-jenis Perizinan Pertambangan
Berbagai jenis perizinan legalitas di sektor pertambangan kini diklasifikasikan berdasarkan tahapan kegiatan usaha dan karakteristik sub-sektor komoditasnya. Diatur dalam Pasal 6 ayat (4) PP 96/2021 disebutkan bahwa izin pertambangan terdiri atas:
- Izin Usaha Pertambangan (IUP)
IUP diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan/atau operasi produksi. IUP terdiri dari dua tahap:
- IUP Eksplorasi: untuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
- IUP Operasi Produksi: untuk kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan, dan penjualan hasil tambang.
- Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
Diberikan untuk kegiatan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN), biasanya kepada BUMN, BUMD, atau pihak swasta melalui lelang. IUPK juga mencakup:
- IUPK Eksplorasi
- IUPK Operasi Produksi
- IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian (peralihan dari Kontrak Karya dan PKP2B).
- IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian
Adalah izin usaha yang diberikan kepada perusahaan untuk membeli, mengangkut, dan menjual komoditas tambang Mineral atau Batubara.
- Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
Diberikan kepada perseorangan, kelompok masyarakat, atau koperasi rakyat untuk melakukan kegiatan pertambangan skala kecil di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Luas wilayah dan teknologi yang digunakan dibatasi.
- Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB)
Merupakan izin khusus untuk kegiatan penambangan batuan tertentu seperti tanah urug, batu kali, pasir, dan sejenisnya. SIPB diberikan kepada BUMD, koperasi, atau badan usaha swasta.
- Izin Penugasan
Yang dimaksud dengan izin penugasan adalah izin dalam rangka pengusahaan Mineral radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran.
- Izin Pengangkutan dan Penjualan
Diberikan kepada pihak yang melakukan kegiatan pengangkutan dan/atau penjualan hasil tambang, namun tidak terlibat langsung dalam kegiatan eksplorasi atau produksi. IPP hanya dapat diterbitkan jika sumber barang berasal dari pemegang izin resmi.
- Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP)
Diperlukan bagi perusahaan yang menyediakan jasa teknis pertambangan seperti pengeboran, reklamasi, studi kelayakan, dan pengangkutan. IUJP wajib dimiliki oleh kontraktor yang bekerja sama dengan pemegang IUP atau IUPK.
- IUP untuk Penjualan.
Izin ini diberikan kepada pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual hasil uji coba produksi sebelum memperoleh IUP Operasi Produksi. Biasanya berlaku terbatas dan bersifat sementara.
Baca juga: Bagaimana Penyelesaian Sengketa Arbitrase dalam Industri Pertambangan?
Prosedur Persyaratan Perizinan dan Sanksi atas Kegiatan Tanpa Izin
Prosedur perizinan usaha pertambangan di Indonesia dimulai dengan penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Setelah wilayah ditetapkan, pemohon wajib mengajukan permohonan izin sesuai dengan jenis kegiatan dan komoditas tambang yang akan dikelola.
Permohonan ini dilakukan melalui sistem Online Single Submission (OSS) dengan melampirkan dokumen teknis seperti studi kelayakan, dokumen lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL), rencana reklamasi dan pascatambang, serta rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB). Seluruh dokumen tersebut akan dievaluasi oleh kementerian teknis untuk memastikan kesesuaian dengan ketentuan hukum dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya alam. Jika seluruh persyaratan terpenuhi, izin akan diterbitkan dalam bentuk IUP, IUPK, SIPB, atau jenis izin lainnya sesuai klasifikasi kegiatan.
Di sisi lain, kegiatan pertambangan yang dilakukan tanpa izin resmi atau dikenal sebagai Pertambangan Tanpa Izin (PETI) merupakan pelanggaran serius terhadap hukum nasional. PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial. Sementara dari sisi regulasi, PETI melanggar Pasal 158 UU 3/2020 yang menegaskan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
PETI tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan dampak multidimensi, seperti merusak lingkungan karena pengabaian terhadap kewajiban seperti reklamasi pascatambang, konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, hingga mengurangi penerimaan negara dari sektor pertambangan yang akan merugikan daerah dari sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di tengah dinamika regulasi, risiko lingkungan, dan potensi konflik kepentingan, kehadiran perizinan yang sah dan sesuai ketentuan menjadi instrumen utama untuk melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan pelaku usaha itu sendiri.
Namun, kompleksitas regulasi yang terus berkembang menuntut pemahaman yang mendalam dan penerjemahan hukum ke dalam praktik bisnis. Di sinilah peran ahli hukum menjadi sangat penting. Mereka tidak hanya menjembatani antara norma hukum dan kebutuhan operasional, tetapi juga memberikan kepastian hukum, mitigasi risiko, serta membantu pelaku usaha merancang strategi kepatuhan yang adaptif dan berkelanjutan. Dalam sektor yang padat modal dan rawan sengketa seperti pertambangan, kolaborasi dengan profesional hukum bukanlah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan.***
Baca juga: Bagaimana Tanggung Jawab Industri Pertambangan terhadap Pencemaran Lingkungan?
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (“UU Minerba”)
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (“UU 3/2020”)
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 96/2021”).
Referensi:
- Perlu Ada Kepastian Waktu dalam Proses Izin Usaha Tambang. Kompas.id (Diakses pada 4 Juli 2025 pukul 13.00 WIB).
- Pertambangan Tanpa Izin Perlu Menjadi Perhatian Bersama. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (Diakses pada 4 Juli 2025 pukul 13.59 WIB).
- Suhendra, A., Kamarullah, K., & Nafsiatun, N. (2023). Penegakan Hukum Terhadap Pertambangan Emas Tanpa Izin (Peti) Sebagai Upaya Pengendalian Dampak Lingkungan Di Kecamatan Sintang Kabupaten Sintang. EnviroScienteae, 19(3), 55.