Industri pertambangan memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Namun, di balik manfaat ekonomi yang dihasilkan, industri ini juga membawa dampak negatif terhadap lingkungan, mulai dari pencemaran hingga kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, regulasi yang ketat diperlukan untuk memastikan tanggung jawab lingkungan yang dijalankan oleh setiap pelaku industri pertambangan.

Kasus kerusakan lingkungan akibat penambangan timah yang merugikan negara hingga mencapai Rp271 triliun beberapa waktu lalu menjadi contoh konkret tata kelola pertambangan yang buruk. Perusahaan tambang pun dituntut untuk menerapkan prinsip keberlanjutan di berbagai aspek operasionalnya untuk memastikan bahwa kegiatan eksplorasi dan produksinya bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, namun juga bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.

Kerangka Hukum Terkait Tanggung Jawab Lingkungan dalam Industri Pertambangan

Di Indonesia, kerangka hukum mengenai tanggung jawab pencemaran lingkungan dalam industri pertambangan diatur dalam 2 (dua) aturan utama, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”) serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”).

Antara hukum pertambangan dan hukum lingkungan memiliki hubungan yang erat, sebab setiap usaha pertambangan—baik yang berkaitan dengan pertambangan umum, maupun pertambangan minyak dan gas bumi diwajibkan untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 

Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup menjadi indikator utama dalam menentukan kelayakan suatu aktivitas pertambangan. Jika suatu wilayah tidak mampu menanggung beban akibat eksploitasi, maka izin usaha seharusnya tidak diberikan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki peran penting dalam mengawasi agar industri tambang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga bertanggung jawab terhadap ekologi dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

UU PPLH memberikan dasar hukum umum mengenai prinsip tanggung jawab lingkungan bagi seluruh pelaku usaha dan/atau kegiatan. Dalam Pasal 1 ayat (14) UU PPLH dijelaskan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 

Lebih lanjut, UU PPLH ini memperkenalkan prinsip “pollution pays principle” yakni pelaku pencemaran bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability atas kerusakan atau pencemaran yang ditimbulkan. Ini berarti tanggung jawab tetap dibebankan kepada pelaku usaha meskipun mencemaran terjadi tanpa adanya unsur kesalahan atau pun kelalaian. Prinsip ini merupakan salah satu prinsip yang berasal dari praktik internasional dan pada akhirnya diakui dalam pengadilan Indonesia. 

Sementara itu, UU Minerba sebagai regulasi sektor spesifik memberikan ketentuan lebih rinci mengenai kewajiban pelaku usaha pertambangan terhadap lingkungan. Aktivitas tambang berpengaruh besar terhadap keseimbangan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga setiap pelaku usaha yang ingin melaksanakan aktivitas tambang perlu mendapat izin usaha dari Pemerintah Pusat.

Pada Pasal 35 ayat (2) UU Minerba disebutkan bahwa izin usaha bisa didapatkan oleh pelaku usaha jika telah memiliki nomor induk berusaha (NIB), sertifikat standar dan/atau izin. Dalam hal ini, izin tersebut terdiri atas IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, izin penugasan, izin pengangkutan dan penjualan, IUJP, serta IUP untuk penjualan. 

Sanksi Pelanggaran Pencemaran Lingkungan Akibat Aktivitas Tambang

Kepemilikan NIB, sertifikat standar, serta izin bagi pelaku usaha yang ingin melaksanakan aktivitas tambang dimaksudkan agar pelaksanaan aktivitas tambang tetap sesuai standar dengan berpegang teguh pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan dapat diawasi secara maksimal oleh pemerintah. Meskipun pelaksanaan aktivitas tambang telah memenuhi persyaratan maupun mematuhi peraturan perundang-undangan, potensi pencemaran lingkungan tetap dapat terjadi dikarenakan adanya risiko operasional, kelalaian manusia, bencana alam, maupun kegagalan teknologi yang tidak dapat diprediksi. 

Maka dari itu, dalam Pasal 76 ayat (2) UU PPLH mengatur terkait sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada pelaku pencemaran lingkungan, diantaranya:

    1. Teguran tertulis;
    2. Paksaan pemerintah;
    3. Pembekuan izin lingkungan; atau
    4. Pencabutan izin lingkungan

Tidak hanya UU PPLH, UU Minerba pun memberikan sanksi administratif bagi pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk melakukan penjualan atas pelanggaran yang berkaitan dengan kegiatan operasi produksi. Sanksi tersebut dapat berupa:

    1. Peringatan tertulis;
    2. Denda;
    3. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau 
    4. Pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk penjualan

Selain sanksi administratif, sanksi pidana juga dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana pada aktivitas tambang yang menyebabkan pencemaran lingkungan, salah satunya mengenai pembuangan limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin akan dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) hingga Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) sebagaimana tertera dalam Pasal 104 UU PPLH. 

Apabila aktivitas pertambangan merugikan pihak lain, maka pihak yang terkena dampak dapat mengajukan gugatan perdata sebagaimana tertera dalam Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU 3/2020”) yang berbunyi:

“Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:

    1. Memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
    2. Mengajukan gugatan melalui pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.” 

Baca juga: Analisis Dampak Lingkungan Wajib Dipatuhi dalam Pertambangan

Peran Pemerintah dalam Meminimalisir Dampak Lingkungan yang Ditimbulkan dari Aktivitas Tambang

Pada aktivitas tambang, pemerintah berperan sebagai pengendali dan pengawas pelaksanaan aktivitas tambang. Untuk meminimalisir dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas tambang, pemerintah dapat melaksanakan beberapa tindakan, diantaranya: membuat regulasi pertambangan dan melakukan pembenahan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan amanat dalam UUD 1945, memberi izin usaha pertambangan, bertindak sebagai pengawas terhadap kepatuhan perusahaan tambang terhadap regulasi, serta penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, pemerintah perlu bertindak secara berhati-hati dalam memastikan aktivitas pertambangan berjalan tanpa melanggar peraturan yang berlaku dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi pihak lain.

Tanggung jawab industri pertambangan terhadap pencemaran lingkungan telah diatur dalam UU PPLH dan UU Minerba. Peraturan tersebut mengatur mengenai kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk melestarikan, melindungi, dan mengelola lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam aktivitas pertambangan, maka pelaku dapat dikenakan sanksi administratif, sanksi pidana, maupun sanksi perdata. Pada aktivitas pertambangan, pemerintah memegang kendali yang dapat diwujudkan melalui pembuatan regulasi, pemberi izin usaha pertambangan, pengawas, serta penegak hukum terhadap pelanggaran pengelolaan aktivitas pertambangan. ***

Baca juga: Bagaimana Penyelesaian Sengketa Arbitrase dalam Industri Pertambangan?

Daftar Hukum:

Referensi:

  • Harjanti, W. (2006). Upaya Alternatif Bagi Pemerintah Indonesia dalam Mengurangi Dampak Negatif Kegiatan Pertambangan di Indonesia. Risalah Hukum, Edisi No. 3, Hal. 44-51. (Diakses pada 22 April 2025 Pukul 13.10 WIB).
  • Butar, F. B. (2010). Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan. Yuridika, 25(2), 155. (Diakses pada 22 April 2025 Pukul 13.20 WIB).
  • Kerusakan Lingkungan Tambang Timah Senilai Rp271 Triliun, Haruskah Diganti?. Kompas.id. (Diakses pada 22 April 2025 Pukul 11.25 WIB).
  • Perusahaan Tambang Harus Terapkan Prinsip Keberlanjutan, Ini Aspek-aspeknya! Kompas.com. (Diakses pada 22 April 2025 Pukul 11.29 WIB).
  • Polluter Pays Principle, Asal Muasal Pengaturan dan Penerapannya di Indonesia. Hukumonline. (Diakses pada 22 April 2025 Pukul 13.19 WIB).