Sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam berbagai aktivitas perdagangan global, baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta, termasuk menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia/ WTO (World Trade Organization), maka hubungan bisnis antara lembaga pemerintah maupun swasta Indonesia dengan pihak asing yang diikat dalam perjanjian bisnis dewasa ini semakin masif dan marak. 

Dokumen perjanjian tersebut umumnya dibuat dalam 2 (dua) versi, yaitu bahasa asing salah satu pihak dalam perjanjian dan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, pada kalanya perjanjian tersebut hanya dibuat dalam satu versi bahasa, yaitu dalam bahasa asing tanpa dibuat dalam versi Bahasa Indonesia.

Apabila dalam pelaksanaan perjanjian itu di kemudian hari terdapat cedera janji atau wanprestasi oleh salah satu pihak, maka sering ketiadaan dokumen perjanjian dalam versi Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alasan salah satu pihak untuk mengajukan gugatan pembatalan perjanjian di Pengadilan Indonesia dengan mendasarkan pada ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”). Pasal 31 UU 24/2009 mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia (pemerintah maupun swasta) dengan pihak asing disamping tetap dapat dibuat dalam versi Bahasa asingnya.

Menyikapi gugatan pembatalan perjanjian tersebut, beberapa putusan Pengadilan Indonesia menyatakan perjanjian tersebut batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetapi di putusan lain dinyatakan perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat para pihak. Hal tersebut menunjukkan belum adanya kesatuan penerapan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum. 

Di dalam rapat pleno Kamar Mahkamah Agung yang diadakan setiap tahun, perbedaan pandangan tersebut diupayakan diatasi melalui rumusan hukum kamar Perdata Mahkamah Agung yang dalam rapat pleno kamar terbaru/terakhir pada tahun 2023 lalu sebagaimana termuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA 3/2023”).

Pada rumusan Kamar Perdata menyepakati pada pokoknya bahwa perjanjian antara pihak asing dengan pihak Indonesia yang hanya terdapat versi bahasa asingnya tanpa ada terjemahan Bahasa Indonesia bukan merupakan penyebab kebatalan perjanjian, kecuali dapat dibuktikan bahwa tidak adanya terjemahan Bahasa Indonesia karena itikad tidak baik salah satu pihak.

Rumusan Hukum kesepakatan kamar Mahkamah Agung tersebut di satu sisi dipandang menyelesaikan masalah karena memberikan kesatuan pendapat, akan tetapi di sisi lain menimbulkan pertanyaan mengenai bertentangan tidaknya rumusan kamar tersebut dengan Pasal 31 UU 24/2009 dan makna itikad baik dalam pembuatan perjanjian yang perlu didiskusikan lebih lanjut.    

Syarat-Syarat Perjanjian

Berdasarkan ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), perjanjian merupakan perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau pihak lain atau lebih. Sesuai dengan azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, pada dasarnya para pihak dalam perjanjian sepanjang didasari kesukarelaan bersama bebas menentukan apa yang menjadi isi perjanjian maupun bentuk perjanjian. 

Namun demikian ternyata kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian tersebut tidak mutlak sepenuhnya. Terdapat batasan-batasan yang diatur didalam KUH Perdata itu sendiri maupun dalam peraturan perundang-undangan lain yang membatasi kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian.

Apabila batasan-batasan tersebut dilanggar, maka berakibat perjanjian tersebut menjadi tidak sah, sehingga batal demi hukum (null and void) ataupun dibatalkan (voidable), sehingga berbagai klausula hak dan kewajiban yang diatur dalam perjanjian menjadi tidak mengikat bagi para pihak dan tidak wajib dilaksanakan oleh salah satu atau lebih pihak. Hal ini disebabkan ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata telah menegaskan bahwa hanya perjanjian yang sah yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Pasal 1320 KUHPerdata telah mengatur syarat-syarat sahnya perjanjian, yaitu:

  1. Kesepakatan para pihak.
  2. Kecakapan para pihak.
  3. Obyek tertentu, dan
  4. Klausula yang halal.

KUHPerdata mengatur lebih lanjut dalam Pasal 1321 bahwa syarat kesepakatan dalam perjanjian hanya diakui apabila kesepakatan satu atau lebih pihak untuk membuat dan menandatangani perjanjian tersebut tidak didasari oleh adanya kekhilafan, paksaan dan/atau penipuan yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 1322–1328 KUHPerdata, sedangkan untuk syarat kecakapan mewajibkan apabila orang perorangan yang membuat perjanjian, maka ia harus telah berusia dewasa, bukan kategori anak. 

Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang dianggap dewasa apabila ia telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau pernah menikah. Tetapi dalam perkembangan terbaru pengaturan usia dewasa dalam lapangan hukum perdata dengan mendasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Undang-Undang Peraturan Jabatan Notaris, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (Buku Terlampir) (“SEMA 7/2012”), Mahkamah Agung menetapkan bahwa seseorang dianggap dewasa dalam ranah hukum perdata apabila telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah.

Sedangkan kecakapan dalam konteks pihak yang membuat perjanjian bukan orang perseorangan tetapi badan hukum (recht person) mempersyaratkan bahwa pihak yang mewakili badan hukum dalam perjanjian adalah pihak yang oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur badan hukum tersebut berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam perjanjian. 

Sebagai contoh, apabila badan hukum tersebut berupa Perseroan Terbatas (PT), maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”), pihak yang berwenang mewakili perseroan membuat perjanjian adalah direksi yang dalam perbuatan hukum tertentu wajib memperoleh persetujuan dari organ perseroan lainnya seperti Komisaris dan/atau Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya.

Syarat ketiga berupa objek tertentu sesuai ketentuan Pasal 1322 KUHPerdata mempersyaratkan bahwa barang yang menjadi objek perjanjian harus jelas atau tertentu dan barang tersebut harus merupakan barang yang dapat diperdagangkan. Syarat keempat klausula (sebab) yang halal merujuk pada tujuan atau isi perjanjian atau prestasi/perbuatan para pihak dalam perjanjian yang menurut Pasal 1337 KUHPerdata tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan yang baik, dan ketertiban umum. 

Secara teori, tidak terpenuhinya syarat kesepakatan dan syarat kecakapan yang merupakan syarat subjektif mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable), yaitu dianggap tidak ada setelah dinyatakan batal, tetapi perjanjian dianggap pernah ada sejak dibuat hingga dibatalkan. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat objek tertentu dan sebab yang tidak halal yang merupakan syarat objektif mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) yaitu dianggap tidak pernah ada perjanjian dari sejak pembuatan perjanjian atau sejak kapanpun sampai kapan pun.

Namun demikian, jika dalam praktiknya tidak terpenuhinya salah satu atau lebih syarat di atas yang mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan atau batal demi hukum, tidak dengan sendirinya atau secara otomatis perjanjian batal, akan tetapi harus ada campur tangan pengadilan yaitu berupa putusan pengadilan yang menyatakan perjanjian tersebut batal atau batal demi hukum.

Baca juga: Bagaimana Aturan Penyelesaian Arbitrase dengan Dua Forum dalam Satu Perjanjian?

Perjanjian Juga Wajib Memenuhi Syarat Formalitas Tertentu

Dari syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata di atas, ternyata tidak dipersyaratkan bahwa perjanjian harus dibuat secara tertulis dan tidak pula terdapat syarat bahwa perjanjian harus dibuat di hadapan saksi, sehingga perjanjian yang dibuat tidak tertulis atau yang hanya kesepakatan secara lisan tanpa ada formalitas tertulis tetap sah sesuai Pasal 1320 KUHPerdata.

Akan tetapi, peraturan perundang-undangan lain maupun KUHPerdata sendiri juga mengatur bahwa di luar keempat syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, keabsahan perjanjian tertentu juga harus memenuhi persyaratan kelima yaitu memenuhi formalitas tertentu dalam bentuk tertulis atau harus dibuat dalam bentuk tertulis.

Sebagaimana ketentuan Pasal 1851 KUHPerdata yang mewajibkan agar perjanjian perdamaian atau kesepakatan perdamaian yang mengakhiri sengketa dibuat secara tertulis, ketentuan yang sama ditegaskan oleh Mahkamah Agung RI dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Peraturan MA 1/2016”) yang mewajibkan agar kesepakatan perdamaian hasil mediasi dibuat secara tertulis.

Contoh lain adalah Pasal 1682 KUHPerdata yang menggariskan ketentuan bahwa Akta Hibah wajib dibuat secara tertulis, begitu pula dalam UU PT yang mensyaratkan bahwa perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dibuat secara tertulis dihadapan Notaris. Persyaratan formal bahwa perjanjian wajib dibuat secara tertulis juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang mengatur bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) wajib dibuat dalam bentuk tertulis dan apabila perjanjian tersebut tidak dibuat dalam bentuk tertulis mengakibatkan perjanjian tidak sah dan hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu tidak Tertentu (PKWTT), sehingga status pekerja menjadi karyawan/pegawai tetap.

Dengan demikian, selain wajib memenuhi keempat syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian juga wajib memenuhi syarat formalitas tertentu yang diatur dalam Undang-undang, di antaranya wajib dibuat secara tertulis dengan ancaman kebatalan atas pelanggarannya.

Baca juga: Penyelesaian Sengketa Perjanjian Lisensi Melalui Jalur Litigasi dan Non Litigasi

Perjanjian Pihak Indonesia dengan Pihak Asing Juga Wajib Memenuhi Syarat Formalitas Menggunakan Versi Bahasa Indonesia di samping Bahasa Asing

Bagaimanakah dengan persyaratan formal dalam Pasal 31 UU 24/2009 bahwa perjanjian wajib dibuat dalam versi Bahasa Indonesia dan/atau terdapat pula versi Bahasa asing?

Adakah ketiadaan naskah atau dokumen perjanjian dalam versi Bahasa Indonesia merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tersebut dan berakibat perjanjian menjadi batal?

Pasal 31 Ayat (1) UU 24/2009 menggunakan kata “wajib” dengan rumusan lengkap “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepakatan atau perjanjian yang melibatkan Lembaga Negara, Instansi Pemerintahan RI, Lembaga Swasta Indonesia atau Perorangan Warga Negara Indonesia”, dengan demikian penggunaan Bahasa Indonesia merupakan kewajiban yang bersifat imperatif yang seharusnya dipatuhi.

Meskipun menegaskan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai kewajiban, namun UU 24/2009 tidak memuat konsekuensi hukum atas pelanggarannya, apakah keabsahan perjanjian tersebut menjadi batal atau tidak. Tidak adanya konsekuensi atau akibat hukum atas pelanggaran tersebut, ditafsirkan oleh Mahkamah Agung melalui SEMA 3/2023 bahwa ketiadaan versi Bahasa Indonesia dalam perjanjian semacam itu tidak menyebabkan perjanjian menjadi batal.

Perjanjian antara Instansi pemerintah maupun lembaga atau perseorangan swasta Indonesia dengan pihak asing wajib memenuhi syarat formalitas menggunakan versi Bahasa Indonesia dan versi Bahasa Asing sebagaimana ketentuan Pasal 31 Ayat (1) dan (2) UU 24/2009. 

Akan tetapi, ketiadaan versi Bahasa Indonesia bukan merupakan alasan dapat dibatalkanya keabsahan perjanjian apabila pihak yang mengajukan pembatalan perjanjian dengan alasan tidak adanya versi Bahasa Indonesia dapat dibuktikan sebagai pihak yang beritikad tidak baik dalam pelaksanaan perjanjian.***

Baca juga: Penafsiran Kontrak, Panduan Hukum Cegah Sengketa Perjanjian

Daftar Hukum: