Zakat merupakan salah satu pilar dalam ajaran Islam yang memiliki peran penting dalam pemerataan ekonomi dan kesejahteraan umat. Dana zakat yang terkumpul seharusnya dikelola secara transparan dan sesuai dengan ketentuan syariah agar dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya (mustahik). Namun, dalam praktiknya, sering terjadi penyalahgunaan dana zakat yang berdampak pada hilangnya manfaat bagi masyarakat yang membutuhkan serta merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pengelola zakat.

Selain itu, penyalahgunaan dana zakat juga dapat menimbulkan dampak sosial yang luas, seperti menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam menunaikan zakat karena adanya ketidakpercayaan terhadap lembaga pengelola zakat. Hal ini dapat berujung pada menurunnya jumlah penerimaan zakat yang seharusnya dapat digunakan untuk membantu fakir miskin, pendidikan, serta program pemberdayaan ekonomi umat.

Di sisi lain, kurangnya literasi hukum terkait pengelolaan zakat juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan adanya praktik penyimpangan. Banyak pengelola zakat yang belum sepenuhnya memahami ketentuan hukum dan syariah dalam distribusi zakat, sehingga rentan melakukan kesalahan administratif maupun praktik yang menyimpang dari aturan yang berlaku.

Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan Dana Zakat

Penyalahgunaan dana zakat dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik secara administratif maupun dalam distribusinya. Salah satu bentuk penyalahgunaan yang sering terjadi adalah penggelapan dana zakat oleh pihak yang diberi amanah untuk mengelolanya. Hal ini dapat berupa penggunaan dana untuk kepentingan pribadi, manipulasi laporan keuangan, atau pemotongan dana zakat dengan alasan yang tidak sesuai ketentuan syariah.

Selain penggelapan, bentuk penyimpangan lainnya adalah pendistribusian dana zakat yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam ajaran Islam, zakat wajib diberikan kepada delapan golongan mustahik sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 60. Namun, dalam beberapa kasus, dana zakat justru digunakan untuk kepentingan politik, kepentingan kelompok tertentu, atau dialihkan kepada pihak yang tidak berhak menerimanya.

Penyalahgunaan lainnya adalah lemahnya sistem pengawasan dalam pengelolaan zakat. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pencatatan serta pelaporan dana zakat dapat membuka peluang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penyelewengan. Beberapa kasus juga menunjukkan adanya penggunaan dana zakat untuk investasi yang berisiko tinggi tanpa adanya perencanaan yang jelas, sehingga berpotensi merugikan umat.

Aspek Hukum Terkait Penyimpangan Pengelolaan Zakat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011

Untuk menghindari penyalahgunaan dalam pengelolaan zakat, pemerintah telah mengatur tata kelola zakat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”). Undang-undang ini bertujuan untuk memastikan bahwa zakat dikelola dengan profesional, transparan, dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan syariah dan hukum nasional.

Dalam Pasal 2 UU 23/2011, disebutkan bahwa pengelolaan zakat harus dilakukan berdasarkan prinsip syariat islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas. Hal ini berarti bahwa setiap lembaga pengelola zakat wajib menjaga kepercayaan umat dengan menjalankan tugasnya secara transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Lembaga pengelolaan zakat secara nasional di Indonesia adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Agar pengelolaan zakat dapat dilakukan sacara optimal, Pasal 17 menyebutkan bahwa: 

“Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.” 

Laporan mengenai pelaksanaan pengelolaan zakat lebih lanjut dicantumkan pada Pasal 19 UU 23/2011, yakni “LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.”

Pengelolaan zakat yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU 23/2011 dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana. Oleh karena itu, setiap lembaga pengelola zakat harus memastikan bahwa setiap prosedur yang dilakukan telah sesuai dengan regulasi yang berlaku serta menjaga transparansi dalam setiap tahapan pengelolaan zakat.

Sanksi Hukum Penyimpangan Zakat Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011

Untuk memberikan efek jera kepada para pelaku penyalahgunaan zakat dan upaya menjaga kepercayaan masyarakat, UU 23/2011 telah menetapkan sanksi bagi pihak yang melakukan penyalahgunaan dalam pengelolaan zakat. Dalam Pasal 37 UU 23/2011 ditegaskan:

“Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan lainnya yang ada dalam pengelolaannya.” 

Pasal 39 UU 23/2011 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum dan tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa dana zakat benar-benar didistribusikan kepada pihak yang berhak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Selain itu, Pasal 40 UU 23/2011 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan dalam Pasal 37 juga dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp500.000.000,00. Regulasi ini mempertegas pentingnya kepatuhan terhadap ketentuan dalam pengelolaan zakat agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan umat.

Lebih lanjut, Pasal 41 UU 23/2011 menegaskan bahwa setiap individu yang dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 38 dapat dikenakan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00. Dengan adanya sanksi yang jelas ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan disiplin dalam pengelolaan zakat serta mencegah praktik penyalahgunaan yang dapat merugikan kepentingan sosial dan keagamaan.

Sanksi ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat serius dalam mengawasi pengelolaan zakat agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan adanya ancaman pidana, diharapkan setiap pengelola zakat lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya dan tidak mencoba untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan umat.

Selain sanksi pidana, pemerintah juga memiliki kewenangan untuk mencabut izin operasional lembaga zakat yang terbukti melakukan pelanggaran. Hal ini bertujuan untuk menjaga kredibilitas lembaga zakat yang beroperasi di Indonesia serta memastikan bahwa dana zakat benar-benar dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan syariah dan hukum nasional.

Penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran pengelolaan zakat juga menjadi upaya preventif dalam menekan tingkat korupsi di sektor filantropi Islam. Oleh karena itu, peran aktif masyarakat dalam mengawasi penggunaan dana zakat sangat diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan umat dan melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan zakat di Indonesia.

Dengan adanya regulasi yang jelas serta sanksi hukum yang tegas, diharapkan pengelolaan zakat di Indonesia dapat berjalan dengan lebih transparan dan akuntabel. Pemerintah bersama dengan lembaga zakat harus terus berkomitmen untuk memastikan bahwa dana zakat benar-benar disalurkan kepada mereka yang berhak serta dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan hukum yang berlaku.

Baca juga: Memahami Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Penghitungannya

Daftar Hukum:

Referensi:

  • Penyimpangan Distribusi Zakat, Pahami Aspek Hukumnya. Hukumonline. (Diakses pada 7 Maret 2025 pukul 14.40 WIB). 
  • Baznas Perkuat Aspek Keamanan Transaksi Keuangan dalam Pengelolaan Zakat. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). (Diakses pada 7 Maret 2025 pukul 14.51 WIB). 
  • Penyelewengan Dana Desa Perspektif Fiqih Islam. NU Online. (Diakses pada 7 Maret 2025 pukul 14.55 WIB).
  • Azyumardi Azra: Potensi Dana Zakat Memicu Tarik Menarik Kepentingan. Mahkamah Konstitusi RI. (Diakses pada 7 Maret 2025 pukul 14.58 WIB).