Dalam dunia kedokteran, menangani pasien darurat adalah salah satu tanggung jawab utama yang harus diemban oleh setiap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Hal ini bukan hanya menjadi bagian dari kode etik profesi, tetapi juga merupakan kewajiban hukum yang diatur secara tegas dalam undang-undang. Penolakan pasien gawat darurat oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan bukan hanya masalah etika dalam pelayanan kesehatan, melainkan memiliki implikasi hukum yang serius. 

Implikasi hukum yang serius tersebut terjadi karena penolakan pasien darurat berisiko tinggi terhadap keselamatan pasien. Misalnya kasus penolakan seorang ibu hamil di Subang, Jawa Barat, yang diakibatkan karena kamar ICU yang terisi penuh. Penolakan pasien ibu hamil itu pun berujung pada kematian. Sejumlah kasus penolakan pasien di rumah sakit pun kerap terjadi dengan berbagai alasan.

Lantas, apakah RS diperbolehkan menolak pasien darurat?

Pasal 174 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) menegaskan:

“Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat wajib memberikan Pelayanan Kesehatan bagi seseorang yang berada dalam kondisi gawat darurat untuk mendahulukan penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitasan.”

Aturan tersebut turut dipertegas melalui Pasal 275 ayat (1) UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama pada pasien dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana. Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pasien yang berada dalam kondisi gawat darurat atau pun kritis bisa segera mendapatkan penanganan yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Pertolongan pertama yang dimaksud mencakup tindakan-tindakan medis mendasar seperti resusitasi kardiopulmoner (CPR), stabilisasi jalan napas, dan penanganan cedera. 

Melalui aturan tersebut, tenaga medis dan tenaga kesehatan diharapkan dapat:

  1. Menilai kondisi pasien dengan cepat dan akurat;
  2. Memberikan tindakan medis yang sesuai;
  3. Mengambil keputusan yang tepat dan cepat.

Baca juga: Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Pasien dengan Perawatan Paliatif

Dalam kondisi darurat, keselamatan pasien harus menjadi prioritas utama dalam penanganannya. Oleh karena itu UU Kesehatan melalui Pasal 174 ayat (2) juga melarang pihak rumah sakit untuk menolak pasien gawat darurat dengan alasan apa pun, termasuk perkara administratif. Diatur dalam Pasal 174 ayat (2) UU Kesehatan bahwa dalam kondisi gawat darurat sebagaimana dimaksud pada Pasal 174 ayat (1) UU Kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka serta dilarang mendahulukan segala urusan administratif sehingga menyebabkan tertundanya pelayanan kesehatan.

Urusan administratif seperti pendaftaran, pembayaran, atau pun hal lainnya tidak boleh menjadi penghalang bagi tenaga medis untuk segera memberikan penanganan pada pasien yang membutuhkan. Regulasi tersebut tentunya bertujuan untuk menghapus praktik diskriminatif yang mungkin terjadi di fasilitas kesehatan, di mana pasien dengan kondisi tertentu atau dari latar belakang tertentu mendapatkan perlakuan yang tidak adil. UU Kesehatan juga menggarisbawahi prinsip non-diskriminasi dan menegakkan hak setiap individu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang cepat dan tepat.

Untuk memperketat aturan tersebut, UU Kesehatan juga mengatur terkait dengan sanksi yang diberikan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama. Pasal 438 UU Kesehatan menetapkan sanksi sebagai berikut:

  1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga medis, dan/atau tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat pada fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dan Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kedisabilitasan atau kematian, pimpinan fasilitas kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Sanksi yang diberikan bertujuan untuk menegakkan disiplin dan tanggung jawab profesional dalam dunia kedokteran. Selain itu, sanksi ini juga berfungsi sebagai bentuk perlindungan bagi pasien agar mereka merasa aman dan yakin bahwa mereka akan mendapatkan pelayanan medis yang memadai saat dalam kondisi darurat. Melalui aturan yang jelas dan sanksi yang tegas, diharapkan pelayanan kesehatan di Indonesia dapat memprioritaskan keselamatan dan kesehatan pasien dalam setiap tindakan yang didasarkan pada prinsip profesionalisme, etika, dan hukum yang berlaku.

Baca juga: Aspek Perlindungan Hukum Dokter dan Pasien dalam Informed Consent

Daftar Hukum:

Referensi: